25. Rahasia Takdir

Tak ada yang mengetahui jalan takdir, tapi kalau bisa memilih, bolehkah aku berharap agar ditakdirkan bersamamu selamanya?

***


Entah hanya perasaan Irish saja atau bagaimana, hari ini Hazel tampak berbeda dari biasanya. Wajah pria itu lesu dengan energi yang seperti terkuras habis. Padahal, hari masih pagi, tapi Hazel tak memiliki semangat sama sekali. Bahkan, untuk menyapa Jasmine saja Hazel enggan, yang menimbulkan tanda tanya di benak sekretarisnya.

"Ayam tetangga mati kali, Rish, makanya Pak Hazel murung begitu," jawab Jasmine saat ditanya oleh Irish terkait sikap Hazel.

"Apa hubungannya, Mbak? Bukan Pak Hazel yang ngurusin, kenapa malah Pak Hazel yang sedih?" Jasmine memang sering begitu. Kalau berbicara, suka ceplas-ceplos. Meski ada bagusnya juga. Irish bisa meminta pendapat Jasmine dengan jujur.

"Aku mana tahu, Rish. Aku bukan ibunya yang dua puluh empat per-tujuh selalu bareng Pak Hazel. Bahkan, mungkin ibunya juga nggak setiap hari bareng beliau. Coba tanya sendiri sana! Kamu, kan, asistennya." Jasmine mendorong bahu Irish pelan, yang dibalas gelengan kepala.

"Kenapa Mbak justru jadiin aku tumbal? Bisa aja mood Pak Hazel lagi jelek terus beliau jadi numpahin kekesalannya ke aku. Ih, ogah!" Irish bergidik ngeri. Sudah cukup kemarin dia menghadapi Hazel yang selalu mencari gara-gara dengan Glenn, dia tidak tahan kalau harus menghadapi Hazel yang kemungkinan sedang dalam suasana hati tidak baik seperti sekarang ini.

"Terus, kamu mau diem di sini? Nggak masuk? Nanti Pak Hazel cariin, loh." Jasmine berjalan menuju meja kerjanya lalu duduk. Kalau atasannya atasan tiba-tiba datang dan melihatnya sudah bergosip pagi-pagi begini, bisa-bisa dia ditegur atau langsung mendapat surat peringatan. Tanggungannya masih banyak kalau harus resign dalam waktu dekat.

"Untuk sementara, aku—"

"Rish. Saya mau bicara dengan kamu." Belum sempat Irish menyelesaikan ucapannya, kepala Hazel melongok dari balik pintu.

Tentu Irish tak bisa menolak. Dia menatap Jasmine yang memberikan semangat melalui isyarat sebelum menuruti perintah Hazel.

"Tolong tutup pintunya, Rish," pinta Hazel begitu Irish masuk ke ruangannya. Setelah pintu benar-benar ditutup, Hazel menghempaskan tubuhnya di sofa dengan jari-jari tangannya yang memijit pelipis. Sesekali, Hazel akan terpejam sambil mengerutkan kening.

"Kamu ... kenapa?" Sebenarnya, Irish enggan untuk bertanya, tapi melihat Hazel yang memilih duduk di sofa daripada berkutat dengan pekerjaannya, membuat perempuan itu agak penasaran.

Hazel menatap Irish dari balik ekor matanya yang sayu. "Aku nggak apa-apa. Cuma pusing sedikit aja."

Bohong. Dia bukan hanya pusing sedikit, karena nyatanya, kepalanya—terlebih di sebelah kanan—terasa ingin pecah. Dari sejak membuka mata, dia merasa kurang enak badan dan hampir tidak bisa bangun kalau saja dia tidak memaksakan diri. Alhasil, dia terpaksa menggunakan supir dadakan untuk mengantarnya ke kantor.

"Pusing?" beo Irish. Perlahan, kakinya mulai melangkah ke arah Hazel dan duduk tepat di samping pria itu. Tanpa disuruh lagi, telapak tangannya diletakkan di kening Hazel.

"Kamu demam, Zel!" Irish spontan menjauhkan tangannya saat kulitnya yang dingin bersentuhan dengan kening Hazel yang panas, seperti air yang baru saja dimasak.

"Memang iya?" Bahkan, suara Hazel berubah parau dengan deru napas yang hangat.

"Kalau kamu sakit, kenapa malah kerja?"

Panik? Tentu saja. Pria itu panas, dan sewaktu-waktu bisa saja kejang. Apalagi, Hazel memang mempunyai riwayat kejang ketika demam tinggi di masa kecilnya. Irish seketika berdiri, mencari obat Paracetamol di kotak P3K.

"Kamu udah makan?" tanya Irish seraya membawa obat dan gelas berisi air minum hangat.

Hazel menggeleng. "Belum. Di apart nggak ada makanan siap saji, aku nggak sempet pesan juga."

"Kenapa kamu nggak bilang ke aku, sih, Zel? Biasanya juga kamu pagi-pagi ngerusuhin aku, kenapa sekarang malah sembunyi-sembunyi kayak gini?" omel Irish, meski tangannya tetap bergerak mengutak-atik ponselnya untuk memesan makanan.

"Kamu pengin aku rusuhin, Rish? Mulai ngerasa hampa karena nggak aku suruh mampir ke apartemen aku dulu?"

Mendengarnya, Irish langsung memukul lengan Hazel. "Jangan mulai, deh, Zel. Kamu lagi sakit juga!"

Hazel hanya tersenyum kecil. Tubuhnya boleh saja sakit, tapi mulutnya tetap tak berhenti untuk menggoda Irish. Seperti sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Apalagi mereka sudah lama tidak bertemu, jadi kerinduan yang tertanam di hati Hazel, disalurkan melalui kejahilan-kejahilan yang sukses mengundang kekesalan Irish.

"Rish, aku ngantuk." Hazel menguap hingga matanya berair. Sejatinya, semalam dia tidak bisa tidur dengan baik. Pasca mengantar Irish kembali ke rumah, Hazel tidak bisa langsung beristirahat, melainkan menyelesaikan pekerjaannya supaya besok bisa lebih santai. Namun, dia justru kebablasan sampai dini hari ditemani beberapa cangkir kopi yang isinya sudah tandas.

"Kan, belum minum obat. Makanannya juga belum sampe."

"Aku benar-benar nggak bisa nahan ngantuk, Rish. Nanti kalau makanannya udah dateng, bangunin aja. Aku tidur sebentar, nggak lama."

Melihat mata Hazel yang redup—barangkali memang sudah sangat mengantuk—Irish menjadi iba. Akhirnya, dia mengangguk. Nanti kalau makanannya sudah datang, dia bisa membangunkan Hazel.

Menguap sekali lagi, Hazel mendekati Irish lalu meletakkan kepalanya di paha Irish. Semula, perempuan itu sempat terkejut, tapi tak protes dan membiarkan Hazel tidur di pangkuannya. Untuk saat ini, dia harus meredam pemicu pertengkaran dengan Hazel terlebih dahulu.

Entah Irish menggunakan sihir apa hingga membuat Hazel tak butuh waktu lama untuk memasuki alam mimpinya,  Irish menunduk, menatap wajah Hazel yang damai dalam tidurnya. Rambut hitam pria itu tampak tebal dan terawat. Berbanding terbalik dengan rambut Irish yang kering. Tiba-tiba, tangan Irish gatal ingin menepis anak-anak rambut Hazel yang menutupi sebagian matanya.

Keraguan menyelimuti diri Irish. Dia takut kalau yang dia lakukan dapat mengganggu tidur Hazel. Namun, karena sudah tidak tahan lagi, dia memutuskan untuk mengikuti nuraninya. Dengan pelan, dia menyingkirkan anak-anak rambut Hazel, berharap si empunya tidak terusik.

Kini, wajah Hazel terlihat sepenuhnya, yang membuat Irish tertegun sebentar. Irish menjadi semakin yakin kalau Tuhan dalam suasana yang bahagia saat menciptakan Hazel. Pria itu ... benar-benar mempesona. Bahkan ketika sakit, aura ketampanannya tidak pudar sedikitpun.

Kira-kira, perempuan mana yang akan beruntung mendapatkan Hazel? Irish sudah pesimis untuk memiliki masa depan dengan Hazel. Dia sudah sangat putus asa.

Zel, kalau nanti kita memang nggak berjodoh, apa aku bisa ikhlas saat lihat kamu dengan keluarga kecil kamu?

***


"Pak Hazel manja juga, ya, Rish."

Irish yang tengah menyuapkan bubur pada Hazel, seketika terhenti. Dia melirik Jasmine yang curi-curi pandang ke arah atasannya itu sambil mengulum senyum, baru pertama kali melihat Hazel yang biasanya tegas dan mendiri, menjadi lemah dan sedikit manja dengan asistennya.

"Namanya juga lagi sakit, Mbak. Kalau udah sehat, pasti balik lagi jadi ngeselin." Irish sengaja sedikit meninggikan suaranya agar Hazel tahu kalau dia sedang menyindirnya.

Irish benar-benar ingin menendang Hazel ke Planet Mars sekarang juga. Bayangkan saja, begitu makanan pesanannya datang, Hazel justru meminta untuk disuapi layaknya anak kecil. Tak cukup sampai di situ, di tengah-tengah kegiatan Irish yang menyuapi Hazel dengan terpaksa, Jasmine mendadak muncul seraya membawa beberapa berkas.

Alasannya adalah karena disuruh oleh Hazel. Iya, pria itu memang sedang mencari masalah dengan Irish. Sepertinya Hazel memang ingin spill tipis-tipis mengenai hubungan mereka. Kalau Jasmine sampai tahu yang sebenarnya, jangan harap Hazel bisa selamat dari amukan Irish. Kalau perlu, dia akan melempar Hazel ke kandang buaya.

Jasmine terkekeh. "Kamu telaten banget, Rish. Aku curiga kalau kamu udah punya pasangan."

Hazel langsung tersedak air yang sedang dia minum, sementara Irish tak mau repot-repot menanyakan keadaan Hazel. Dia tetap fokus pada bubur Hazel. Andai dia tega, sudah dari tadi bubur tersebut dia aduk hingga semuanya tercampur dan membuat Hazel tak berselera makan.

Namun, lagi-lagi. Ibu peri yang bersemayam di hati Irish menahannya untuk melakukan demikian. Nanti saja, kalau Hazel sudah sehat. Dia akan mencampurkan pestisida ke dalam makanan pria itu.

"Kamu kalau ngomong, jangan asal ceplos gitu, Jas," tegur Hazel seraya mengelap bibirnya menggunakan tisu.

"Memang saya salah, ya, Pak? Perempuan cantik dan manis kayak Irish nggak mungkin masih jomlo. Minimal punya gebetan, Pak."

"Saya jomlo, kok."

"Memang kamu ganteng?"

Pertanyaan menohok yang dilontarkan Irish dengan berbisik itu seketika mengalihkan perhatian Hazel. Beruntung, Jasmine tidak mendengarnya.

"Jas, menurut kamu ... saya ganteng atau enggak?" Alih-alih menanggapi Irish, Hazel justru bertanya kepada Jasmine yang posisinya agak jauh dari mereka, di meja Hazel untuk mengecek berkas-berkas atasannya.

Jasmine terdiam sebentar, lalu mengangguk sekali. "Ganteng, Pak. Cuma sayang banget, jomlo."

Kali ini, giliran Irish yang tersedak ludahnya sendiri. Dia mengulum bibirnya, menahan tawa supaya tidak keluar. Sementara ekspresi Hazel langsung masam.

"Saya lagi selektif dalam memilih perempuan, Jas. Lagi pula, saya udah punya seseorang yang lagi saya incar, cuma orang itu susah banget dibuka hatinya. Saya sampe gemes."

"Oh, ya? Siapa Pak? Saya kenal, nggak?" Jasmine langsung antusias. Wajar, lantaran Hazel selama ini tak pernah membahas masalah perempuan. Jadi, ini merupakan sesuatu yang langka.

Hazel tersenyum melihat raut Irish yang tampak seperti ibu tiri di serial Bawang Merah Dan Bawang Putih dengan bibir komat-kamit. Hazel mengedipkan sebelah matanya sebelum menjawab, "Ada, deh."

***


Bali, 26 September 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top