24. Nonton Bareng
Jangan pernah berurusan dengan seseorang yang masih terikat dengan masa lalunya, karena itu hanya akan menyakitimu saat mengetahui fakta yang sebenarnya.
***
Hazel berusaha untuk tetap tenang meski sebenarnya dia risih ditatap dengan penuh penilaian oleh orang di hadapannya, membuat Irish mau tak mau angkat suara daripada keheningan yang mencekam di sekitarnya semakin menjadi.
"Glenn, Hazel mau ikut nonton bareng kita. Nggak apa-apa, kan?" tanya Irish, tak enak. Bagaimana tidak, Hazel benar-benar ngotot ingin ikut padahal sudah dia tolak mentah-mentah. Dia pikir, kemunculan Jasmine bisa meloloskannya dari pria itu, tapi ternyata dia salah. Saat dia sedang berjalan di trotoar—sekaligus menunggu ojek online-nya datang, mobil yang Hazel kendarai menepi di dekatnya dan mengajak Irish pergi bersama.
Mereka sempat berdebat, yang akhirnya dimenangkan oleh Hazel hingga mereka berakhir di bioskop.
Glenn tampak tidak ikhlas. Niat hati ingin menonton berdua saja dengan Irish, semata-mata untuk pendekatan, nyatanya semuanya gagal total gara-gara Hazel yang sudah dia tandai sebagai saingan. Namun, kalaupun dia mengatakan keberatannya, dia takut kalau Hazel akan menginvasi Irish.
"Nggak apa-apa. Makin rame makin bagus." Glenn tersenyum tipis, walaupun tak dipungkiri tatapannya sedikit tajam ke arah Hazel. "Kalau gitu, aku mau beli tiketnya dulu."
"Udah saya beliin." Hazel menimpali, yang berhasil menghentikan pergerakan Glenn yang hendak membeli tiket. Pria itu mengangkat alisnya ketika Hazel menunjukkan tiga tiket ke hadapan Glenn.
"Kamu datengnya lama. Untung ada saya. Kalau enggak, mungkin Irish bakal nunggu kamu sendirian di sini." Hazel menambahkan.
"Zel!" Irish menyikut lengan Hazel seraya memberi isyarat supaya menjaga perkataannya. Pria itu kenapa sangat menyebalkan, sih?
"Glenn, masuk studio satu, ya. Udah ada panggilan soalnya." Irish mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin ada perkelahian di bioskop, terlebih tubuhnya yang mungil tak akan mampu memisahkan kedua pria yang bertubuh lebih besar darinya itu.
"Berapa harga tiketnya? Biar saya bayar." Glenn ingin merogoh dompetnya di saku celana tapi ditahan oleh Hazel.
"Nggak usah. Saya yang traktir."
"Nggak. Saya—"
"Bayar-bayarnya nanti aja. Filmnya mau mulai. Mending sekarang kita ke studionya dulu." Tanpa sadar, Irish menarik tangan Hazel untuk menghindari pertikaian. Dia sendiri tak mengerti dengan jalan pikirannya sendiri yang justru mengajak Hazel pergi, alih-alih Glenn. Namun, biarlah. Yang penting mereka tidak bertengkar.
Glenn hanya bisa menghela napas. Dengan langkah malas, dia mengikuti Irish dan Hazel yang lebih dulu berjalan di depannya. Hanya saja, perdebatan di antara keduanya ternyata belum selesai. Karena di dalam studio satu, Hazel dan Glenn meminta Irish untuk duduk di sebelah mereka. Tak ada yang mau mengalah, sampai-sampai Irish malu dilihat oleh penonton di sana, barangkali mereka mengira kalau Irish bukan perempuan baik-baik yang memiliki dua pasangan.
"Biar aku aja yang di tengah. Udah. Nggak ada lagi yang protes." Irish duduk di antara kedua pria itu. Perkara duduk saja mereka bisa semenyebalkan ini. Rasanya Irish ingin pulang saja, membiarkan kedua pria itu melakukan apa pun yang mereka mau, bahkan tak masalah kalau mereka ingin adu otot. Lebih baik dia merebahkan diri di atas kasur daripada mengurusi dua pria dewasa yang sikapnya seperti anak-anak.
Glenn dan Hazel akhirnya diam, meski mata mereka terkadang masih saling melirik tajam. Film pun dimulai. Di menit-menit awal, belum ada adegan yang menyeramkan. Masih seputar kehidupan si tokoh utama.
"Nanti, kalau kamu takut, pegang tangan aku aja. Gratis untuk kamu."
Entah lantaran AC yang terlalu dingin atau memang lantaran embusan napas Hazel tepat di telinganya , tiba-tiba bulu kuduk Irish berdiri ketika Hazel berbisik. Dia melirik Hazel lalu menjawab lirih, "Nggak usah. Makasih."
Hazel tersenyum tipis di dalam kegelapan. "Pokoknya, kalau takut, ke aku aja. Jangan ke sebelah sana. You have me. Not him."
Merasa sedang dibicarakan, Glenn yang duduk di pojok, seketika berpaling. "Kamu ngomongin saya?"
Hazel mengangkat bahu. Dia kembali memusatkan perhatiannya ke arah layar. "Cuma perasaan kamu aja."
"Kalau ngomongin saya, jangan di belakang. Langsung ke orangnya aja."
"Tanya aja dengan Irish, saya ada omongin kamu atau enggak."
Mendengar perdebatan keduanya lagi, Irish memejamkan mata sejenak. Kepalanya mendadak pening. Sungguh, dia ingin menonton dengan tenang, bukannya justru diganggu oleh suara-suara dari sisi kiri-kanan yang membuatnya ingin melakban mulut mereka supaya diam.
"Bisa diem, nggak? Kalau enggak, mending kalian berdua keluar," ancam Irish. Kalau keduanya terus begini, bisa-bisa penonton lain mengusir mereka dan Irish tak jadi menonton.
"Dia duluan, Rish." Glenn mencari pembenaran.
"Aku nggak bilang apa-apa, kan, Rish." Hazel menyahut santai seraya memakan popcorn yang sempat dia beli saat memesan tiket.
"Udah, udah. Tolong, aku cuma pengin nonton, bukan dengerin kalian ribut." Irish sedikit menekan nada bicaranya, yang membuat keduanya seketika diam dan kembali fokus.
Di pertengahan, tiba-tiba muncul sesosok hantu di layar, yang membuat para penonton refleks berteriak, termasuk Glenn yang tak sengaja memegang tangan Irish. Hazel yang melihat, buru-buru melepasnya.
"Nggak usah modus!" sindir Hazel yang dibalas dengkusan oleh Glenn.
"Namanya juga kaget."
"Nggak ada kaget yang dibuat-buat begitu," ucap Hazel, masih kesal karena tangan Irish dipegang tanpa izin.
"Kalau dibuat-buat, udah dari tadi saya pegang tangan Irish."
"Awas aja kalau berani pegang tangan Irish lagi."
Bolehkah Irish berteriak saat ini juga? Demi Upin Ipin yang tidak pernah beranjak dewasa, dia sudah muak dengan keributan Hazel dan Glenn. Mereka berdua seperti anak kembar yang tengah memperebutkan mainan, sedangkan dia adalah ibunya yang sudah sakit kepala melihat keduanya.
Beruntung, Irish membawa earphone yang selalu berada di dalam tas selempangnya. Alhasil, dia merogoh tas dan mengeluarkan benda tersebut sebelum memakainya. Begitu dicolokkan ke ponsel, lagu pun mulai mengalun. Dia sudah tak peduli lagi meski di layar merupakan film kesukaannya. Dia lebih mementingkan dirinya sendiri yang enggan menjadi gila hanya gara-gara dua pria itu.
Tuhan, aku pikir cobaan cari kerjaan itu udah paling sulit, tapi ternyata berada di antara mereka jauh lebih sulit.
***
"Mau ke mana lagi, Rish?" tanya Hazel. Film sudah selesai dari beberapa saat lalu, dan mereka sudah keluar dari studio. Sepanjang film berlangsung, Hazel dan Glenn masih saja suka berdebat hingga sempat ditegur oleh penonton yang ada di depan dan belakang mereka. Irish hanya diam, pura-pura tidak mendengar karena malas untuk menanggapi sesuatu yang sebenarnya hanya perkara kecil yang dibesar-besarkan.
"Pulang aja. Aku udah capek."
Capek dengan kalian berdua maksudnya.
Irish melanjutkan di dalam hati seraya menepuk-nepuk bahunya yang sedikit pegal, mungkin lantaran belum merebahkan diri.
"Nggak makan dulu? Aku tahu tempat makan yang enak dan dijamin bikin ketagihan." Glenn ikut angkat suara.
Irish menggeleng. Dia sudah tidak sanggup menghadapi keduanya yang dipersatukan di satu tempat. Kepalanya yang sudah pening, bisa-bisa langsung migrain.
"Nggak. Aku udah nitip makanan sama Neiva. Aku makan di rumah aja."
Glenn menghela napas kecewa. Padahal dia masih ingin menikmati waktu bersama Irish, tapi akibat tamu tak diundang yang berstatus mantan, membuat semuanya menjadi berantakan.
"Mau pulang bareng aku, Rish?" tawar Glenn. Walaupun jarak antara rumahnya dan rumah Irish lumayan jauh, tapi apa pun akan dia lakukan demi perempuan itu.
"Nggak. Aku pake ojek online aja." Kalau dia terima tawaran Glenn, sudah dipastikan pria di samping kanannya langsung mengeluarkan taring.
"Pulang bareng aku aja, Rish. Kebetulan aku mau ke rumah Sian."
Irish menatap Hazel dengan satu alis yang terangkat. "Mau ngapain ke rumah Sian? Numpang makan?"
"Enggak. Mau bahas kerjaan. Ngapain juga aku numpang makan dengan Sian kalau aku bisa pesan sendiri? Aneh-aneh aja, kamu Rish." Hazel geleng-geleng sambil mengelus rambut Irish dengan tatapan yang berhasil mengusik Glenn. Pria itu dapat merasakan pancaran kasih sayang di mata Hazel untuk Irish, dan Irish pun tampak tak risih sama sekali, seolah-olah dia sudah terbiasa dengan sikap Hazel.
Hari Glenn seketika gelisah. Mampukah dia bersaing dengan masa lalu yang belum usai?
"Ya, kan, cuma tanya." Irish memasukkan earphone ke dalam tas selempangnya.
"Jadi mau bareng aku? Lumayan, hemat ongkos pulang." Hazel kembali menawarkan, disertai iming-iming yang memungkinkan besar akan sulit ditolak oleh Irish.
"Rish, aku pulang duluan, ya. Ada urusan," ucap Glenn tiba-tiba, yang sontak mengalihkan perhatian Irish.
"Loh, Glenn?"
Glenn hanya menyunggingkan senyuman tipis lalu pergi tanpa berpamitan dengan Hazel. Dia tahu diri kalau dirinya hanyalah obat nyamuk di antara dua insan itu. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk mendekati Irish di saat Hazel masih berada di sekitar perempuan itu.
Irish menatap kepergian Glenn dengan heran. Sikap Glenn sedikit berubah sejak mereka selesai menonton. Apa Glenn kesal dengan perilaku Hazel yang menyebalkan?
"Nggak usah dipikirin. Mungkin dia memang lagi sibuk. Mending sekarang kita pulang. Aku yakin kalau Neiva pasti udah khawatir dengan kamu. Aku males kalau harus berurusan dengan temen kamu yang satu itu."
Irish spontan memukul lengan Hazel. "Asal kamu tahu, Neiva kayak gitu karena memang kamu yang salah. Dia nggak bakal kesel tanpa alasan, Zel."
Hazel terkekeh pelan. Tangannya terangkat, mencubit hidung Irish pelan. "Iya, iya. Aku yang salah. Laki-laki memang nggak pernah menang, kan?"
"Nggak juga."
"Tapi beneran, deh, Rish. Kalau kamu mau nikah dengan aku, setiap hari ngalah juga aku nggak masalah."
Irish melotot. "Ih, Zel! Itu mulu yang dibahas!"
Hazel tertawa renyah. Dia mengedip sekali. "If you know, you know."
***
Bali, 19 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top