23. Hampir Saja
Ketika ketidakpercayaan mulai ada di antara kita, di situ aku tersadar bahwa kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama.
***
Glenn : *Send a picture*
Glenn : Mau nonton bareng nggak? Udah keluar filmnya. Aku yang traktir. Kebetulan aku shift pagi hari ini.
Saat Irish sedang sibuk bermain game pertanian untuk menunggu jam pulang kerja, sebuah notifikasi pesan dari Glenn, masuk ke ponselnya. Irish mendadak bimbang. Dia tertarik dengan tawaran Glenn, terlebih film bergenre horor tersebut merupakan film yang dia tunggu-tunggu tanggal rilisnya, tapi masalahnya ada pada sosok pria berwajah tampan yang duduk di balik meja kerjanya.
Entah apa yang sebenarnya sudah terjadi hingga Hazel seolah-olah takut akan kepergiannya. Berkali-kali juga pria itu mengatakan kalimat yang mampu membuat bulu kuduk Irish berdiri. Katanya, "Kalau kamu pergi, aku bisa mati. Walaupun ragaku ada, tapi jiwaku merana."
Oke, Irish tahu kalau Hazel adalah pria clingy yang tertutupi oleh fisik hampir sempurnanya. Namun, Irish tidak tahu kalau Hazel bisa lebay begitu. Memang, siapa yang lebih dulu pergi? Kenapa seakan-akan Irish yang bersalah selama ini?
Berdecak pelan—mencoba abai dengan perasaan Hazel—Irish mulai mengetik balasan.
Irish Blossom : Beneran, ya, bakal ditraktir? Hahaha
Irish Blossom : Pulang kerja, kita ketemu di bioskop.
Irish tersenyum tipis, membayangkan dia akhirnya bisa healing sejenak menimbulkan kebahagiaan di hatinya. Mana gratis pula. Meski hanya menonton film, tapi setidaknya dia tidak harus terus-menerus berkutat dengan urusan pribadi Hazel yang semakin lama semakin menyebalkan.
Ponselnya bergetar. Balasan dari Glenn.
Glenn : Kenapa nggak sekalian aja? Supaya nggak buang-buang uang.
Irish geleng-geleng, walaupun tahu kalau Glenn tak akan dapat melihatnya. Itu bukan ide yang baik, mengingat bagaimana sinisnya tatapan Hazel tempo lalu saat di Cafe. Irish hanya mencoba meminimalisir terjadinya sesuatu yang buruk di antara dua pria itu.
Irish Blossom : Aku nggak mau ada peristiwa berdarah antara kamu dan Hazel.
Irish melirik Hazel yang masih sibuk dengan pekerjaannya, padahal sebentar lagi jam pulang. Dia jadi bingung bagaimana caranya lolos supaya Hazel tak tahu mengenai acaranya dengan Glenn. Pria itu, kan, punya koneksi yang super luas, mirip cenayang.
Glenn kembali membalas.
Glenn : Hahaha, nggak apa-apa, Rish. Dia nggak punya hak untuk larang-larang kamu pergi dengan siapa pun.
"Asyik banget kayaknya aku lihat-lihat. Chat dengan siapa?"
Seperti maling yang kepergok, Irish cepat-cepat meletakkan ponselnya di atas meja dan menoleh. Tampak Hazel tengah menatapnya dalam dengan tangan yang saling bertautan. Meski berjarak lumayan jauh, Irish tetap bisa merasakan aura intimidasi yang menguar dari diri Hazel, membuatnya gugup seketika.
"Memang kenapa? Aku mau chat siapa juga bukan urusan kamu." Irish berusaha untuk tak gentar. Hazel bukanlah siapa-siapa baginya, tak peduli kalau beberapa saat lalu pria itu terlihat rapuh dan emosional dalam pelukannya. Jadi, Hazel tak berhak untuk mengetahui apa pun yang dia lakukan.
Alis Hazel menyatu. "Aku cuma tanya, Rish, soalnya kamu kelihatan berseri-seri banget."
"Pertanyaan kamu udah mengarah ke privasi, tahu! Aku nggak suka."
Hazel diam sebentar, menatap Irish lamat-lamat, lalu tertawa. Bukan tawa geli, melainkan tawa penuh paksaan yang terdengar sedikit menyakitkan di telinga Irish. Perempuan itu mengerjap. Apa dia sudah salah berucap?
"Jadi kamu bahas privasi, Rish? Setelah apa yang aku usahakan untuk kamu, kamu masih coba untuk menjaga jarak dan menciptakan benteng di antara kita?"
Kenapa jadi begini? Hazel tidak tahu kalau yang paling dirugikan di sini adalah Irish.
"Usaha? Usaha apa yang kamu lakuin, Zel? Kamu cuma maksa aku untuk turutin semua keinginan kamu. Apa aku salah kalau aku menutup sesuatu dari kami di saat kamu juga melakukan hal yang sama?"
Bahkan, setelah Hazel memeluknya secara tiba-tiba, Hazel tak mengatakan apa pun dan bersikap seperti semula. Bukankah justru Hazel yang tampak menjaga privasi dari Irish? Pria itu seolah-olah tak mempercayainya di saat Irish bersedia memberikan pundaknya sebagai tempat bercerita.
Hazel membuang napas kasar. "Rish, kita nggak mungkin bertengkar karena hal ini, kan? I have a reason. Aku nggak mau membebani kamu."
Irish mendengkus seraya tersenyum miring. Dia mengambil ponselnya lalu bangkit. "Berarti jangan pernah ikut campur urusan aku."
"Rish..." Hazel mengiba. Dia sama sekali tidak bermaksud demikian. Dia hanya curiga kalau Irish sedang bertukar pesan dengan pria Cafe kemarin. Sorot mata pria itu benar-benar menunjukkan ketertarikan kepada Irish, dan dia tidak suka. Memikirkan Irish memilih pria lain daripada dirinya sanggup menciptakan percikan api cemburu yang seringkali membuatnya lepas kendali.
Hazel ingin hanya dia yang ada di dalam pikiran Irish. Dia ingin hanya dia yang menjadi alasan Irish untuk tertawa. Dia ingin hanya dia lah yang membuat Irish bahagia.
"Sampai kamu mau jujur, aku nggak bakal biarin kamu bersikap semaunya ke aku." Irish berderap menuju pintu. Bertepatan dengan Irish yang membuka pintu, tampak Jasmine sudah berdiri di depannya dengan tangan yang berada di gagang.
"Eh? Mbak Jasmine?" Raut Irish seketika berubah. Dia tersenyum tipis, yang dibalas lambaian tangan ramah oleh Jasmine.
"Hai, Rish! Udah mau pulang, ya? Bapak ada di dalam?"
"Iya, Mbak. Ini mau pulang. Pak Hazel ada di dalam." Irish minggir, mempersilakan Jasmine untuk masuk. Kemudian, dia pergi dari sana sambil mencoba menghubungi Glenn, mengabaikan tatapan Hazel pada punggungnya yang terputus karena pintu tertutup.
"Pak. Sudah jam pulang. Saya—"
"Kamu pulang aja. Saya juga mau pulang sekarang." Hazel buru-buru merapikan perlengkapannya di atas meja.
"Ya?" Jasmine melongo. Rasa-rasanya, Hazel yang dia tahu merupakan sosok penggila kerja. Namun, lihat sekarang. Justru atasannya itu tampak bersemangat sekali untuk pulang. Bukan hanya itu, ada satu pertanyaan lagi yang sebenarnya sempat terlintas di kepala Jasmine.
Kenapa Irish pulang duluan daripada Hazel?
"Sampai ketemu besok, ya, Jas!" Hazel menepuk bahu Jasmine dua kali lalu pergi dari ruangannya, meninggalkan sekretarisnya yang terbengong-bengong.
***
"Irish!"
Seruan yang disertai tarikan di pergelangannya membuat langkah Irish seketika berhenti. Alisnya berkerut melihat Hazel yang ngos-ngosan, seperti habis lari maraton.
"Kamu ngapain?" tanya Irish ketus seraya melepaskan pegangan Hazel sebelum menjaga jarak aman. Dia melirik sekitar parkiran, jaga-jaga kalau ada yang memergoki mereka.
"Aku susul kamu. Kenapa lift-nya ditutup, padahal kamu lihat aku?" Hazel mengajukan protes setelah menormalkan deru napasnya. Satu tangannya berada di pinggang sementara satunya lagi mengelap keringat di dahi.
Irish mencebik. Memang Hazel bereskpektasi apa padanya? Pria itu yang lebih dulu mencari masalah, jadi jangan salahkan Irish kalau dia bersikap dingin kepada Hazel.
"Terus?"
"Aku turun pake tangga, Rish. Dari lantai delapan. Demi kamu." Sampai-sampai Hazel merasa kakinya akan lepas saking banyaknya meniti anak tangga.
"Aku nggak minta kamu untuk lakuin itu."
Hazel menurunkan tangannya dari pinggang. "Rish, sorry. Aku nggak bermaksud untuk bikin semuanya makin complicated. Tapi, serius. Ada saatnya kamu akan tahu, but not now. I believe you. Tapi aku butuh waktu. Can i?"
Irish berpaling, tak ingin menatap wajah Hazel yang sangat memelas. Pria itu benar-benar tahu bagaimana caranya untuk meluluhkan Irish. Sungguh menyebalkan!
"Terserah. Aku mau pulang." Irish hendak pergi, tapi lagi-lagi ditahan oleh Hazel.
"Apalagi? Jangan pegang-pegang, nanti orang-orang salah paham!"
Hazel langsung melepas tangannya. "Aku antar. Aku tahu kalau kamu nggak bakal pulang."
"Ih? Apaan, sih. Suka-suka aku mau ke mana."
"Ya, berarti memang kamu nggak niat untuk pulang, kan?" Mata Hazel menyipit. Dia sudah curiga dengan sikap Irish saat perempuan itu tampak sibuk dengan ponselnya. Dan pikiran Hazel langsung tertuju pada pria Cafe yang sempat membuatnya cemburu setengah mati.
"Kepo banget!"
Hazel berdecak, ingin sekali menyentil kening Irish untuk mengurangi sedikit keras kepalanya. "Kalau kamu nggak mau ngaku, aku bakal biarin orang-orang mergokin kita di sini, atau kalau perlu, aku bakal beberin semua hal tentang hubungan kita yang sebenarnya."
Irish seketika melotot. Hazel sudah gila, ya? Kalau nanti orang-orang tahu yang sebenarnya, bagaimana dengan nasib Irish? Dia masih belum siap dengan segala konsekuensi yang terjadi. Apalagi kalau mereka akan mengira dirinya bisa bekerja di sana lantaran koneksi dengan Hazel. Hidup tentramnya akan menghilang!
"Rese banget, sih!"
"Ya, makanya—"
"Irish!" Ucapan Hazel terhenti tatkala seruan dari arah belakangnya. Mata Irish membulat sempurna melihat sosok Jasmine yang berjarak tidak terlalu jauh dari posisinya sedang melambaikan tangan.
"Mati aku!" Irish buru-buru berbalik, berharap Jasmine mendadak tak bisa melihatnya meski kemungkinan itu tak mungkin terjadi.
"Loh? Pak Hazel? Bapak masih di sini?" tanya Jasmine begitu sampai di depan keduanya. Alis perempuan itu berkerut samar, menatap Irish dan Hazel secara bergantian.
Hazel tersenyum tipis. "Ini saya mau pulang, Jas."
"Terus, Bapak dan Irish, kalian ngapain?"
Irish gelagapan. Dia kembali menghadap Jasmine dengan mulut terbuka, hendak angkat suara tapi Hazel lebih dulu menyerobotnya. "Saya lagi ngobrol sebentar dengan Irish masalah kerjaan."
Mendengarnya, Irish refleks menghela napas lega. Untung saja Hazel tidak membocorkan mengenai hubungan mereka. Kalau iya, Irish tidak tahu komentar apa yang akan Jasmine berikan. Mungkin perempuan itu akan syok atau memborbardirnya dengan banyak pertanyaan yang membuat sakit kepala.
"Kalau gitu, saya pergi dulu. Mari, Mbak, Pak." Dengan jurus cepatnya, Irish kabur dari sana sekaligus melarikan diri dari Hazel.
Lama-lama berada di dekat Hazel, Irish bisa gila!
***
Selamat hari kemerdekaan Indonesia yang ke-79! Merdeka, merdeka, merdeka!
Bali, 18 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top