22. Mulai Rumit

Munafik kalau aku berkata ingin pergi, karena nyatanya, sejauh apa pun aku berlari, aku tetap akan berhenti di pelukanmu.

***


Pemandangan jalanan yang tampak padat seolah-olah mewakili isi pikiran Hazel yang penuh, bahkan rasanya kepala pria itu ingin pecah saat sebuah undangan pernikahan dengan tinta emas yang elegan nan megah berada dalam genggamannya. Alam dan Violet. Dua nama insan yang akan melangsungkan janji sehidup-semati di sebuah hotel ternama di Jakarta itu membuat Hazel menghela napas berulang kali, bingung bagaimana harus meresponsnya.

"Jangan lupa dateng, Zel. Bawa amplop yang banyak supaya nggak malu-maluin keluarga besar."

Hazel melirik pria yang berdiri di sebelahnya dengan seringai tipis. Dia memasukkan kedua tangannya di saku, menatap lurus ke depan. Dari lantai dua puluh di sebuah apartemen yang tak kalah elit dari apartemennya, kendaraan yang tengah berlalu-lalang di bawah sana tampak kecil, yang membuat Hazel langsung mengerti kalau setinggi apa pun tempatnya sekarang, dia tidak boleh lupa kalau ada hal yang lebih besar darinya; takdir. Tak peduli seberapa jauh dia terbang, nyatanya takdir mampu menjatuhkannya hingga ke dasar jurang.

"Kamu benar-benar bakal menikah, Al? Secepatnya?" Pertanyaan yang Hazel luncurkan menimbulkan kernyitan di dahi Alam. Dia memiringkan kepala, menatap Hazel yang entah kenapa rautnya berubah muram, tak sperti tadi yang masih segar. Memang, dia sengaja menemui Hazel di kantornya. Selain untuk membahas mengenai desain interior rumah masa depannya dengan sang istri yang hampir selesai, alasan kemunculannya adalah untu memberikan undangan tersebut kepada Hazel.

Namun, bukan ini respons yang ingin dia dapatkan dari pria yang berstatus sebagai sepupu dari pihak ayahnya itu. Hazel terlihat seperti seorang pria yang sedang putus cinta lantaran mendegar kalau sang pujaan sudah menemukan tambatan hati.

"Ya, iya. Kapan lagi? Gue udah yakin sama Violet, apalagi lo tahu sendiri kalau gue dan Violet udah berhubungan lama. Gue nggak mau gantungin dia, Zel."

"Kenapa di saat kayak gini kamu baru bilang, Al? Di saat saya akan memulai kembali hubungan saya dengan Irish." Hazel mengusap wajahnya, kasar. Sungguh, dia tak percaya kalau sesuatu yang sempat dia wanti-wanti, akhirnya benar-benar terjadi dengan begitu cepat.

Alam mengerjap dua kali. "Tunggu-tunggu. Lo dengan Irish ... what? Kalian udah ketemu dan balikan? Are you serious, Zel?" Wajar dia terkejut dengan ucapan Hazel, karena perpisahan Hazel dan Irish di masa lalu ada sangkut paut dengan dirinya. Alam pikir, Hazel sudah melupakan Irish dan tak akan lagi bertemu dengan perempuan itu, tapi kenyataan berkata sebaliknya.

Pantas saja Hazel seakan-akan tak sabar untuk kembali ke Indonesia. Komunikasi yang sempat terhenti sepertinya membuat Alam tak mengetahui banyak tentang kehidupan Hazel.

"Belum. Kami belum balikan, saya cuma sedang mengusahakan hubungan yang seharusnya memang tak pernah usai." Hazel menunduk sebentar lalu berbalik, menjauhi dinding kaca apartemen Alam. Terlalu lama berada di sana semakin menambah rasa pusing Hazel.

"Oh my..." Pria yang usianya lebih muda tiga bulan dari Hazel itu, refleks menutup mulut. Niat hati datang ke Indonesia untuk menyebarkan berita bahagia, dia justru mendapati masalah baru yang dimulai olehnya. "Lo kenapa nggak bilang sebelumnya dengan gue?"

"Untuk apa? Kamu mau jadi mak comblang? Atau mau jujur ke Irish tentang motif di balik saya yang meninggalkan dia?" Hazel berjalan ke dapur Alam yang tidak bersekat lalu meletakkan surat undangan di atas meja. Membuka kulkas Alam, dia mengambil sekaleng soda dan meneguknya cepat. Untuk ukuran orang yang baru pindah selama beberapa hari, Alam cukup niat mengisi kulkasnya dengan berbagai macam makanan maupun minuman.

"Setidaknya kita bisa rancang rencana, Zel. Nggak penuh kejutan kayak gini." Alam menangkap sekaleng soda yang Hazel lemparkan ke arahnya begitu dia mendekat. "Terus, Irish ada di mana?"

"Di kantor saya."

Kejutan kedua. Beruntung, Alam belum membuka sodanya. Kalau tidak, mungkin tangannya sudah terluka saking kagetnya. "Kenapa bisa?"

"Bisa kalau dia jadi asisten saya."

Alam tahu kalau Hazel adalah pria yang ambisius, tapi dia tidak tahu kalau Hazel akan secepat ini untuk mengambil langkah besar, terlebih dalam hal mendekati seorang perempuan yang sudah mempunyai trust issue kepadanya. "Nggak kecepatan, Zel? Lagi pula, kenapa harus jadi asisten? Irish nggak kerja? Dan ... sejak kapan lo butuh asisten?"

Pertanyaan beruntun itu menciptakan decakan dari Hazel. "Kecepatan apanya? Saya udah nunggu setahun lebih untuk ini, Al. kebetulan, Irish memang butuh pekerjaan. Ini adalah salah satu cara supaya kami bisa kembali dekat."

"Segampang itu Irish terima?" Karena Alam yakin kalau Hazel tak akan semudah itu utuk dimaafkan.

"Kalau gampang, mungkin saya udah ajak dia nikah, Al. Kalau bukan karena kepepet, Irish nggak akan terima gitu aja." Keras kepala perempuan itu bukanlah sebuah kertas yang mudah dihancurkan, melainkan batu karang yang berdiri kokoh meskipun diterjang ombak besar.

Alam menatap Hazel aneh. "Jangan bilang kalau lo udah pernah ajak dia nikah?" tanyanya, sangsi.

Hazel mengangkat bahunya. "Bahkan saat kami kembali bertemu setelah sekian lama."

Alam langsung mengumpat pelan. Pria itu benar-benar tak tertebak sekali. Dari banyaknya ucapan selamat datang, Hazel memilih untuk mengajak Irish menikah?

"Bodoh banget, lo. Nggak pake rem kalau mau lakuin sesuatu."

"Memang kenapa? Kami sudah mengenal lama. Saya cuma ingin menebus kesalahan saya yang sebenarnya adalah kesalahpahaman."

Alam mendengkus. Rasa-rasanya, dia sedikit menyesal sudah menemui Hazel. Alih-alih healing, dia justru semakin dibuat sinting. Entah bagaimana bisa Irish bertahan dengan pria seperti Hazel.

Kemudian, keduanya hening. Mereka seolah-olah tengah berperang dengan pikiran mereka sendiri. Sejatinya, Alam sedikit merasa bersalah lantaran memberikan berita bahagia di saat yang tidak tepat. Alam tentu tahu keresahan yang Hazel alami kini. Peluang yang barangkali mulai menunjukkan tanda-tandanya, secara perlahan kembali menutup.

Hazel memijit pelipisnya sambil bersandar di pintu kulkas. Belum juga merasa bahagia, dia sudah dipusingkan dengan problematika baru. Memang bukan masalah yang besar, tapi kalau menyangkut Irish, Hazel tak bisa menyepelekan masalah sekecil apa pun.

"Zel, nggak perlu khawatir. Toh, gue masih bisa bantu lo walaupun gue udah nikah." Alam akhirnya buka suara setelah beberapa menit hanya diam dengan sekaleng soda yang masih berada dalam genggamannya.

"Kamu bakal menetap di sini, kan? Kamu rela bolak-balik dan ninggalin Violet selama berminggu-minggu?" tanya Hazel, mengungkapkan resiko yang akan Alam hadapi kalau nanti pria itu masih membantunya.

"Gue bisa move semuanya ke Indonesia. Meski gue nggak bisa membantu sebanyak sebelumnya, setidaknya lo nggak harus mengulangi kesalahan yang sama, Zel."

Hazel mengembuskan napas panjang, tapi tak menjawab.

"Zel, kita bisa kerjain bareng. Ini bukan masalah yang rumit. Gue yakin semuanya bakal baik-baik aja." Alam berusaha meyakinkan Hazel yang masih ragu.

Hazel menatap Alam lama. Benarkah semuanya akan baik-baik saja?

***


Dua jam sudah berlalu sejak kepergian Hazel, dan pria itu belum juga kembali. Jasmine bahkan sudah balik ke mejanya untuk mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda lantaran diminta untuk menemaninya. Kata Jasmine, "Kalau terus diem di sini tanpa kegiatan apa pun, takutnya aku malah ketiduran. Nggak enak kalau dilihat Pak Hazel."

Jadi lah Irish sendirian di ruangan yang cukup besar ini. Ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja setelah digunakan untuk mengusir kebosanan. Irish menguap. Menunggu Hazel yang entah kapan datangnya membuat Irish mengantuk, dan hampir memejamkan mata kalau saja dia tidak mendengar suara pintu yang terbuka.

Buru-buru Irish menoleh. Helaan napas keluar dari mulutnya karena yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.

"Zel. Kamu kenapa—" Kalimat Irish tergantung saat Hazel tiba-tiba mendekat lalu menariknya ke dalam pelukan hangat. Kaget? Tentu saja. Pria itu menghilang selama dua jam, kemudian tanpa tedeng aling-aling memeluknya.

"Zel?"

"Sebentar aja, Rish. Kasih aku waktu sebentar aja untuk meluk kamu." Hazel semakin mengeratkan pelukannya dengan wajah yang tenggelam di bahu Irish. Demi Tuhan ... dia benar-benar takut kalau harus melepaskan perempuan ini lagi. Sudah cukup dia terkungkung oleh kerinduan yang menyiksa di setiap harinya. Dia ingin bersama Irish tanpa hambatan. Hanya itu. Bisakah dia bahagia tanpa adanya konsekuensi? Rasanya, untuk menciptakan sedikit kebahagiaan saja, sangat sulit untuknya.

Irish hanya diam. Tak membalas tapi tak juga menolak. Kebingungan sangat kentara di wajahnya. Sebenarnya, apa yang Hazel lakukan di luar sana hingga bisa menjadi seperti ini?

Barangkali sudah agak tenang, Hazel mulai melepas pelukan mereka. Namun, manik pria itu tetap tertuju kepada Irish, menatapnya lamat-lamat. Seakan-akan kalau sedikit saja berpaling, Irish akan menghilang dari hadapannya.

"Udah selesai urusannya?" Irish lebih dulu angkat suara, sekaligus menutupi salah tingkahnya yang ditatap demikian oleh Hazel. Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa misinya untuk move on dari Hazel, berantakan dan berubah menjadi perasaan yang semakin dalam.

"Kalau aku minta kamu untuk menetap, apa kamu mau, Rish?"

"Ya?" Irish tidak salah dengar, kan? Hazel memintanya untuk menetap? Di mana? Kantor? Tidak mungkin dia menemani Bapak Penjaga untuk menginap di kantor ini. Lagi pula, memangnya dia bisa pergi ke mana kalau tempat kerjanya berada di sini?

"Kamu ngomong apa, sih, Zel? Nggak jelas."

"Jangan pergi, cuma itu. Buang semua pikiran kamu untuk ninggalin aku, Rish. Kasih aku kesempatan untuk bikin kamu bahagia. Can i?"

Can i?

Tanpa sadar, tangan Irish saling mengepal di sisi tubuhnya. Melihat Hazel yang menyiratkan sorot luka di kedua matanya, berhasil menyayat hati Irish. Menimbulkan kesesakan di dadanya yang membuat tenggorokannya tercekat.

Bisakah dia?

***

Huru-hara mulai datang, nih!

Ditunggu kelanjutannya yaa! See u :)

Bali, 15 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top