20. Cara Move On
Pilihan yang sulit. Antara melupakanmu, atau membuatmu membenciku. Tak ada yang kuinginkan selain bersamamu.
***
Kalau bisa, Irish lebih memilih untuk menahan lapar daripada harus makan bersama teman-temannya dengan Hazel yang berada di antara mereka. Terlebih mereka duduk berdampingan dan beberapa kali Hazel menawarkan Irish makanan lainnya yang seketika mendapat perhatian dari seluruh pasang mata yang ada di sana.
"Cobain pake mayonaise, Rish. Dagingnya lebih enak. Gurih." Hazel menyodorkan mayonaise yang terletak agak jauh dari posisi Irish.
"Eng, aku udah pake saus sambal. Nggak usah, makasih." Irish menolak dengan senyum terpaksa, meski dalam hati dia sudah menggerutu sebal. Karena dia merasa Hazel sengaja bersikap sok perhatian padanya untuk menjaga image di depan teman-temannya.
Neiva dan Mauve saja hampir tidak percaya kalau Hazel yang sekarang adalah Hazel yang sempat menyakitinya. Iya, wajah pria itu memang terlalu innocent untuk dikatakan sebagai penjahat perempuan.
Hazel tersenyum. Tangannya terangkat, mengusap sudut bibir Irish, membuat mata perempuan itu melotot—melihat tangan Hazel yang menjadi tersangka—disertai suara batuk dari Sian.
"Ada sisa saus di bibir kamu." Hazel menunjukkan ibu jarinya yang berisi sisa saus tersebut lalu membersihkannya dengan tisu.
"Kayaknya banyak nyamuk di sini." Sian menepuk-nepuk tangannya di udara, seolah-olah tengah menangkap nyamuk.
Irish buru-buru mengambil beberapa tisu dan mengusap bibirnya.
"Nggak usah iri sama rumput tetangga, Yan." Hazel menyahut tanpa menatap Sian. Dia memotong daging barbeque miliknya untuk diletakkan di atas piring Irish. "Makan yang banyak, Rish."
"Siapa yang iri? Gue udah punya Mauve. Ya, kan?" Sian mengerling ke arah Mauve, yang dibalas dengkusan oleh perempuan itu.
"Kayak nggak pernah mesra-mesraan sama Mauve. Ini namanya siasat, Yan. Siasat untuk membuat perempuan di samping saya, kembali pada saya."
Irish hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar ucapan Hazel yang terkesan blak-blakan. Pria itu benar-benar sudah bosan hidup, ya? Ingin sekali Irish menjambak rambut Hazel supaya tidak bersikap macam-macam lagi di hadapan teman-temannya.
"Aku ... permisi dulu." Secepat mungkin, Irish bangkit dan berlalu dari halaman belakang, disusul Neiva yang hanya menonton kemesraan keduanya dengan ekspresi geli.
Diam-diam, Hazel mengulum senyumnya, puas melihat wajah Irish yang memerah, tanpa berniat untuk mengejar perempuan itu. Dia memang sengaja berlaku demikian sebagai balasan lantaran Irish sudah berani menemui seorang pria secara sembunyi-sembunyi. Beruntung, dia sempat bertanya kepada Sian, yang tentu dijawab pria itu sejujur-jujurnya tanpa kecurigaan.
"Ih! Apa-apaan, sih Hazel itu? Nggak tahu tempat banget! Hazel Sialan Jenggala!" Irish mencak-mencak, kesal. Sepanjang jalan menelusuri rumah Mauve dan Sian, Irish tak berhenti menggerutu.
"Lo udah baikan sama Hazel, Rish?" Neiva berusaha menyeimbangi langkah Irish.
"Baikan dari mana? Malah, aku berharap nggak berurusan dengan dia lagi." Irish melengos. Apa tidak cukup Hazel menyusahkannya di tempat kerja hingga pria itu seolah-olah membuat skandal baru di depan teman-temannya?
"Kali aja gitu. Sebenarnya hubungan lo sama Hazel, gimana?"
Irish membuka pintu rumah Mauve. "Very bad. Sikap dia too much ke aku. Kamu tahu sendiri kenapa aku berharap takdir nggak mempertemukan kami lagi. Dia kelihatan sayang banget sama aku, tapi ujung-ujungnya aku ditinggal sendirian tanpa kepastian. Rese tahu!" Hazel memang sudah menjelaskan kepadanya kalau pria itu tidak ada niat seperti itu, hanya saja yang namanya sudah terlanjur kecewa, Irish tetap saja mengungkitnya.
"Terus, kenapa dia balik lagi?" Pertanyaan Neiva terlontar bersamaan dengan langkah mereka yang mencapai pintu rumah mereka.
"Nggak tahu. Udah bagus dia pergi aja, daripada datang cuma untuk bikin kerusuhan."
"Dan lo bakal tetap jadi pengangguran abadi. Lo udah tanya alasan dia pergi gitu aja?"
Irish mengangkat bahu sambil mengelus perutnya. Padahal dia masih belum kenyang, tapi terpaksa harus meninggalkan daging yang belum habis demi menyelamatkan harga dirinya.
"Nggak ada keuntungannya juga. Untuk apa? Aku udah males. Basi!" Karena Hazel tak benar-benar mengatakan yang sebenarnya. Ada beberapa hal yang Irish rasa masih Hazel sembunyikan.
"Terus sekarang lo penginnya gimana?" Neiva bersedekap, menatap Irish yang tampak berpikir.
Irish membuka mulut, tapi ditutup kembali. Begitu seterusnya sebelum akhirnya dia menjawab, "Aku pengin move on dari Hazel."
***
1. Menghindari kontak mata dengan si pelaku.
2. Seberusaha mungkin menjaga jarak.
3. Menolak untuk melakukan sesuatu di luar pekerjaan.
4. Tidak membiarkan hanya berduaan saja di ruangan tertutup.
5. Mencari pacar.
"Yang nomor lima, kenapa begitu?" protes Irish saat membaca kisi-kisi move on dari mantan yang berpeluang mengajak balikan macam si Hazel Jenggala. Dia, Mauve dan Neiva sedang berada di kamar Neiva untuk berdiskusi. Meninggalkan Sian seorang diri di rumah karena Hazel sudah pulang beberapa waktu lalu.
"Ya, kalau lo udah punya pacar, otomatis Hazel nggak bakal ganggu, apalagi ngajak balikan. Anggap aja, pacar lo ini sebagai tameng supaya lo lolos dari cengkraman Hazel." Neiva yang tengah berbaring terlentang, berubah menyamping dengan tangan yang menyangga kepala.
"Tapi nggak baik, tahu! Itu namanya simbiosis parasitisme."
"Parasitisme dari mana? Pacar lo nggak dirugikan sama sekali, kok. Menurut gue, itu tuh simbiosis komensalisme. Nggak diuntungkan, nggak dirugikan juga. Tapi kalau kalian memang cocok, justru bagus. Bisa ke jenjang yang lebih serius."
"Ngawur!" Irish ikut berbaring di samping Neiva, menatap langit-langit kamar perempuan itu yang polos. Dia memang ingin melupakan Hazel—setidaknya perasaan yang ternyata masih ada untuk pria itu, menghilang selamanya—dan bekerja dengan Hazel tanpa melibatkan masa lalu mereka. Hanya saja, setelah ditelisik lebih lanjut, benaknya justru berteriak tak setuju.
"Jadi gimana? Nomor lima dihapus aja?" tanya Mauve, yang kebetulan bertugas mencatat poin-poin tersebut. Dia yang duduk di kursi kerja Neiva, berbalik.
"Nggak usah. Jaga-jaga, siapa tahu Irish berubah pikiran terus beneran cari pacar baru."
Irish mendengkus sebal. Jangankan mencari pacar, dekat dengan pria saja, tidak dia lakukan. Dia jarang sekali mempunyai teman pria, mungkin hanya teman sekolah atau kuliah dan sepupunya saja.
Mauve mengambil kertas berisi informasi tentang cara move on dari mantan yang dibawa Irish. "Lanjut."
"Enam, hapus semua kenangan yang berhubungan dengan mantan, termasuk membuang barang-barang yang diberikan—tunggu. Rish, lo udah buang barang-barang yang dikasih Hazel, kan?" Mata Neiva menyipit.
"Udah dari dulu. Kan, aku niat untuk move on."
Neiva menghela napas lega. "Gue pikir belum. Kalau belum, berarti waktu tiga tahun yang lo jalanin sia-sia. Lagi pula, waktu selama itu kenapa masih bikin lo nggak bisa lupa sama Hazel, sih?"
"Namanya juga perasaan yang mendalam, Nei. Nggak segampang itu kali. Kamu juga begitu, kan, dengan Badai?"
Mendengar nama pria yang dibencinya, kembali disebut membuat Neiva berdecak. "Diem, deh, Mau! Jangan bikin gue emosi."
Irish tertawa, menikmati ekspresi kesal setiap kali mereka membahas mengenai Badai, pria yang juga berprofesi sebagai pengacara dan sempat memiliki kisah kasih dengan Neiva.
"Oke, oke. Jadi, apalagi? Kayaknya itu belum cukup untuk bikin aku benar-benar move on dari Hazel." Irish mengalihkan topik pembicaraan.
"Hmm..." Neiva tampak menimbang-nimbang. "Kayaknya memang daripada lo yang move on, kenapa enggak bikin Hazel yang jauhin lo atau benci dengan lo?"
Mauve menjentikkan jari. "Bener banget! Aku setuju dengan ide Neiva."
"Gimana, gimana?" Irish menatap Neiva dan Mauve secara bergantian.
"Gini." Neiva bangkit dari posisi tidurnya. "Jadi, kalaupun lo berusaha untuk move on dari Hazel, tapi Hazel sendiri masih ada di sekitar lo dan mencoba untuk luluhin hati lo, gue yakin lo bakal kalah. Beda lagi kalau misalnya lo bikin Hazel benci dengan lo, otomatis dia bakal mundur secara perlahan, kan?"
Itu merupakan ide yang bagus. Irish tidak perlu lagi susah-susah untuk menghindar, kan? Tapi kenapa hatinya justru memberontak? Dia mendadak gelisah. Membayangkan bagaimana Hazel membencinya membuat Irish bergidik.
"Harus banget bikin Hazel benci, ya?" Padahal nada suara Irish begitu pelan, tapi Neiva yang berada di sebelahnya tetap bisa mendengar. Alis perempuan itu menukik saat menemukan keraguan di dalam suara Irish. Entah hanya perasaannya saja atau memang begitu adanya.
"Kenapa? Lo keberatan? Pengin balikan lagi dengan Hazel yang jelas-jelas udah nyakitin lo?"
Irish menggeleng cepat. "Bukan gitu. Cuma, aku sekarang kerja bareng Hazel. Kalau dia benci dengan aku, pastinya bakal ada kecanggungan di antara kami." Dia berasalan, supaya Neiva tak menaruh curiga padanya.
"Setiap yang kita lakuin, pasti ada konsekuensinya, Rish. Kalau nantinya lo nggak betah kerja bareng Hazel, cari kerjaan yang lain aja. Lagi pula, gue yakin kalau Hazel adalah orang yang profesional, walaupun dia berengsek. Dia akan mengesampingkan perasaannya kalau udah menyangkut pekerjaan."
Alih-alih tenang, ucapan Neiva justru semakin menimbulkan kebimbangan. Terlebih, ingatannya langsung tertuju kepada Ayana. Perempuan itu pasti akan senang kalau melihat Hazel dan dirinya saling berjauhan. Ayana jadi bisa mengakuisisi Hazel sendirian.
"Gimana menurut lo? Yes or nay?"
Ketika Neiva menatap Irish, meminta jawaban dengan harapan si empunya akan setuju, perempuan itu hanya berkata, "Aku pikir-pikir dulu, Nei. Aku butuh waktu."
***
Hari ini bakal triple update kayaknya!
Bali, 15 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top