2. Pilihan Yang Sulit

Saat aku berada di ujung harapan, kamu datang dan mengulurkan tangan.


***

Irish benar-benar gegana. Menjadi pengangguran di saat jiwa mudanya sedang bergelora sangatlah tidak menyenangkan. Sebagai seorang perempuan berusia pertengahan dua puluhan, dia memiliki banyak keinginan yang belum tercapai. Meski tidak seperti Kinan yang bermimpi pergi ke Cappadocia bersama Aris, setidaknya dia masih mampu untuk membeli beberapa barang tanpa melihat price tag, tapi kini, dia bahkan kesulitan untuk membeli skincare yang entah bagaimana bisa habis secara bersamaan, hingga membuatnya mau tak mau harus berbelok ke produk yang harganya bisa dijangkau oleh dompet sekaratnya, berharap skincare tersebut cocok di kulit wajahnya yang cenderung sensitif.

Sungguh menyedihkan.

Irish mengelus kaca etalase salah satu produk kecantikan yang terpajang anggun di toko kosmetik langganannya dengan eskpresi nelangsa. Andai roda kehidupannya seperti Rafathar, dia pasti akan segera memborong skincare untuk stoknya selama beberapa bulan ke depan tanpa pikir panjang.

Maafin mama yang nggak bisa jemput kalian.

"Kenapa cuma dilihat aja? Nggak sekalian dibeli?"

Elusan Irish seketika terhenti. Suara terkutuk itu ... Irish langsung menoleh. Hazel! Dia hampir mengeluarkan umpatan kepada pria yang berdiri tidak jauh dari posisinya sambil bersedekap dada itu. Kenapa Hazel menggantikan eksistensi hantu yang selalu muncul tiba-tiba, sih? Lagi pula, ada apa gerangan yang membawa pria itu ke surganya perempuan ini? Mata Irish refleks meliar ke sekitar, mencari keberadaan kaum hawa yang kemungkinan besar menjadi alasan kedatangan Hazel.

"Aku sendirian, kalau itu yang mau kamu tahu." Barangkali menyadari keingintahuan Irish, Hazel menjawab tanpa harus ditanya lagi. Dia menurunkan tangan lalu mendekati Irish. Tak sengaja, tatapannya jatuh pada keranjang belanja berisi beberapa skincare yang dibawa perempuan itu. Keningnya sempat berkerut tipis sebelum satu simpulan terbit di kepalanya.

"Kamu lagi penghematan karena nganggur?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Hazel, tanpa memikirkan efek yang terjadi pada Irish.

Perempuan yang hari ini memakai t-shirt hitam polos dan baggy pants itu sontak menyembunyikan keranjang belanjaannya di belakang tubuh lalu melirik Hazel sinis. "Ngapain kamu ke sini?"

Hazel tak langsung menjawab, melainkan menoleh ke sekeliling toko yang lumayan ramai pembeli. "Toko ini terbuka untuk umum. Jadi nggak ada larangan untuk aku datang ke sini. Kamu ada masalah?"

Ucapan tanpa dosa itu membuat Irish mengeratkan genggamannya pada keranjang belanja. Kalau tidak sadar sedang berada di mana, dia ingin sekali melempar keranjang tersebut ke wajah Hazel, tapi tidak. Yang merasa waras, lebih baik mengalah. Alhasil, Irish memutuskan untuk berlalu daripada harus meladeni Hazel yang selalu berhasil menaikkan emosinya ke titik puncak. Dia hanya berharap agar Hazel tidak mengikutinya.

Namun, Irish salah. Hazel ternyata menyusulnya bak anak ayam. Ketika langkah Hazel sejajar dengannya, pria itu memiringkan kepala, menatap ekspresinya yang sudah sekusut cucian.

"Aku awalnya mau ke toko kue di sebelah, tapi saat nggak sengaja lewat dan lihat kamu, aku jadi penasaran."

Irish diam.

"Aku udah jawab pertanyaan kamu, loh, Rish."

Irish masih diam.

"Kalau kamu diem gini, aku berasa kayak bicara sama tembok. Seenggaknya kita bisa basa-basi sedikit karena baru ketemu setelah sekian lama."

Basa-basi your ass! Siapa juga yang mau ngomong sama laki-laki berengsek kayak situ?

Irish jadi ingat kejadian sewaktu di depan minimarket. Setelah pengakuan ambigu Hazel, dia yang semula ingin berteduh sampai hujan berhenti, seketika membatalkan rencananya dan menerobos derasnya hujan sambil memeluk tas—sebisa mungkin mengamankan isi di dalamnya—tak peduli dengan dirinya sendiri yang basah kuyup, persis seperti tikus kecebur got. Beruntung, jarak antara minimarket dengan rumah tidak terlalu jauh hingga dia tak perlu susah-susah mencari angkutan umum, meski dia harus mendapat nasihat sepanjang rel kereta dari Neiva karena hujan-hujanan.

Menulikan telinga—seolah-olah menganggap Hazel adalah makhluk tak kasat mata, Irish berjalan menuju kasir. Seraya menunggu, dia merogoh tas selempangnya, hendak mengambil dompet sebelum sebuah kartu terulur mendahuluinya.

"Pesanan dia, saya yang bayar, Mbak."

"Eh, eh? Apa-apaan, sih, kamu?" Mata Irish melotot. Dia mengambil kartu tersebut dan diserahkan kepada pemiliknya. "Aku bisa bayar sendiri. Walaupun pengangguran, bukan berarti aku nggak punya uang."

"Aku nggak bilang kalau kamu nggak punya uang. Anggap aja sebagai tanda pertemanan. Lagi pula, dengan ini kamu akhirnya bicara lagi sama aku." 

Irish memutar bola matanya. "Aku nggak pernah setuju mau berteman sama kamu." Ketika Irish hendak merogoh tas selempangnya kembali, dengan cepat tangan kiri Hazel menahannya, sementara tangan kanan pria itu menyodorkan kartu tersebut kepada kasir.

"Zel!"

"Cepet, Mbak! Keburu dia lepas," pinta Hazel yang segera dituruti si kasir, walaupun tampak kebingungan di wajah perempuan itu—mungkin bingung dengan situasi yang sedang dia hadapi.

Setelah berhasil melakukan transaksi, Hazel melepas tangan Irish lalu memasukkan kartunya ke dompet. Belum sempat dia mengucapkan terima kasih, Irish sudah lebih dulu berderap pergi, bahkan tanpa mau repot-repot membawa belanjaan yang bukan merupakan miliknya.

Melihat sikap Irish, Hazel mengembuskan napas panjang. Dia mengambil alih barang belanjaan Irish sembari tersenyum tipis kepada si kasir.

"Rish!"

"Irish Blossom!" Dengan tangan yang menenteng tas belanja, Hazel mengejar Irish yang sepertinya sengaja menghindar. Terbukti dari langkah terburu-buru perempuan itu. Namun, seharusnya Irish tahu kalau kaki pendeknya bukanlah tandingan Hazel yang memiliki tinggi mencapai 183 cm.

"What's wrong with you?" Tepat di parkiran, Hazel menarik tangan Irish, membuat langkahnya terhenti, tapi tidak berbalik.

"Aku cuma pengen bantu kamu, apa itu salah?" tanya Hazel.

"Tapi aku nggak minta dibayarin, Zel. Kenapa, sih, kamu ganggu aku lagi? Sejak kamu pergi, hidup aku tenang-tenang aja, kok." Karena yang dilakukan Hazel seakan-akan menunjukkan kalau Irish tidak mampu menjalani kehidupannya dengan baik.

Padahal faktanya, dia masih bisa berjalan tegap di saat Hazel memilih pergi, meninggalkan semua kenangan yang pernah mereka ciptakan bersama, menggoreskan luka yang Irish sendiri tak yakin apakah bisa sembuh seperti sedia kala atau tidak.

"Kayak yang aku bilang sebelumnya, i want to fix everything. Dan ini salah satu caranya."

"Kamu gila!"

Hazel mengangkat bahunya acuh tak acuh. Dia menyerahkan tas belanjaan kepada Irish. "That's my middle name. So, take this. And i don't accept rejection," ucapnya memperingati saat melihat penolakan Irish.

"Oh, satu lagi." Hazel mengeluarkan sebuah kartu nama dari balik blazer. "Ini kartu nama aku. Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa hubungi nomor yang tertera."

"In your dream!"

"My dream is to have a family with you." Sebagai penutup pertemuan mereka, sebelum pergi, Hazel menyisipkan kedipan mata yang langsung dibalas kepalan tangan oleh Irish.

***

InWarrior

Hazel Jenggala
Interior Designer


Irish menatap kartu nama yang didominasi warna black and gold tersebut dengan pikiran berkecamuk. Tentu dia tahu perusahaan InWarrior, pasalnya Sian juga bekerja di sana, yang kemungkinan besar merupakan rekan kerja Hazel kalau ditilik dari jabatannya. Dia tak menyangka kalau orang-orang di sekitarnya saling terhubung satu sama lain.

Namun, bukan itu yang menjadi masalah utamanya, melainkan tawaran yang diberikan Hazel. Pria itu ingin membantunya untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal, kalaupun dia tetap menjadi pengangguran, bukan Hazel juga yang dia susahkan. Kenapa justru Hazel yang terlihat lebih khawatir mengenai status menyedihkannya? Memangnya Hazel punya lowongan pekerjaan apa untuknya?

Irish meniup anak-anak rambut yang menutupi sebagian matanya lalu melirik tas belanjaan yang dibiarkan tergeletak begitu saja di atas meja rias. Tak dipungkiri kalau dia bersyukur karena Hazel mentraktirnya, itu berarti uangnya tetap aman di dompet, hanya saja bukankah aneh kalau Hazel melakukannya di saat mereka baru bertemu setelah sekian lama?

Sebenarnya, apa tujuan Hazel?

"Rish, makan malam dulu." Pintu kamarnya yang sudah terbuka setengah, makin dibuka lebar, memunculkan Neiva dalam balutan pakaian kerjanya. Sepertinya perempuan yang bekerja sebagai pengacara itu habis lembur.

Irish mengangguk. "Duluan aja, nanti aku susul."

"Ya, udah. Aku juga sekalian mau ganti baju."

Irish menanggapinya dengan acungan jempol dan senyum lima jari. Begitu pintu kamarnya ditutup, senyumnya seketika luntur. Dia hampir lupa dengan Neiva. Selama menganggur, Neiva memang banyak membantunya. Entah itu membiayai kebutuhan dapur atau membayar sewa rumah. Bahkan Irish sempat meminjam uang Neiva untuk melunasi kredit online shop yang sudah jatuh tempo karena sikap kalapnya.

Tentu Irish masih sadar diri untuk tidak merepotkan Neiva lebih banyak lagi, tapi untuk menerima uluran tangan Hazel, dia masih ragu-ragu. Egonya menentang keras pemikiran tersebut. Dia tak ingin Hazel mengira kalau dia bergantung pada pria itu. Cukup dulu saja dia menjadi sangat bodoh hanya karena pria seperti Hazel.

Tapi kamu butuh uang, Rish.

Irish berdecak. Sungguh, dia sedang dilanda dilema. Seberapapun keinginannya untuk menolak Hazel, nyatanya dia tak punya pilihan lain. Lamaran yang dia ajukan ke berbagai perusahaan tak pernah lolos. Kalau dia terus mengikuti ego, entah sampai kapan dia akan menjadi pengangguran.

Sekali lagi, Irish menatap kartu nama Hazel. Jadi ... dia benar-benar kalah?

***


(Irish Blossom)


(Hazel Jenggala)

Halo, kembali lagi dengan aku. Kali ini nggak ada kata-kata khusus. Cuma pengen bilang, enjoy this chapter, hope you guys like it, and see you!

(Lagi musim hujan, enaknya rebahan)

Btw, makasih untuk kalian yang masih setia dengan cerita ini. Bye bye!

Bali, 18 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top