19. Perhatian Kecil
Perhatianmu berlebihan, membuatku berharap lebih dan ingin merengkuhmu kembali.
***
"Berangkat pagi-pagi buta, pulang waktu matahari udah nggak ada. Lo kerja atau jadi babysitter Hazel, sih?"
Irish yang sedang bersandar di punggung sofa seraya terpejam, seketika membuka mata, melirik Neiva yang sepertinya baru saja pulang kerja. Terbukti dari pakaian formal yang masih melekat di tubuhnya.
"Entahlah, Nei. Aku juga nggak ngerti pekerjaanku itu apa." Karena alih-alih menjadi asisten seperti job desk-nya, dia justru dibuat kelimpungan dengan sikap Hazel yang seolah-olah menggunakan alibi ini untuk mendekatinya lagi. Cemburu? Hazel serius kalau dia sedang cemburu dengan Glenn yang hanyalah merupakan temannya saja? Atau ... pria itu hanya ingin membuatnya terbawa perasaan sebelum kembali dihempaskan?
Astaga ... kepala Irish pusing sekali kalau memikirkannya.
"Gue rasa, pekerjaan lo jadi asisten Hazel lebih sibuk dari pekerjaan gue yang ngurusin kasus orang. Tapi selama ini dia baik, kan, sama lo? Nggak bersikap aneh-aneh?" Neiva merangsek mendekat ke arah Irish.
Selain sikapnya yang berubah manja, Irish rasa Hazel tidak menunjukkan keanehan apa pun. "Enggak."
Neiva menyipit, mencari kebohongan di mata Irish. Dia akhirnya mengangguk setelah tak ada yang berusaha Irish tutupi. "Pokoknya, kalau Hazel berbuat sesuatu ke lo, bilang gue sama Mauve aja."
"Iya, iya, Nei." Irish mengambil remote televisi yang terletak di atas meja lalu mencari channel lain. Dia butuh hiburan dan serial kartun Spongebob Squarepants mungkin bisa jadi solusi.
Meski Neiva tak bilang apa-apa lagi, tapi dia terus memperhatikan Irish. Sejatinya, dia masih belum ikhlas kalau Irish bekerja dengan Hazel yang sudah menyakiti perempuan itu bertahun-tahun lamanya. Dia tak ingin kejadian dulu terulang lagi. Hazel pasti punya rencana di dalam kepalanya hingga menawarkan pekerjaan tersebut kepada Irish.
Menghela napas panjang, Neiva bangkit dari duduknya. "Beberes dulu, Rish. Malam ini kita barbeque-an sama Mauve dan Sian."
Irish menoleh. "Barbeque? Mauve nggak bilang apa-apa dengan aku."
"Gimana mau bilang kalau lo fokus banget ngurusin Hazel. Mungkin kalau bisa, Hazel bakal nyuruh lo tinggal dengan dia supaya lo bisa deket dia terus."
"Hus! Kamu kalau bicara sembarang, Nei. Siapa juga yang mau tinggal dengan Hazel? Kalau bukan karena kepepet, aku nggak bakal mau kerja bareng dia."
Neiva mengibaskan tangannya. "Udahlah. Gue mau mandi dulu."
Begitu Neiva pergi dari ruang tamu, Irish buru-buru mematikan televisi dan ikut melenggang ke kamarnya, membereskan diri. Mendengar kata barbeque, dia langsung bersemangat. Kerunyaman yang menjalari hatinya akibat pernyataan Hazel perlahan menghilang. Tak perlu waktu lama bagi Irish untuk beres-beres, dia sudah siap dengan sweater polos dan celana training.
Sambil mengikat rambutnya, dia keluar dari kamar. Pintu kamar Neiva masih tertutup, pertanda si empunya belum juga selesai. Entah apa yang perempuan itu lakukan di kamarnya. Namun, Irish masih setia menunggu di ruang tamu. Dia tidak mungkin pergi lebih dulu ke rumah Mauve, malas kalau menjadi obat nyamuk di antara dua sejoli itu. Untuk mengusir kebosanan—karena tahu Neiva pasti akan lama—dia memilih untuk bermain ponsel.
Kegiatan Irish berhenti tatkala mendengar suara pintu berderit. "Kamu lama banget, Nei. Ngapain, sih? Mandi kembang tujuh rupa? Atau semedi?" sindirnya begitu sosok Neiva muncul dalam balutan pakaian santai.
"Namanya juga mandi. Gue bukan kayak lo yang cuci muka dua jari doang." Neiva menyahut seraya berderap keluar dari rumah diikuti Irish dari belakang. Barbeque diadakan di rumah Mauve, yang bersebelahan dengan rumah mereka. Jadi, mereka cukup berjalan beberapa langkah saja.
"Mauve! Bukain, dong!" Bukannya menekan bel, Irish malah mengetuk pintu rumah Mauve cukup kencang hingga terdengar suara derap langkah kaki.
"Iya, sebentar!"
Bertepatan dengan pintu yang terbuka, Mauve muncul. "Kebiasaan, deh, Rish. Udah ada bel, malah ketuk pintu."
Irish hanya senyam-senyum. "Aku terlalu excited dengan barbeque hari ini. Belum dimulai, kan?"
"Eng..." Mauve mendadak ragu. Dia melirik Neiva yang membalasnya dengan tatapan bingung. "Masuk dulu, Rish, Nei."
Mauve menyingkir dari ambang pintu, mempersilakan kedua perempuan itu untuk masuk terlebih dahulu.
"Kita bisa bantu ngapain, nih, Mau? Nggak enak kalau cuma duduk terus makan doang." Sebenarnya ini hanya basa-basi Irish, padahal hatinya senang karena mendapat makanan gratis. Lagi pula, kalaupun dia membantu, apa yang bisa dia lakukan? Setiap kali mereka bertiga barbeque-an—sebelum Mauve menikah—Irish hanya melihat saja, selebihnya kedua teman perempuan itu lah yang lebih banyak bekerja.
Iya, dia memang beban Mauve dan Neiva.
Mauve tampak semakin gelisah. Dia menatap pintu yang terhubung dengan halaman belakang, sangsi. "Rish, sebenarnya—"
"Hai, Rish!"
"Kamu?"
Bola mata Irish hampir terlepas dari tempatnya ketika melihat sosok Hazel berada di halaman belakang rumah Mauve bersama Sian yang sedang membakar daging.
"Maaf, Rish. Sebenarnya tadi aku pengin kasih tahu kamu kalau Hazel ada di sini juga." Mauve mengatakannya dengan hati-hati. Walaupun Irish bekerja di bawah naungan Hazel, tapi Mauve tahu kalau perempuan itu masih menyimpan perasaan sakit hatinya kepada Hazel. Jadi, saat Sian mengajak Hazel ke rumah tanpa sepengetahuan Mauve, mereka sempat berdebat di kamar yang berujung dengan kekalahan Mauve. Ralat, Mauve terpaksa mengalah lantaran sudah kepalang tanggung. Tak mungkin dia mengusir Hazel secara tiba-tiba.
"Aku..." Irish sulit untuk merangkai sebuah kalimat. Sudah cukup seharian ini dia bertemu dengan Hazel, ditambah lagi sikap yang terakhir kali Hazel berikan kepada Irish membuatnya enggan untuk bertemu pria itu. Namun, apa ini? Mereka harus berada di tempat yang sama?
"Kayaknya aku nggak enak badan, deh, Mau. A-aku ... pulang duluan, boleh?"
Mauve ingin mengangguk cepat—merasa keputusan Irish adalah hal yang tepat—tapi Hazel justru mendekat dengan raut kekhawatiran.
"Kamu nggak apa-apa, Rish? Perlu dibawa ke dokter?" tanya Hazel, hampir menyentuh pundak Irish kalau saja perempuan itu tidak segera menghindar.
"Aku nggak apa-apa." Sebisa mungkin, Irish menghindari kontak mata di antara mereka. Dia masih gugup, sungguh. Menyadari kalau Hazel masih memiliki perasaan kepadanya membuat Irish tak bisa berpikir jernih.
"Nggak usah sok perhatian, deh. Kalaupun Irish lagi nggak enak badan, lo nggak punya kewajiban untuk antar dia ke mana-mana." Neiva langsung menimpali dengan sewot. Sepertinya perempuan itu masih kesal dengan Hazel.
"Baru juga cuma nawarin. Gimana kalau beneran diajak kawin?"
"Gue gundulin kepala lo!"
Irish meringis kecil. "Udah, Nei. Nggak apa-apa. Aku pulang aja."
"Loh, kenapa pulang? Biarin dia aja yang pulang." Neiva menahan Irish yang hendak pergi.
"Gue yang ajakin dia, Nei. Hazel udah bantuin gue. Nggak mungkin, dong, tiba-tiba gue suruh dia pulang," kata Sian dari posisinya.
"Lagi pula, lo udah tahu gimana hubungan Irish sama Hazel, pake acara diajak segala." Neiva menggerutu. Sesekali, dia melempar tatapan sinis ke arah Hazel.
"Udah, udah. Kenapa pada berantem? Kamu serius lagi nggak enak badan, Rish?" Mauve bertanya, meski dia tahu kalau alasan itu hanyalah akal-akalan Irish saja.
Irish membuka mulut, hendak menjawab, tapi perutnya tiba-tiba berbunyi, yang membuat pusat perhatian mereka semua seketika tertuju pada perut datarnya. Wajah Irish memerah, menahan malu.
"Aku ikut kalian aja." Dengan terpaksa, Irish mengucapkannya.
Hazel berdeham, menyembunyikan tawanya yang ingin keluar. "Dagingnya ada yang udah matang. Mau makan?"
Tanpa diminta, Hazel berjalan menuju Sian. Dia mengambil piring dan beberapa daging yang sudah matang. "Yan, saya ambil dagingnya dulu. Nanti kalau kurang, saya beliin lagi."
Sian membalasnya dengan acungan jempol.
"Rish, lo yakin Hazel pernah jahat sama lo?" Sikutan Neiva di lengannya membuat Irish menoleh.
"Lo, kan, tahu ceritanya, Nei!" Irish berbisik.
"Tapi wajahnya sekarang, bikin dia kelihatan kayak laki-laki baik."
"Iya, wajah doang. Sifat tetap kayak setan."
"Kamu mau makan di mana?"
"Hah?" Irish kelabakan. Apalagi, mereka bukan hanya berdua saja, melainkan ada tiga orang lainnya di sini. Kenapa Hazel menunjukkan perhatiannya di depan teman-teman mereka?
"Gosipnya dilanjutin bentar aja. Irish udah laper, jadi harus makan dulu." Walaupun mata Hazel berfokus pada Irish, tapi dia tahu kalau ucapan Hazel ditujukan untuk Neiva yang langsung merengut. Seperti kerbau yang hidungnya dicucuk, Irish menurut saat Hazel menggenggam tangannya, membawanya ke sebuah meja dan kursi yang sudah disediakan untuk tempat makan-makan nanti.
"Sore tadi, kamu belum makan?" tanya Hazel begitu Irish duduk.
"Belum."
"Lain kali, kalau laper, jangan sungkan bilang ke aku."
Irish mengernyit. "Memangnya kamu siapa?"
Hazel tersenyum, manis. "Calon suami kamu."
"Hazel!" Irish melirik situasi, dan menemukan kedua teman perempuannya sedang melihatnya dengan pandangan aneh. Barangkali sempat mendengar ucapan Hazel yang menggelikan. Irish menghela napas. Mereka tidak tahu saja kalau masih banyak kalimat-kalimat cringe yang Hazel lontarkan.
"Diem di sini, aku mau ambil air dulu."
Selepas kepergian Hazel—ke dapur—Mauve dan Neiva buru-buru mendekatinya lalu duduk di sisi kanan-kiri.
"Sumpah, Rish. Lo kenapa diem aja? Mana Irish yang gue kenal, yang katanya bakal kasih Hazel pelajaran setimpal dengan rasa sakit hati lo?"
"Kayaknya Hazel berhasil bikin kamu bingung lagi, Rish."
"Lo nggak boleh luluh gitu aja, dong, Rish. Tiga tahun bukan waktu yang mudah untuk lo menyembuhkan hati lo."
Irish membuang napas kasar. "Aku juga nggak tahu, Nei, Mau. Dia bikin semuanya makin berantakan. Dia bikin hati aku nggak keruan."
Irish benar-benar frustrasi. Kalau bisa berharap, dia ingin kehidupannya kembali sebelum Hazel kembali. Meski sakit, tapi setidaknya dia bisa menata hati. Bukannya justru dibuat menggila begini.
***
Bali, 14 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top