16. Masa Lalu

Perasaan kita masih tetap sama, hanya saja situasinya sudah berbeda.

***


"Makan yang banyak, Rish. Kamu kelihatan kurusan."

Celetukan yang dilayangkan Hazel sebelum memasukkan makanannya ke dalam mulut sukses membuat Irish mendengkus dengan tatapan sinis.

Aku kurusan gara-gara kamu, ya!

Ingin sekali Irish berteriak begitu, tapi dia sedang malas berdebat dengan Hazel yang pastinya punya banyak jawaban di dalam kepalanya—sangat pintar bersilat lidah. Sebagai pengalihan, Irish memakan makanannya dengan sebal. Sesekali, tentunya dengan sengaja, dia akan menimbulkan suara decakan saat mengunyah yang menciptakan kerutan tak nyaman di kening Hazel.

Ya, pria borjuis itu tak suka kalau ada yang makan sambil bersuara. Bisa membuatnya tak berselera. Dan memang itu niat Irish. Dia senang kalau Hazel kesal. Rasanya puas sekali, seolah-oleh tengah membalaskan dendam di masa lalu.

"Selama nganggur, kamu numpang makan sama Neiva dan Mauve? Utang kamu berapa banyak?"

Irish menghentikan kegiatan mengunyahnya. Meski kentara sekali ketidaknyamanan di wajahnya, Hazel berusaha untuk abai dan mencari topik pembicaraan supaya tidak terfokus pada suara decakan Irish. Dia tahu kalau perempuan itu sengaja. Entah rencana apa yang sedang disusun oleh Irish secara diam-diam.

"Mau ngapain? Bayarin?" Sebenarnya Irish hanya asal saja. Toh, Hazel pasti tak akan mau membayarkannya lantaran utangnya kepada pria itu saja sudah banyak—ingat ponsel keluaran terbaru yang harganya membuat ginjal Irish menjerit? Boro-boro mau menambah utang, yang itu saja belum dia bayar uang mukanya.

Hazel mengangguk. "Boleh. Bisa diatur. Kamu, kan, asisten pribadi aku. Jadi, kemungkinan besar nanti aku bakal minta tolong sama kamu untuk bantu mengelola keuangan pribadi aku juga."

"Hah?"

Demi Mrs. Puff yang pusing lantaran memiliki murid seperti Spongebob, Irish tak percaya kalau Hazel akan berkata demikian. Orang kaya memang rata-rata kebanyakan suka begitu, ya? Merasa uang mereka tak ada harga dirinya sama sekali hingga Hazel dengan gampangnya menghambur-hamburkan uang dan mempercayakannya kepada Irish untuk dikelola.

Bagus kalau Irish amanah. Kalau tidak? Misalnya Irish langsung membawa kabur uang tersebut, bagaimana? Lalu, Hazel jatuh miskin dan memilih untuk melakukan pinjaman online.

"Jangan mikir yang aneh-aneh." Hazel langsung mengetuk pelan kening Irish menggunakan sumpit, menyadarkan perempuan itu sebelum berpikir semakin jauh. "Aku tahu apa yang ada di kepala kamu."

"Apa?"

"Kamu pengin bawa kabur uang aku."

"Kok, tahu?" Irish buru-buru mengulum bibirnya.

Mata Hazel melotot. Dia hendak meraih tubuh Irish tapi tak bisa lantaran si empunya sudah lebih dulu menghindar dengan bergeser ke ujung sofa. Tak lupa, dia mencomot udang tepung lalu memakannya.

"Kamu lebih milih uang daripada aku?" Hazel bertanya seraya berekspresi sedih, mirip seperti ibu Malin Kundang saat mengetahui sang anak tak mengakuinya sebagai ibu.

"Dih? Ngapain aku milih kamu?" Karena sama saja dengan masuk ke kandang singa setelah berhasil keluar dari lubang buaya. Cari perkara namanya!

Hazel mengangkat bahu tak acuh. "Kalau kamu milih aku, tentunya uang kamu bakal lebih banyak lagi. Secara, kan, aku bisa menghasilkan uang dari bekerja. Sedangkan kalau kamu pilih uang, sampai kapan bisa bertahan? Uang bakal habis—"

"Dan manusia bisa pergi kapan saja. Setidaknya, uang habis dengan pasti. Yaitu dibelanjakan atau untuk hal lainnya. Kalau manusia? Suka meninggalkan tanpa kepastian. Menghilang tanpa jejak, terus datang-datang kayak ninja." Irish menyela ucapan Hazel.

"Aku nggak hilang tanpa kepastian, Rish. Aku udah ngabarin kamu sebelumnya." Hazel yang merasa sedang disindir, tentu tak terima. Dia meletakkan sumpitnya di sebelah mangkuk sup ikan yang dia pesan di detik-detik terakhir saat Jasmine akan checkout.

"Cuma lewat chat. Itu yang namanya ngabarin? Oh, ralat. Bukan ngabarin, lebih tepatnya mutusin hubungan. Aku nggak habis pikir sama laki-laki mental tempe yang nggak bisa bicara secara langsung."

Barangkali terlalu emosional lantaran mendekati bulan merahnya, Irish menjadi lebih sensitif. Jujur, dia sudah menahan perasaan ini sejak lama, dan entah kenapa dia merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkannya, meski ibunya pernah berkata kalau dia tidak boleh berdebat di hadapan makanan yang terhidang.

Sakit hati anakmu, Ma!

"Rish. Aku punya alasan untuk itu. Aku juga udah berusaha meminta maaf sama kamu. Aku nggak akan bantu kamu kalau aku nggak ada niat baik untuk memperbaiki hubungan kita di masa lalu."

Kalau waktu bisa diputar kembali, Hazel juga tak ingin hal ini terjadi. Dia benar-benar putus asa hingga tak punya waktu untuk berpikir panjang. Kalau menurut Irish dia bermental tempe, dia pasti akan selalu bersembunyi dari perempuan itu, tak mau berhadapan dengan Irish untuk sekadar meminta maaf.

"So, what? Alasan kamu pergi tanpa kejelasan. Kalau memang kamu punya pembelaan, kasih tahu aku. Gara-gara kamu, semua rencana yang udah tersusun rapi di hidup aku, jadi berantakan. Perasaan hopeless yang menimpa aku bikin aku benci sama kamu."

Irish menunjuk Hazel menggunakan telunjuknya. Sungguh, kebencian itu masih menyelimuti dadanya. Dia tak bisa melupakan bagaimana Hazel mencampakkannya begitu saja. Siapa yang tidak emosi kalau ditinggalkan di saat dia membutuhkan dukungan orang-orang sekitarnya untuk tetap waras dalam menghadapi skripsi yang membuatnya menangis setiap malam?

"Aku ... maaf. Aku nggak bisa bilang, Rish. Saat itu aku benar-benar kacau. Bukan cuma kamu. Aku juga nggak mau tinggalin kamu, Rish. Berat rasanya untuk mutusin kamu. Tapi aku juga nggak mau gantungin kamu dengan harapan yang cuma bisa bikin kamu kecewa."

"Tapi dengan kamu yang bersikap kayak gini, kamu udah bikin aku kecewa, Zel! Kamu terlalu tertutup untuk hal-hal yang sebenarnya bisa kamu bagi ke aku." Irish mendongak, tak ingin air matanya mengalir sia-sia karena pria pecundang di hadapannya itu. Sudah terlalu banyak air mata yang dia keluarkan untuk Hazel hingga dia sempat mengira kalau cairan tersebut akan habis.

"Kamu yang bilang kalau kamu hampir stress karena skripsi kamu yang enggak selesai-selesai. Jadi, gimana caranya aku berbagi sama kamu? Aku nggak mau semakin membebani kamu."

"Kepergian kamu justru semakin membebani aku, Berengsek! Setelah kamu putusin aku, kamu pikir aku terima gitu aja? Enggak! Aku terus hubungin nomor kamu yang entah kenapa tiba-tiba bisa nggak aktif. Aku bahkan sampai tanya teman-teman kamu yang ternyata sama sekali nggak tahu keberadaan kamu. Kenapa, sih, di saat kayak gitu teman-teman kamu nggak bisa diajak kompromi? Kamu udah sogok mereka?"

Tidak. Irish tak sekuat Wonder Woman yang hatinya terbuat dari baja. Dia hanya Irish Blossom yang mempunyai hati selembut kapas yang bahkan bisa menangis ketika melihat hewan terlantar dengan kondisi gizi buruk.

Meski bar-bar, dia juga perempuan yang memiliki simpatik.

Tak peduli kalau nantinya Irish akan memukulnya, Hazel mengubah posisinya, semakin dekat dengan Irish. Begitu duduk di sebelah perempuan itu, tangannya terulur, menarik tubuh Irish ke dalam dekapannya.

"Maaf."

Di situlah tangis Irish pecah. Dia menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala emosi yang membelenggu dirinya selama ini. Beruntung ruangan Hazel didesain kedap suara hingga mereka tak perlu khawatir Jasmine atau siapa pun akan mendengar pertengkaran mereka dan tangisan Irish.

"Kamu laki-laki paling jahat yang aku kenal, Zel! Aku benci sama kamu. Benar-benar benci sampe rasanya aku nggak mau lihat kamu sedikit aja. Kamu tega karena udah bikin aku telat lulus! Kamu tega karena bikin aku nggak bisa move on bertahun-tahun. Kamu tega—" Irish tak melanjutkan ucapannya tatkala Hazel semakin mengerutkan pelukan mereka seraya menenggelamkan wajah Irish ke dada bidangnya.

"Aku ngerti. Aku salah. Aku udah mematahkan harapan kamu tentang hubungan kita. Aku nggak ada di sisi kamu waktu kamu butuh support aku. Aku menghilang tiba-tiba. Kamu pasti menderita, kan, Rish?" Hazel mengelus punggung Irish secara perlahan. Ini kali kedua dia memeluk tubuh ringkih Irish setelah sekian lama. Namun, rasanya masih tetap sama. Hatinya masih membuncah bahagia berdekatan dengan perempuan itu.

"Bukan menderita lagi, aku bahkan hampir menyerah untuk kuliah waktu itu gara-gara nunda skripsi. Untung ada Neiva dan Mauve yang terus semangatin aku." Irish menarik ingusnya yang hendak keluar. Dia mengelap air matanya yang terkena mata ke baju Hazel, tak peduli kalau nantinya baju pria itu akan basah atau kotor. Biarkan saja. Hazel masih mempunyai banyak baju-baju mahal di dalam lemarinya. Mengikhlaskan salah satunya tidak akan membuat Hazel jatuh miskin.

"Aku memang sengaja ganti nomor supaya nggak berhubungan sama kamu lagi untuk sementara waktu dan berakhir dengan keegoisan aku yang memutuskan untuk tetap bertahan di sisi kamu."

Irish mendongak, menatap Hazel yang juga tengah menatapnya. Seketika, Hazel terkekeh kecil melihat wajah Irish. Hidung memerah, mata bengkak dan pipi yang penuh air mata. Meski kasihan, tak dipungkiri kalau Hazel gemas dengan Irish. Tangannya bergerak menghapus sisa-sisa air mata Irish lalu mencubit pelan hidung perempuan itu.

"Ini adalah salah satu alasan kenapa aku nggak mau ketemu kamu untuk mengakhiri hubungan kita. Aku takut, Rish. Aku takut kalau aku bakal luluh. Aku nggak bisa lihat kamu sedih. Sama sekali enggak bisa. Karena kebahagiaan kamu, adalah kebahagiaan aku juga."

"Tapi sekarang aku nangis karena kamu."

"Maka dari itu aku menyesal. Forgive me please?" Hazel menunjukkan raut permohonan yang membuat Irish tak bisa menahan tawanya.

"Kamu nggak cocok kayak gitu, Zel. Muka kamu yang garang nggak pantes dibikin imut." Suara Irish terdengar masih serak, mungkin karena terlalu banyak menangis.

"Jadi?" Alis Hazel naik sebelah, menunggu jawaban Irish, yang dibalas gelengan oleh si empunya.

"Aku laper. Makanannya belum habis."

Di mana pun situasinya, kalau sudah urusan perut, Irish tak bisa menahannya. Apalagi dia baru saja selesai menangis yang benar-benar menguras tenaganya. Meski begitu, sejujurnya ... dari hati terdalam Irish, masih ada kejanggalan mengenai alasan kepergian Hazel yang tidak bisa pria itu ceritakan.

Pasti ada sesuatu.

***

See u!

Bali, 12 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top