13. Yang Disengaja

Demi untuk mendekatkan kamu kembali, aku rela bersikap bodoh di hadapanmu.

***


Tidak seperti saat pertama kali datang ke kantor, kali ini Irish dipersilakan masuk oleh resepsionis di apartemen Hazel. Namun, begitu dia berada di depan pintu apartemen, Irish terdiam ragu, teringat dengan ucapan Hazel di telepon.

Apa iya, pria itu memakai tanggal lahirnya sebagai password? Tapi ... kenapa? Tidak mungkin sekadar iseng karena hanya tanggal tersebut yang tiba-tiba terlintas di pikiran Hazel, kan? Atau mungkin ... sebenarnya Hazel berbohong? Dia ingin mengolok-olok Irish supaya perempuan itu besar kepala dan mengira kalau Hazel benar-benar belum move on?

Astaga ... mendadak kepala Irish pusing sekali!

Getaran dari ponsel yang digenggam Irish sontak membuatnya berpaling. Dia melirik layar benda persegi panjang tersebut. Ternyata pesan masuk dari Hazel.

Kacang Gila: Kenapa belum masuk? Kamu pengin disambut pake karpet merah kayak di Gala Premiere?


Irish berdecak pelan. Hazel pasti sedang melihatnya dari dalam sana, tapi enggan untuk membukakan pintu. Padahal, di sini Irish bertindak sebagai asisten yang sopan. Dia tidak ingin kurang ajar keluar-masuk apartemen atasannya dengan bebas.

Lagi, ponsel Irish bergetar.

Kacang Gila: Kalau kamu diem terus di depan pintu, kita bisa terlambat kerja, loh.


Irish menghela napas panjang. Ya, sudahlah. Suka-suka Hazel saja. Dia hanyalah asisten yang bernasib sial karena memiliki atasan seperti Hazel Jenggala. Tangan Irish terangkat, mulai menekan tombol password. 121098. Salah. Alis Irish berkerut samar. Kata pria itu, password-nya menggunakan tanggal lahir Irish, tapi kenapa bisa salah? Hazel memang ingin membohonginya, ya? Wah, benar-benar menyebalkan!

Ketika Irish hendak memencet bel, pesan kembali masuk ke ponselnya.

Kacang Gila: Dimulai dari tahun dulu, Rish. Terus, bulan baru tanggal. Mukanya jangan ditekuk gitu, nanti cantiknya berkurang.


"Ribet banget, sih. Tinggal buka doang. Dasar picisan!" Irish menggerutu sebal. Hazel pikir, Irish suka dipanggil cantik? Kalau bisa memilih, dia lebih baik terlihat biasa saja di mata Hazel daripada dipuji cantik oleh playboy cap kuda macam pria itu. Meski begitu, dia tetap menuruti perintah Hazel. Tangannya kembali mencoba menekan tombol password.

"Sembilan delapan, sepuluh, dua belas. Awas aja kalau salah lagi, aku bakal pulang—"

"The door is open. Welcome!"

Irish mengerjap dua kali saat pintu berhasil terbuka. Ternyata Hazel benar-benar menggunakan tanggal lahirnya. Sesuatu yang tak pernah terbesit di benaknya. Perlahan, Irish menekan gagang pintu lalu mulai masuk ke apartemen.

Aroma mint khas Hazel langsung menelusup ke indra penciuman Irish. Matanya mengedar ke sekeliling ruangan apartemen yang sangat luas.Tanpa sadar, Irish berdecak kagum melihat interiornya yang mewah—hal lumrah yang ditemukan di kawasan apartemen elit. Dengan didominasi warna putih dan abu-abu, seolah-olah memberi kesan misterius kepada pemiliknya yang entah sedang berada di mana.

"Mau masuk aja kayak disuruh ke kandang buaya. Penuh pertimbangan banget."

Mendengar suara terkutuk itu, Irish langsung menoleh. Namun, tiba-tiba dia memekik disertai bola mata yang membulat sempurna. "Hazel! Kamu ngapain, sih?"

Bagaimana Irish tidak kaget kalau dia disuguhi pemandangan senonoh; Hazel berdiri dengan tubuh yang hanya dibalut jubah mandi berwarna putih. Irish bahkan sangsi kalau di dalam jubah tersebut, Hazel memakai dalaman lantaran sebagian dada pria itu terlihat.

"Santai aja kali, Bu. Nggak usah teriak. Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu juga." Dengan santai, Hazel meminum kopinya di dekat jendela, persis seperti model iklan yang sering Irish lihat di televisi. Terlebih, proporsi tubuh Hazel yang atletis sangat mendukung hal tersebut.

Irish membuang muka, tak ingin berlama-lama menatap tubuh Hazel yang entah kenapa tampak sexy dengan sisa-sisa air dari rambutnya yang basah.

Sadar, Rish. Sadar!

Irish berusaha menyadarkan dirinya sendiri agar tidak terlena dengan tipu muslihat Hazel. Dia yakin kalau pria itu tak mungkin tanpa sengaja berpakaian begitu di depan Irish. Ada udang di balik bakwan kalau kata Neiva.

"Kamu ngapain nyuruh aku ke sini? Kita bisa ketemu di kantor, Zel."

Hazel mengangkat alisnya lalu berjalan menghampiri Irish, tapi langsung dicegah oleh si empunya yang sempat melirik tindak-tanduk Hazel. "Kamu tetep di sana aja. Jaga jarak!"

"Memang kenapa? Nggak baik bicara jarak jauh begini."

Mata Irish melotot. Tentu dia tak ingin Hazel berdekatan dengannya untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tak diinginkan. Mereka hanya berdua saja di apartemen Hazel yang megah ini. Berbeda jenis kelamin pula. Jadi, Irish tak bisa menjamin keselamatan dirinya yang berada dalam satu ruangan bersama Hazel yang sedang tidak memakai apa pun.

"Nggak usah ngaco! Jarak kita cuma beberapa langkah, ya, Zel. Enggak kayak Sabang dan Merauke sampe-sampe kamu mau samperin aku."

Hazel terkekeh kecil. "Apa, sih, Rish? Lebay kamu!"

"Intinya, kamu jangan deket-deket. Kalau kamu tetep lakuin itu, aku nggak yakin sapu di deket pintu masih ada di tempatnya." Irish menunjuk sapu ijuk di balik pintu apartemen, bermaksud mengancam Hazel meski dia tahu kalau itu sia-sia.

Kekehan Hazel semakin lepas, merasa lucu dengan sikap Irish yang seakan-akan sedang melindungi diri dari monster. Padahal, Hazel adalah malaikat penolong yang selalu datang tepat waktu saat dibutuhkan. Dia bahkan tak bisa membayangkan bagaimana tangan sekecil Irish mampu mengalahkannya yang bertubuh lebih besar menggunakan sapu.

"Oke. Kamu bisa lakuin apa aja ke aku pake sapu itu kalau aku berbuat aneh-aneh ke kamu. Kalau memungkinkan, kamu juga bisa ambil pisau di dapur setiap kali merasa terancam sama aku," ucap Hazel setelah kekehannya berhenti. Dia berjalan ke arah pantry lalu meletakkan cangkir kopinya di sana. Irish masih membuang muka, membuat Hazel mendengkus kecil.

"Aku pake celana kalau itu yang kamu khawatirkan, Rish. Lagi pula, aku minta ke sini karena aku butuh bantuan kamu. Inget, kamu adalah asisten pribadi aku. Jadi, kamu harus turutin kemauan aku—"

"Kalau sesuai sama pekerjaan." Irish langsung menyela.

"Iya, Rish. Iya." Hazel memperbaiki letak jubah mandinya yang sedikit merosot—sekaligus supaya Irish tidak risi lagi—sebelum berucap, "Aku bingung nentuin pakaian yang cocok untuk dipake ke kantor. Aku butuh saran kamu."

Oh, jadi itu alasan Hazel menyuruhnya pagi-pagi buta datang kemari. Ya, meski alasannya sedikit klise karena biasanya pria itu bukan tipe yang ribet untuk urusan pakaian. Baru kali ini Hazel sampai meminta pendapat Irish.

"T-tapi benerin dulu baju kamu, Zel." Irish belum siap untuk terkejut lagi.

"Udah aku benerin, Rish. Makanya lihat dulu."

Dengan gerakan lambat, Irish melirik Hazel. Helaan napas lega meluncur dari bibirnya. Benar, tak seperti tadi yang terbuka sana-sini, kini pria itu sudah menutup rapat tubuhnya menggunakan jubah mandi.

"Ya, udah. Mana baju kamu? Biar aku pilihin."

Irish mengikuti langkah Hazel menuju kamar pria itu. Tak jauh berbeda dari ruangan sebelumnya, kamar Hazel juga tampak mewah. Semuanya tertata rapi di tempat yang sudah disediakan, membuat jiwa miskin Irish memberontak. Dia bahkan bisa menebak dengan mudah kalau harganya bisa untuk Irish makan selama berbulan-bulan.

Menyadari itu, Irish semakin yakin kalau Hazel sudah banyak berubah. Mereka benar-benar seperti langit dan bumi yang kentara sekali perbedaannya.

Ma, laki-laki flamboyan di depanku ini pernah jadi mantan sekaligus patah hati terbesarku!

"Kamu bisa masuk ke bilik itu. Di sana tempat baju-baju aku." Hazel menunjuk sebuah ruangan yang sepertinya terhubung dengan kamar mandi.

"Aku bakal masuk ke sana, tapi kamu diem di sini. Jangan ikut masuk."

Melihat kewaspadaan Irish, Hazel mengangguk mengerti. Dia tak ingin memaksa perempuan itu. Sementara Hazel memutuskan untuk duduk di sofa kamarnya, Irish masuk ke walk in closet. Untuk sesaat, Irish tercengang. Ruangan tersebut lumayan luas dengan berbagai macam pakaian dan tetek bengeknya yang terpajang di sana. Mulai dari pakaian santai sampai formal. Dasi polos, maupun bermotif. Macam-macam sepatu, jam tangan bermerk hingga ikat pinggang.

Sebenarnya, berapa gaji dan warisan Hazel sampai-sampai pria itu sebegini kayanya?

"Kalau aku ambil salah satu terus dijual di pasar loak, bisa beli seblak sekalian sama gerobaknya kali, ya." Irish berdecak pelan seraya mulai mencari-cari pakaian yang cocok untuk Hazel. Agak sulit memang, mengingat Irish yang tidak tahu style sama sekali. Dia sendiri bingung saat Hazel justru menyerahkan gaya berpakaian yang cocok dengannya pada Irish.

Hampir lima menit mencari, Irish menjatuhkan pilihannya pada coat berwarna cokelat susu, kaus berwarna sedikit lebih muda, celana chino cokelat tua, dan juga sneakers putih. Rasanya, perpaduan itu lumayan bagus kalau dipakai oleh Hazel. Tidak terlalu norak, lah.

Meletakkannya di sebuah kursi yang ada di pojok, Irish lantas keluar. Dilihatnya Hazel tengah mengutak-atik iPad dengan beberapa camilan di depannya. Barangkali terlalu fokus, Hazel tak menyadari kehadiran Irish.

Baru ketika Irish berdeham, perhatian Hazel beralih. "Udah aku siapin. Nggak usah protes kalau kamu ngerasa aneh. Tinggal ganti sama yang lain," ucap Irish.

Hazel tersenyum miring lalu bangkit setelah menaruh iPad di atas meja, dekat camilan yang dia ambil dari dapur saat Irish berada di dalam.

"Aku yakin kamu nggak bakal ngecewain aku." Hazel menyahut sambil berjalan melewati Irish.

"Memang. Yang biasanya bikin kecewa, kan, kamu."

Sederet kalimat yang Irish lontarkan dengan santai itu membuat Hazel hampir tersandung kakinya sendiri. Lagi, Irish menyindirnya karena kesalahan di masa lalu yang tampaknya masih sangat membekas di hati perempuan itu.

Hazel menipiskan bibir. Baiklah, Hazel. Dia memang perlu perjuangan ekstra untuk kembali merebut kepercayaan Irish.

Semangat pejuang cinta!

***

Bali, 08 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top