12. Tugas Yang Sulit
Bekerja dengan mantan itu serba salah memang. Mau bertahan, takut ada perasaan, tapi kalau berhenti, nanti menyesal.
***
"Capek banget, ya, Rish?"
Neiva duduk di sebelah Irish yang sedang membuka bungkus nasi Padang. Perempuan itu baru saja sampai di rumah seraya menenteng kantong keresek berisi nasi Padang dan martabak untuk Neiva. Namun, tanpa berganti baju terlebih dahulu—bahkan tas dan sepatunya masih berserakan di ruang tamu—Irish memakan nasi Padang-nya, seolah-olah dia sudah tidak makan selama berhari-hari, membuat Neiva berpikir kalau Irish dipaksa kerja rodi oleh Hazel.
"Banget, Nei," sahut Irish setelah menelan makanannya. Neiva meringis. Melihat Irish yang tampak lahap, dia menjadi agak kasihan. Untuk seseorang yang sudah menganggur lumayan lama, mulai bekerja lagi mungkin sedikit melelahkan, tapi wajah letih Irish benar-benar menggambarkan kalau dia habis melalui hari yang berat. Sebenarnya, seberapa keras Hazel menyuruh Irish bekerja?
"Memang lo disuruh kerja angkat barang sama Hazel, Rish? Atau lo disuruh nguras air laut pake sendok teh?" Neiva mencomot satu martabak yang sudah dibagi menjadi beberapa bagian lalu memasukkannya ke dalam mulut. Perpaduan antara keju dan cokelat yang meleleh langsung menggoda lidahnya. Enak sekali!
Irish menggeleng. "Lebih dari itu, Nei. Aku lebih mending disuruh angkat barang atau nguras air laut daripada jadi asisten pribadi Hazel."
Neiva mengernyit. Irish adalah tipikal perempuan yang lebih menyukai rebahan di atas kasur daripada bekerja dengan tenaga ekstra. Namun, kalau Irish sudah berkata demikian, itu berarti Hazel sudah memberi pekerjaan yang tidak Irish sukai.
"Lo disuruh ngapain sama Hazel?" Suara Neiva berubah serius. Dia berjanji tak akan melepas pria itu kalau menyuruh Irish melakukan sesuatu yang aneh.
Irish menunda perkataannya. Dia mencocol sambal dengan dendeng balado sebelum memakannya. Spontan, kepala Irish bergerak-gerak, merasakan kenikmatan yang tiada tara. Kekesalannya terhadap sikap Hazel pun seketika menghilang, digantikan surga dunia dalam bentuk nasi Padang yang mengenyangkan.
"Dia nggak nyuruh aku ngapa-ngapain, sih, Nei."
"Terus, lo kenapa kelihatan menderita kayak gini?"
Irish mengangkat bahunya, tak acuh. "Gimana nggak menderita kalau dia terus-menerus bahas pernikahan sama aku."
"Hah?" Neiva memekik kencang, membuat Irish langsung mengelus telinganya yang berdenging.
"Nei, suara kamu kecilin dikit. Telinga aku sakit, tahu!"
Mengabaikan ucapan Irish, Neiva berucap dengan nada menggebu-gebu, "Serius Hazel bahas pernikahan sama lo? Setelah apa yang udah dia lakuin, kok, dia masih punya malu?"
"Ya, kan. Kamu yang aku ceritain aja udah kaget, apalagi aku yang ngalamin sendiri. Pusing kepalaku gara-gara Hazel terus bahas hal-hal kayak gitu. Tekanan batin aku lama-lama."
Irish tak berbohong. Meski dengan kalimat yang bervariasi, inti dari ucapan Hazel bermakna sama; pernikahan. Bahkan, kalau disuruh menghitung berapa kali pria itu mengatakannya dalam sehari, Irish akan berhenti di angka seratus—oke, terlalu berlebihan, tapi sungguh. Saking banyaknya, Irish sampai tak bisa menghitungnya.
"Nggak, orang itu udah nggak bener. Berhenti aja, Rish. Gue masih sanggup bantu-bantu lo yang pengangguran daripada gue dibuat hampir jantungan setiap denger cerita lo. Ini baru sehari, gimana dengan seterusnya?" Neiva sangat ingat bagaimana down-nya Irish ketika Hazel meninggalkan perempuan itu, dan mendengar bagaimana mudahnya Hazel melupakan semua yang sudah dia lakukan berhasil memercikan api kemarahan di hati Neiva.
Andai sekarang Hazel berada di hadapannya, Neiva akan meminta Mauve untuk membantunya memberi Hazel pelajaran berharga.
Irish menghela napas panjang. Dia meminum air mineral yang dibelinya saat rapat di kompleks perumahan Pak Sanjaya. Kalau saja urat malunya sudah putus seperti Hazel, dia pasti akan mengiyakan permintaan Neiva. Masalahnya, Irish tak mungkin terus bergantung pada Neiva layaknya benalu. Dia tidak sejahat itu.
"Aku udah tanda tangan kontrak, Nei. Jadi nggak bisa berhenti gitu aja."
"Ada uang penalti kalau batalin kontrak, Rish?"
"Bukan masalah uang penalti, Nei. Tapi..." Irish menunjuk ponselnya yang tergeletak di atas meja ruang tamu menggunakan dagu. "Aku harus ganti rugi ponsel yang Hazel beliin, Nei. Kamu pasti tahu kalau harganya nggak murah. Nggak mungkin, kan, kalau aku jual ginjal dulu atau cari sugar Daddy kayak yang Mauve bilang?"
Neiva mendadak kicep. Seharusnya, dia tahu kalau dari dulu sampai sekarang, Hazel adalah seseorang yang ambisius terhadap apa pun yang diinginkannya. Hanya saja, pria itu melakukannya dengan cara halus, dan kemungkinan Hazel memang ingin kembali menjalin hubungan dengan Irish.
"Kalau gitu, gue nggak bisa bantu lo, Rish." Dengan berat hati, Neiva mengucapkannya. Ini memang bukan film mafia yang sering ditonton Irish, di mana si pria akan menyekap si perempuan di sebuah pulau terpencil atau membawanya secara paksa ke rumah mewah yang jauh dari keramaian kota untuk dijadikan sandera, tapi Hazel mampu mengikat Irish dengan akal cerdiknya. Seperti kali ini.
"Ya, udahlah. Mungkin Tuhan memang kasih aku rejeki lewat Hazel. Minimal supaya aku punya tabungan yang cukup sebelum resign." Yang perlu Irish lakukan hanyalah menutup telinganya.
Neiva tersenyum kecut sambil mengusap bahu Irish, menguatkan.
***
Pagi ini, Irish kelabakan. Matahari masih mengintip malu-malu dari arah timur, tapi Irish sudah bersiap-siap di kamarnya dengan baju kerja yang Hazel belikan tempo lalu. Mata perempuan itu masih bengkak—karena baru bangun tidur—dengan wajah mengantuk ketika dia memakai lip cream berwarna peach supaya tampak cerah.
Irish melirik jam dinding. Jam enam kurang lima menit, pagi. Bukan tanpa alasan dia bangun lebih awal, melainkan karena titah Hazel yang memintanya untuk pergi ke apartemen pria itu sebelum berangkat kerja. Dan Hazel mengatakannya saat Irish sedang asyik menonton drama Korea di jam dua belas malam. Entah apa yang Hazel inginkan hingga membuatnya bingung sekaligus kesal begini.
Meneliti penampilannya sekali lagi, Irish mengambil tas selempangnya lalu keluar kamar. Sejenak, dia menatap pintu kamar Neiva yang masih tertutup—barangkali perempuan itu masih bergelung di dalam selimut. Hanya dengan memikirkannya sudah menimbulkan keirian di hati Irish.
Aku juga masih ngantuk!
"Nggak apa-apa, Rish. Demi uang, kamu harus rela berkorban. Kalau kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, jadi kaya kemudian." Irish mencoba menyemangati diri sendiri meski sebenarnya dia masih ingin memeluk guling tercinta.
Begitu Irish menutup pintu rumah, ojek online yang dia pesan ternyata sudah berada di depan halamannya.
"Atas nama Mbak Irish?" tanya Pak Ojek dengan nama Suyadi.
"Iya, saya sendiri."
"Ke Apartemen Viola, ya, Mbak?" Pak Suyadi mengulurkan helm kepada Irish.
"Iya, Pak." Irish menyahut sambil memakai helmnya dan duduk di jok belakang.
Motor tersebut mulai berjalan, menyusuri jalanan Jakarta yang sudah mulai ada kendaraan berlalu-lalang. Irish memeluk dirinya sendiri karena hawa dingin yang membelai kulit telanjangnya. Sesekali, Irish akan menguap hingga matanya berair.
"Jam segini udah mau berangkat kerja, Mbak?" Di tengah-tengah perjalanan, Pak Suyadi membuka percakapan, untuk menepis keheningan.
"Hah? Gimana, Pak?" Irish yang tidak mendengar, kembali bertanya.
"Jam segini udah berangkat kerja, Mbak?" tanya Pak Suyadi, lagi.
Irish berdeham. Serius, dia tetap tak mendengar suara Pak Suyadi dengan jelas lantaran tertutupi suara angin dan kendaraan. Dia agak mencondongkan tubuhnya supaya bisa mendengar suara Pak Suyadi.
"Bisa diulangi, Pak?" Meski malu—barangkali dikira sedikit budek—Irish meminta pertanyaannya diulang.
Helaan napas meluncur dari mulut Pak Suyadi sebelum mengikuti permintaan Irish. "Jam segini udah mau berangkat kerja, Mbak?"
"Oh..." Irish mengangguk. "Iya, Pak. Tapi saya mau ke tempat temen saya dulu. Ada urusan." Tak mungkin, kan, dia jujur kalau ingin ke tempat seorang pria di pagi-pagi begini? Bisa-bisa Pak Suyadi mengira yang tidak-tidak. Harga dirinya mau dibawa ke mana?
"Udah lama kerjanya, Mbak?" Ketika Pak Suyadi kembali bersuara, sebuah motor dengan knalpot yang berisik lewat dari arah berlawanan.
"Aduh, maaf, Pak. Saya nggak dengar." Irish benar-benar merasa tak enak dengan Pak Suyadi. Sejujurnya, dia memang paling tidak suka kalau diajak berbicara saat memakai motor. Ya, salah satunya adalah ini. Telinganya menjadi budek dan berujung pada mis komunikasi.
"Udah lama kerjanya, Mbak?" Beruntung, Pak Suyadi lumayan sabar. Kalau Mauve—ini presentasenya rendah—atau Neiva yang berada di posisi pria paruh baya itu, sudah dipastikan kalau Irish akan kena omelan atau bahkan mereka sampai teriak-teriak di jalanan karena hilang kesabaran.
"Eng-nggak juga, Pak. Saya baru-baru ini kerja. Udah tiga bulan terakhir nganggur. Susah banget cari kerja di Jakarta, Pak."
"Memang susah banget, Mbak. Saya aja udah bersyukur jadi ojek online. Bisa biayain anak sekolah."
"Bapak punya berapa anak?" Kali ini, Irish bisa mendengar ucapan Pak Suyadi tanpa pengulangan.
"Empat, Mbak. Yang paling besar udah kerja. Dua masih sekolah, yang lagi satu masih balita." Bersamaan dengan itu, motor Pak Suyadi berhenti di depan apartemen Hazel. Bukan sembarang apartemen, karena tempat tersebut merupakan salah satu tempat elit di Kota Metropolitan yang memiliki penjagaan ketat.
"Terima kasih banyak, ya, Pak. Semoga rejekinya lancar," ucap Irish seraya melepas helm dan memberikannya kepada Pak Suyadi.
"Terima kasih juga, Mbak. Kebetulan, Mbak itu pelanggan pertama saya hari ini." Pak Suyadi menggantung helm di stang motornya.
"Wah, saya terharu, loh, Pak."
"Ya, udah. Saya pamit, ya, Mbak."
Irish tersenyum tipis. Setelah kepergian Pak Suyadi, Irish merogoh ponsel dari tas selempangnya untuk menghubungi Hazel. Dia tidak mau kejadian saat dia pertama kali datang ke kantor pria itu, terulang lagi. Namun, belum sempat mencari kontak Hazel, tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Tepat sekali, pria itu menelepon.
"Zel. Aku udah di depan apartemen kamu." Tanpa sapaan, Irish langsung to the point.
"Halo juga Irish."
Irish berdecak. Pria itu ingin bermain-main dengannya, ya?
"Zel, serius."
Terdengar kekehan kecil dari seberang sana. "Aku udah bilang sama resepsionis. Bilang aja tamu Hazel Jenggala."
"Oke."
"Tunggu dulu, Rish. Kamu belum tahu password apartemenku, kan?"
Alis Irish terangkat sebelah. Apa itu perlu?
"Nanti kamu bisa bukain pintunya, Zel."
"Tanggal ulang tahun kamu. Itu password-nya."
"Hah?" Belum hilang keterkejutan Irish, sambungan telepon sudah diputus lebih dulu oleh Hazel. Irish menatap layar ponselnya yang menghitam dengan bingung.
Sementara itu, dari dinding kaca lantai sepuluh, sesosok bertubuh tinggi dalam balutan jubah mandi dengan tangan memegang ponsel tengah menatap Irish yang terdiam bak patung.
***
See u!
Bali, 07 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top