11. Siaga Satu
Ada yang mengatakan kalau jangan membangunkan singa yang sedang tertidur. Tapi, tanpa disadari, Irish sudah melakukannya.
***
"Lain kali, kalau memang ada keresahan di hati kamu, utarakan setelah pekerjaan selesai. Aku nggak mau kamu ulangin hal yang kayak tadi lagi." Hazel berbalik badan seraya menggulung lengan sweater-nya, menatap Irish yang berdiri diam di depan pintu ruangannya. Mereka sudah selesai rapat bersama Ayana. Kebetulan, perempuan itu juga mempunyai jadwal pertemuan lain hingga dia tak kembali ikut ke kantor-salah satu hal yang biasa Ayana lakukan sebelum ada Irish.
"Dia duluan yang cari gara-gara, Zel. Kamu tahu sendiri kalau dia remehin kopi buatan aku. Jadi, kesel aku masih kebawa." Irish membela diri. Ya, walaupun dia akui kalau dia memang salah karena sudah mengajak Jasmine untuk bergosip di sela-sela pekerjaan.
Hazel menggeleng pelan. Dia mendengar bisik-bisik Irish dan Jasmine saat di restoran, dan dia kurang menyukai hal tersebut. Bukan karena dia membela Ayana, melainkan karena dia ingin orang yang bekerja dengannya bersikap profesional, tak peduli kalau orang itu adalah Irish sekalipun.
"Aku cuma pengin kamu bersikap profesional, Rish."
"Kamu menyalahi sikap aku yang begini? Kamu harusnya salahi si Ayana itu. Mentang-mentang kaya, jadi dia bisa seenaknya aja."
Hazel mengembuskan napas kasar. Dia berjalan menuju mejanya lalu mendaratkan tubuhnya di kursi kebesaran. "I have some rules for you. Aku juga bakal kasih tahu pekerjaan kamu selama jadi asisten pribadi aku," ucapnya sambil merogoh laci, mengeluarkan selembar kertas yang berisi surat kontrak.
"Duduk, Rish." Hazel menunjuk kursi di depannya, yang membuat Irish menurut dengan ragu. Sejak kapan pria itu menyiapkan surat kontrak? Atau sebenarnya Hazel memang sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari karena tahu kalau Irish pasti akan menerima tawarannya?
Kalau iya, Hazel benar-benar licik. Mencari kesempatan dalam kesempitan.
"Silakan dibaca dulu surat kontraknya. Kalau kamu setuju, kamu bisa tanda tangan." Hazel menyodorkan sebuah pulpen dengan ukiran namanya sendiri. Tanpa banyak bicara, Irish mulai membaca isi dari surat kontrak tersebut meski dia sedikit speechless dengan pulpen Hazel. Siapa pun tahu kalau membuat pulpen dengan nama sendiri tidaklah murah.
Memang, Hazel bukan dari keluarga yang biasa saja. Ayahnya seorang owner di perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor. Sementara ibunya adalah anak konglomerat yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Namun, Hazel tidak pernah menunjukannya. Alih-alih memamerkan kekayaan keluarganya, pria itu justru selalu memakai transportasi umum, pun dengan gayanya yang tampak sederhana.
Maka, Irish cukup terkejut dengan penampilan Hazel sekarang. Mirip eksekutif muda yang sedang mencari pendamping hidup.
Waktu ternyata bisa membuat seseorang berubah begitu banyak. Kayak kamu yang semakin menderita, Rish.
Irish berdeham, mencoba fokus dengan apa yang sedang dia baca, meski sejujurnya dia agak risi karena ditatap sedemikian dalam oleh Hazel.
Rules For Irish Blossom
1. Bersikap profesional saat bekerja
2. Tidak boleh terlambat
3. Tidak boleh mengeluh
4. Selalu menuruti perintah atasan-Hazel
5. Kalau izin, harus jelas alasannya
6. Harus memberitahu atasan kalau jatuh sakit
7. Jangan mengumpati atasan selagi jam kerja
8. Kalau ingin makan harus bersama atasan
9. Harus ikut ke mana pun atasan pergi
10. Harus menerima apa pun yang atasan berikan
"Kenapa aturannya begini, sih, Zel?" protes Irish. Untuk peraturan nomor 1-7, Irish mungkin masih bisa terima, tapi untuk peraturan nomor 8-10, bukankah ini namanya pemaksaan? Terlebih yang nomor 8 dan 10. Harus makan bersama dan menerima apa pun yang Hazel berikan? Pria itu memang sengaja, ya?
Sebenarnya, Irish bekerja sebagai asisten pribadi atau sugar baby, sih?
Hazel menyandarkan tubuhnya di punggung kursi dengan tangan yang saling bertautan di atas paha. "Ada yang salah?"
"Iya, lah! Salah banget. Kamu itu atasan aku atau Sugar Daddy?"
"Hm..." Hazel menggerakkan kursinya ke kiri dan kanan, bersikap seolah-olah sedang berpikir. "Kayaknya aku nggak cocok jadi Sugar Daddy kamu, deh, Rish. Tapi lebih cocok jadi husband material untuk kamu."
Irish menatap Hazel sinis. Irish pikir, Hazel akan menjadi profesional saat bekerja seperti yang dia minta kepada Irish, tapi lihat. Pria itu tetaplah Hazel yang tidak berhenti membahas mengenai hal-hal seputar pernikahan kepadanya.
"Dasar gila!"
Hazel tertawa, membuat Irish sangat ingin menyumpal mulutnya dengan surat kontrak yang ada di atas meja.
"Rish, jangan jutek-jutek gitu. Kamu nggak baca surat kontraknya dengan baik? Jam kerja masih berlaku, loh," singgung Hazel dengan sisa-sisa tawanya.
"Ya, makanya. Peraturannya jangan cuma menguntungkan satu pihak, dong. Itu namanya simbiosis parasitisme."
"Bukannya simbiosis mutualisme, ya? Banyak keuntungan jadi asisten aku yang nggak kamu tahu, Rish. Kalau cocok, mungkin kamu nggak bakal jadi asisten pribadiku lagi. Tapi ibu rumah tangga di keluargaku."
"Hazel Jenggala!"
"Just kidding, Rish. Kamu pake urat mulu, nanti darah tinggi." Sepertinya, menggoda Irish sudah menjadi hobi Hazel belakangan ini. Dia melirik arloji di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam tiga siang. Kemungkinan besar Jasmine akan datang sebentar lagi untuk mengingatkannya akan rapat.
"Oke, kita persingkat aja, Rish. Untuk pekerjaan lainnya, nanti aku bakal kirim lewat chat. Kamu bisa tanda tangan di surat kontraknya dulu." Tubuh Hazel menegap. Dia menunjuk tempat di surat kontrak yang sudah tertulis nama Irish.
"Ini nggak ada revisian gitu, Zel?"
Alis Hazel terangkat sebelah. "Kamu kira ini kuliah, pake revisian segala? Semuanya sesuai ketentuan aku, jadi nggak ada revisi-revisian."
Mendengar jawaban Hazel, Irish mendengkus. Dengan hati gondok, dia membubuhkan tanda tangan di surat kontrak, yang bertepatan dengan suara ketukan di pintu Hazel yang diyakini dari Jasmine.
"Aku ada rapat. Dan kamu, harus ikuti peraturan ke-sembilan."
Perintah mutlak Hazel membuat Irish hanya bisa menghela napas, pasrah.
***
Sian hampir tak bisa menahan tawanya saat melihat ekspresi Irish yang seperti tengah tekanan batin di balik spion mobil Hazel. Perempuan yang duduk di bangku belakang, bersebelahan dengan Jasmine itu beberapa kali menghela napas seraya menatap lalu lalang kendaraan. Sikap Irish yang begitu sangat berbanding terbalik dengan saat dia bersama Neiva dan Mauve. Seperti Trio Kwek Kwek.
"Rish, mukamu kenapa? Kusut banget kayak pakaian belum disetrika berhari-hari." Sian angkat suara, memecahkan keheningan yang terjadi di dalam mobil.
Irish menoleh, lalu menghela napas panjang. Entah sudah ke-berapa kalinya dia menghela napas hari ini. "Iya, nih, Pak Sian. Nggak tahu kenapa saya merasa kalau hari-hari saya ke depannya bakal suram banget." Irish sengaja menggunakan kata ganti orang yang lebih formal karena keberadaan Jasmine.
Lagi pula, Hazel menyuruhnya untuk profesional dalam bekerja, bukan?
"Kenapa bisa gitu? Pasti ada alasannya, kan?" Sian melirik Hazel yang ternyata diam-diam ikut menguping meski tatapan pria itu tetap terfokus ke depan.
"Just feeling, kok, Pak Sian. Hawa-hawanya saya kayak ada yang neror." Ucapan Irish seketika menimbulkan kerutan dalam di kening Hazel. Sementara Sian pura-pura batuk, berusaha menahan tawanya mati-matian. Dia tentu tahu pasti siapa yang dimaksud Irish. Setelah apa yang terjadi dengan keduanya di masa lalu, pria yang sedang mengemudikan mobil itu kemungkinan besar tak akan mau melepaskan Irish lagi.
Walaupun Sian yakin kalau Hazel memerlukan tenaga yang ekstra untuk kembali meluluhkan hati Irish yang terlanjur kecewa, tapi untuk seseorang yang memiliki ambisi dalam dirinya seperti Hazel, pasti tak akan segampang itu untuk menyerah.
Sian adalah saksi bagaimana ambisinya Hazel dalam berbagai hal. Tak ada kata berhenti sebelum mendapatkan apa yang dia mau, hingga tak jarang dia merasa kurang puas dengan hasil yang didapatkan.
"Kamu ngerasa ada yang mau neror, Rish? Udah coba untuk pergi ke orang pintar?" Jasmine ikut menimpali. Raut sekretaris Hazel itu tersirat kekhawatiran, yang hampir membuat Sian tak bisa menahan tawanya.
"Eh? Ke orang pintar? Ngapain?"
"Loh, katanya kamu mau diteror? Kalau kamu pergi ke orang pintar, siapa tahu terornya nggak jadi." Rentetan kalimat yang Jasmine lontarkan sukses membuat Hazel hampir menginjak rem kalau saja refleks tubuhnya tidak segera mengambil alih. Dalam hati, Hazel mengerang kesal karena Irish menganggapnya akan meneror perempuan itu. Padahal, kalau dipikir-pikir, Hazel hanya ingin keinginannya untuk mendekati Irish menjadi lebih mudah.
Sian tertawa. Entah menertawakan Hazel atau kepolosan Jasmine. Dia merasa kalau hubungan Irish dan Hazel akan menjadi menarik ke depannya.
"Enggak gitu Mbak Jasmine. Ya, intinya aku nggak perlu ke orang pintar. Aku bisa tanganin sendiri, kok." Irish meringis kecil, walaupun dia juga merasa lucu. Kalau dia benar-benar pergi ke orang pintar, apakah mungkin sifat menyebalkan Hazel akan menghilang?
Jasmine mengangguk. "Kalau nanti kamu butuh bantuan aku, nggak usah sungkan bilangnya. Aku punya kenalan orang pintar."
"Udah sampai." Hazel memberhentikan mobilnya di depan sebuah kompleks perumahan yang halamannya masih dalam proses pembangunan. Tampak beberapa orang-yang salah satunya adalah Pak Sanjaya-sudah berada di sana. Hazel memang lebih menyukai membawa mobilnya sendiri daripada memakai jasa sopir. Kalaupun sewaktu-waktu membutuhkan, dia biasanya akan menyewa dari salah satu perusahaan jasa.
Sian dan Jasmine lebih dulu keluar dan berjalan menuju Pak Sanjaya yang menyambut mereka dengan sumringah. Irish sendiri baru menyusul setelah berhasil melepas sabuk pengamannya yang sedikit macet.
Namun, tiba-tiba, dari arah belakang, terdengar seseorang berbisik, "Kamu pengin aku teror, Rish? I can do it for you. Just for you."
Tubuh Irish langsung merinding, terlebih saat melihat senyum miring Hazel sebelum pria itu melewatinya.
Ya ampun, siaga satu!
***
Happy reading!
Bali, 06 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top