10. Yang Memusingkan

Setelah apa yang terjadi pada kita, bolehkah aku memperbaikinya lagi?

***


"Rasanya kurang manis."

Begitu komentar Ayana ketika menyeruput kopi buatan Irish. Perempuan itu meletakkan cangkir di atas meja lalu beralih ke Hazel yang berdiri di sebelahnya dengan tangan tenggelam di saku.

"Aku mau beli di coffe shop di sebelah restoran aku aja, sekalian mau ngomongin masalah design untuk launching cabang baru aku." Nada suara Ayana yang terdengar lebih lembut membuat Irish mengernyit. Jauh berbeda dengan saat berbicara dengannya. Padahal sebelumnya Ayana masih tampak baik-baik saja. Apa karena ekspektasi perempuan itu yang berlebihan terhadap kopi buatan Irish?

Alih-alih menjawab, Hazel justru melirik Irish yang hanya diam saja. Mungkin merasa kecewa karena Ayana tidak menyukai kopinya, bahkan hanya menyicipinya sedikit.

"Kenapa nggak dari awal aja, Ay? Kasihan Irish yang udah capek-capek buat kopi." Hazel tidak membela Irish lantaran perempuan itu adalah mantan terindahnya, tapi dia ingin Ayana menghargai orang yang sudah bersikap baik padanya. Mengenal Ayana selama beberapa bulan terakhir cukup membuat Hazel mengetahui watak Ayana yang terkadang kurang bisa menjaga sikap. Tipikal blak-blakan yang kata-katanya bisa menyakiti perasaan orang lain.

"Aku nggak suka, Zel. Lagi pula, asisten kamu yang nawarin duluan, jadi kalau enggak sesuai sama selera aku, nggak masalah, kan?" Ayana mengedikkan bahu acuh tak acuh.

Hazel menghela napas. "Cukup bilang terima kasih aja, Ay. that's enough. Setidaknya hargai Irish."

"Kamu butuh ucapan terima kasih, Irish? Saya enggak jadi minum kopi buatan kamu, loh. Cuma nyicip dikit." Kali ini, perhatian Ayana tertuju pada Irish yang berdiri bak patung.

Irish menatap Ayana aneh. Seperti baru saja mengatakan kalau ikan paus bernapas menggunakan insang. Kekaguman Irish pada Ayana langsung hanyut terbawa arus sungai. Memang benar, ya, kalau kesempurnaan hanya milik Tuhan. Wajah boleh saja cantik, tapi kelakukan minus derajat. Pantas saja Hazel dan Ayana dekat. Satu frekuensi.

"Saya nggak butuh ucapan terima kasih, sih, Mbak. Tapi karena Mbak Ayana udah sempet nyicip kopi saya, tolong kembaliin seperti semula, ya, Mbak."

"Apa?" Ayana tak menyangka kalau Irish akan menjawab demikian. Sedangkan Hazel, berusaha mati-matian menahan senyumnya. Salah besar kalau Ayana pikir Irish akan berlagak layaknya Bawang Putih yang dihina-hina oleh Bawang Merah. Perempuan yang menjunjung tinggi emansipasi sesamanya itu tak akan membiarkan dirinya diperlakukan semena-mena.

Namun, sikap Irish yang begitu berhasil menarik atensi Hazel. Ketangguhan perempuan itu untuk menyembunyikan kelemahan di dalamnya. Ego Irish terlalu tinggi, seperti Benteng Takeshi.

"Kopi saya udah berkurang gara-gara dicicipi sama Mbak. Kalaupun saya kasih ke orang lain, itu nggak mungkin banget karena udah bekas Mbak Ayana. Jadi tolong kembaliin seperti semula supaya kopinya nggak terbuang sia-sia." Saat mengucapkannya, ekspresi Irish benar-benar datar, meski dalam hati ingin sekali mengumpati perempuan itu.

Sungguh, tak pernah dia bayangkan kalau hari pertamanya bekerja akan menjadi se-menyebalkan ini. Entah dari mana Hazel menemukan Ayana.

"Hazel ... asisten kamu kenapa kurang ajar begini?" Ayana menatap Hazel, meminta pertolongan.

"Kamu nggak mengapresiasi apa yang dia lakukan."

"Aku mengapresiasi apa yang perlu diapresiasi, Zel. Waktu dia nawarin kopi, aku udah selipin kata 'please', kok, tapi ternyata kopinya nggak seenak itu."

Mendengarnya, Irish mendengkus keras, sengaja supaya Ayana tahu kalau dia sedang kesal. Tahan, Rish. Tahan. Jangan sampai dia jadi pengangguran lagi hanya gara-gara bertengkar dengan klien Hazel. Ingat, dia masih mempunyai utang dengan Neiva. Kredit online shop-nya juga belum lunas. Setidaknya, dia harus punya tabungan dulu untuk membangun usaha.

Hazel yang merasa akan terjadinya peperangan, seketika angkat suara. "Irish, makasih untuk kopinya. Lain kali, kamu bikin kopi untuk saya aja, ya. Sekarang, kamu ikut saya untuk membahas tentang design yang akan Ayana pakai di cabang barunya."

Irish mengangguk. "Iya, Pak."

Hazel menoleh ke Ayana. "Lebih baik kita segera selesaikan ini, Ay. Aku masih ada kerjaan lain."

Dengan ogah-ogahan, Ayana bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangan Hazel bersama si empunya, yang diikuti Irish di belakang.

"Jasmine, jadwal saya hari ini apa aja?" Hazel berhenti di depan meja Jasmine yang langsung berdiri dengan tablet berisi jadwal atasannya itu.

"Free, Pak, sampai jam tiga sore. Bapak ada meeting dengan Pak Sanjaya bersama Pak Sian mengenai design kompleks perumahan."

Hazel mengangguk seraya melirik arloji di pergelangan tangannya. Jam dua belas siang. Itu berarti masih ada waktu sekitar dua setengah jam lagi sebelum pergi ke tempat meeting.

"Kita keluar dulu, Jas. Ayana ingin design-nya dipercepat, sekalian kita makan siang."

"Siap, Pak." Jasmine membereskan barang-barangnya di meja dan membawa yang dibutuhkan saja.

Hazel kembali berjalan bersama Ayana. Irish yang mengekori keduanya, agak memelankan langkah dengan tubuh yang semakin merapat ke Jasmine.

"Mbak Jas kenapa nggak bilang kalau sifat Mbak Ayana kayak gitu?" bisik Irish, membuat Jasmine berpaling dengan alis mengerut.

"Maksud kamu?"

Irish menggeleng sambil tersenyum. "Bukan apa-apa."

***


Sebelumnya, Irish mengira kalau restoran Ayana mirip dengan restoran-restoran biasa yang dapat dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah sepertinya. Namun, ketika mobil Hazel berhenti di salah satu restoran bintang lima, rasanya Irish ingin menelan semua kata-kata kurang ajarnya kepada Ayana mentah-mentah.

Mestinya Irish tahu kalau klien di perusahaan besar tempat Hazel bekerja bukanlah dari profesi yang main-main. Dan dia harus menjaga sikap sekesal apa pun dirinya, meski penyesalan Irish hanya sekitar dua puluh persen, tapi tetap saja. Bagaimana kalau nanti Ayana seperti bosnya terdahulu? Berabe yang ada!

"Jadi, kamu mau design yang seperti apa, Ay?" Hazel memulai percakapan di tengah-tengah hidangan pembuka. Ayana menyiapkan ruangan VIP untuk mereka-yang lagi-lagi membuat Irish tak berkutik. Bahkan, untuk sekadar mencicipi makanan enak yang tertata rapi di meja makan saja rasanya Irish tak mampu.

Alhasil, yang bisa Irish lakukan hanya menarik napas berulang kali sambil memutar-mutar jarinya di atas piring. Ya, memang sih, sikap Ayana tadi cukup angkuh hingga mengundang kekesalan Irish. Dia juga merasa ucapannya tadi sekadar unek-unek karena merasa tidak dihargai. Itu saja.

Nggak apa-apa, Rish. Yang gaji kamu, kan, Hazel. Ayana nggak bakal bisa ngapa-ngapain kamu.

"Design yang hampir mirip sama konsep sebelumnya, Zel..."

"Kenapa diem aja, Rish?"

Irish menoleh ke arah Jasmine yang duduk di sebelah Hazel, berhadapan dengan Ayana.

"Nggak tau mau ngapain soalnya."

"Kamu nggak ada masalah sama Mbak Ay, kan?"

Tepat sekali. Jasmine seakan-akan mampu menebaknya dengan mudah. Irish rasa, selain menjadi sekretaris, Jasmine juga merupakan seorang cenayang.

"Kok, Mbak Jas tahu?" Irish berbisik, sesekali dia melirik Ayana dan Hazel yang masih berunding mengenai design yang tak Irish mengerti.

"Kentara banget. Waktu di mobil, ekspresi kamu kelihatan kesel banget. Mbak Ayana juga kayak lirik-lirik kamu terus. Bikin suasana jadi tegang."

Irish tersenyum masam. Karakter Jasmine yang ramah memudahkan mereka untuk cepat akrab. Lihat saja, mereka baru beberapa jam berkenalan tapi Jasmine sudah bisa mengatakan sesuatu yang ada di pikirannya secara gamblang.

"Mbak Ayana bilang kopiku nggak enak, Mbak Jas."

"Jasmine, tolong catat apa saja yang harus direvisi untuk design terbaru Ayana." Barangkali ikut mendengar bisik-bisik Irish dan Jasmine, Hazel menyela pembicaraan mereka. Pria itu menatap Irish penuh peringatan, membuat Irish menunduk.

Kalau sedang serius, Hazel tampak menyeramkan, mampu mengintimidasi siapa pun yang melihatnya. Sewaktu masih pacaran saja, pria itu banyak mengikuti organisasi dan tak jarang ditunjuk sebagai ketua karena sikap profesionalnya. Berbeda dengan Irish yang mengikuti organisasi supaya bisa dicantumkan di CV ketika melamar pekerjaan.

Setelah beberapa saat berdiskusi, akhirnya mereka memutuskan untuk makan siang. Irish hanya memperhatikan menu-menu di sana tanpa berniat untuk mengambilnya.

"Nggak makan, Rish?" tanya Jasmine ketika melihat piring Irish yang masih bersih.

Irish menggeleng pelan. "Nggak nafsu makan, Mbak." Padahal, cacing di perut Irish sudah meronta-ronta meminta bagian, tapi bagaimana dia bisa makan dengan tenang kalau perasaannya masih nano-nano tak keruan?

"Cobain steak-nya, deh, Rish. Enak banget." Jasmine menyodorkan steak berukuran sedang kepada Irish.

Irish tersenyum. "Makasih, Mbak."

Mata Irish meliar, dan jatuh pada nasi goreng yang berada di dekat Hazel. Sungguh, di saat lapar begini, dia butuh makanan yang ada nasinya. Kalau hanya sekadar steak, tak bisa membuatnya kenyang.

Mencoba mengabaikan perasaan tidak enaknya pada Ayana, Irish bangkit dan berusaha mengambil nasi goreng. Namun, tangannya tidak sampai. Bibir Irish terbuka, hendak meminta tolong pada Jasmine sebelum sebuah tangan terulur untuk mengambil nasi goreng lalu memberikannya pada Irish.

Hazel-si pelaku-tak mengatakan apa pun. Pria itu kembali menyendok pastanya dan dimasukkan ke mulut.

Irish duduk seraya berdeham ketika dua orang di sana menatapnya dengan eskpresi berbeda, membuat nafsu makannya seketika menghilang. Lagi pula, kenapa Hazel melakukan tindakan tiba-tiba seperti itu, sih?

"Pak Hazel perhatian banget, ya." Jasmine menyeletuk pelan, tepat di telinga Irish.

"Namanya juga atasan, Mbak. Kayaknya Pak Hazel memang orangnya baik," ucap Irish tanpa menatap Jasmine.

Jasmine mengangguk. "Iya juga. Pak Hazel memang baik. Suka traktir setiap dapet bonus."

Irish tersenyum tipis sebagai balasan. Tanpa menyadari kalau ada Ayana yang menatapnya dengan kening berkerut dalam.

***

Bali, 06 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top