Prolog

Semarang, penghujung tahun 2001

Burhan menatap tajam pada Galuh. Napasnya memburu, terlihat dari dadanya yang turun naik. Amarahnya sudah tak bisa lagi ia tahan. Di depannya, Galuh menangis sesenggukan.

"Kamu salah paham, Mas." Galuh bicara sepelan mungkin, berharap agar Burhan mau melunak dan mendengarkan semua penjelasan darinya.

"Iya! Aku memang salah. Aku sudah salah sejak dari pertama percaya padamu." Bukan itu yang diharapkan oleh Galuh keluar dari mulut Burhan. Ia sudah cukup mendengar teriakan dan makian dari tadi. Burhan terlihat frustasi. Ia berjalan mondar-mandir sambil meremas rambutnya.

Sesaat pandangan matanya kembali pada Galuh. Entah apa yang merasukinya, lelaki itu kemudian berjalan tergesa ke kamar. Ia menurunkan sebuah koper besar dari atas lemari, membuka koper itu, dan menjejalkan seluruh pakaian miliknya ke sana. Galuh menyusul ke kamar. Perempuan itu keheranan melihat apa yang tengah dilakukan lelaki di hadapannya.

"Mas, Mas mau ke mana? Kenapa baju-baju itu dimasukkan ke sana?"

Burhan tidak menggubris Galuh. Ia terus saja mengeluarkan pakaiannya dari lemari dan menyusunnya ke dalam koper. Kemeja-kemeja yang telah disetrika dan tergantung rapi pun tak luput ia masukkan ke dalam koper. Galuh tak hilang akal. Dirampasnya kemeja itu dari tangan Burhan. Ia butuh jawaban atas apa yang ingin Burhan lakukan. "Mas! Mau ke mana?"

Burhan mendengus sebal. Kesabarannya memang sudah habis sejak ia melihat lelaki itu datang ke rumahnya. Galuh memang tidak pernah lagi membicarakan Abimanyu. Namun sore ini, Burhan jelas-jelas melihat lelaki itu keluar dari rumahnya. "Berikan!"

"Tidak akan." Galuh merapatkan kemeja itu ke tubuh, berusaha menahan Burhan untuk tidak bertindak gegabah dengan membuat kesalahan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Galuh. Namun tindak tanduk Burhan menjelaskan apa yang akan lelaki itu lakukan pada hubungan mereka dan keluarga kecilnya.

"Mas, dengarkan aku dulu. Aku dan Abimanyu tidak pu--"

"Beraninya kau menyebut nama lelaki itu di hadapanku? Aku menyesal sudah mempertahankanmu di depan orang tuaku. Aku menyesal telah membantah mereka demi perempuan sepertimu. Kau tahu? Kini aku pun menyesal pernah menikah denganmu."

"Apa maksudmu, Mas? Tolonglah ... kita bisa bicarakan ini baik-baik." Galuh terus berusaha memberikan pengertian pada Burhan.

"Baik-baik katamu? Seharusnya aku mendengarkan orang tuaku sejak awal. Aku akan pergi. Setelah ini, anggap saja kau dan aku tidak pernah saling mengenal."

"Mas ... tolong dengarkan penjelasanku dulu. Bagaimana dengan Anindita, dia membutuhkanmu."

Burhan melirik bocah dua tahun yang menangis ketakutan di dekat pintu. Setelah merampas kemejanya dari tangan Galuh dan memasukkannya ke dalam koper, Burhan mengunci koper yang kelebihan beban itu dengan paksa. Kemudian menyeretnya ke luar.

Galuh tak kehilangan akal. Perempuan itu mempercepat langkahnya dan mendahului Burhan menuju pintu. Galuh merentangkan kedua tangannya di sana. Dengan tatapan memelas dan wajah bersimbah air mata, Galuh berusaha menghentikan Burhan. "Mas, jangan pergi. Mas dengarkan aku dulu."

"Minggir!"

Galuh terhuyung saat Burhan menariknya dengan paksa ke sudut ruangan. Seberapa pun kerasnya usaha Galuh menghentikan Burhan, tenaga laki-laki itu tentu saja lebih kuat darinya. Burhan menghempaskan koper itu di kursi belakang mobilnya.

Galuh bergegas mengejar Burhan. Ia sudah tidak perduli lagi dengan kakinya yang kesakitan karena tidak menggunakan alas. Bahkan ia sudah tidak perduli jika para tetangga keluar, dan mendengar pertengkaran mereka. "Mas, jangan pergi. Mas, aku mohon dengarkan aku!" Tangisnya semakin menjadi. Galuh memukul-mukul kaca mobil tanpa tenaga dengan kedua tangannya. Berharap Burhan mau mendengarkan penjelasan darinya sebentar saja. "Demi Anindita, Mas! Demi anakmu."

Burhan tak main-main dengan ucapannya. Ia menstater mobilnya, menancap gas, dan pergi dari sana tanpa menoleh lagi ke belakang. Hatinya telah membeku.

Galuh tersungkur di jalanan. Hatinya perih. Tuduhan Burhan padanya sangat menyakitkan. Galuh merasa dunia telah hancur. Seluruh sendinya melemah dan tulangnya terasa bagai telah luruh ke tanah. Susah payah ia bangkit saat mendengar tangis Anindita memanggil namanya. Sesaat Galuh tersadar, seharusnya ia tidak boleh lemah. Anindita menunggunya kembali.

***

Dentang tiang listrik yang dipukul dengan kentungan berbunyi sebelas kali, pertanda malam telah larut. Suasana sudah mulai sepi. Hanya beberapa rumah saja yang lampunya terlihat masih menyala, menandakan pemiliknya belum berangkat ke peraduan malam. Rumah Galuh salah satunya. Perempuan itu masih terisak di sudut kamar, teringat akan kejadian yang baru saja terjadi. Di sampingnya, Anindita menatap tak mengerti. Bocah dua tahun itu memeluk boneka kelinci berwarna biru, sewarna dengan piyama yang dipakainya.

"Bapak kemana, Buk?" Suara cadel itu bertanya takut-takut. Biasanya, apa pun yang keluar dari mulut Anindita terdengar lucu dan menggemaskan. Kali ini berbeda. Pertanyaan gadis kecil itu barusan semakin menyayat hati Galuh. Membuatnya kembali menangis dan tergugu.

Galuh mengelus rambut Anindita. Seulas senyum yang dipaksakan terlukis di wajahnya yang sembab. "Andit bobok, ya. Sudah malam. Besok kita ke rumah si Mbah. Mau?"

Andit mengangguk senang. Galuh kembali mengelus rambut Anindita. Hatinya perih mengingat bagaimana besok mereka akan menjalani hari-hari tanpa Burhan. Tak akan ada lagi suara dengkur keras lelaki itu saat tertidur. Tak akan ada lagi kepulan asap rokok yang membubung tinggi ke udara, melayang terbang bagai selendang peri. Terlebih bagi Andit, tak akan ada lagi sesendok kopi di pagi hari dari gelas kopi ayahnya, atau duduk di pundak seperti biasa. Semua telah berubah. Semua memang tidak akan sama lagi setelah hari ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top