Part 6


Bukan hal yang mudah meyakinkan Eki untuk datang ke taman di belakang laboratorium sekolah di jam pelajaran seperti sekarang. Amel dan Kiki sampai harus mengarang cerita agar Eki percaya dan mau menemui Andit di sana. Andit melirik jam tangannya. Sudah lima belas menit, dan Eki belum menampakkan batang hidungnya. Entah sudah berapa kali Andit bangkit dari duduknya, dan berjalan mondar-mandir.

"Lo sabar, Ndit. Duduk deh. Gue ngeliatnya udah kaya setrikaan lo dari tadi." Amel yang merasa risi dengan ketidaksabaran Andit bicara.

"Udah lima belas menit, Mel. Kelas dia ke laboratorium lima menit juga nggak nyampe." Andit mulai was-was, "Jangan-jangan, Eki nggak bakal datang."

"Lo tenang dulu, Ndit." Amel menarik napas. "Untung Bu Sofia nggak masuk hari ini. Kita jadi bisa keluyuran kaya gini. Jarang-jarang loh seorang Andit mau diajak bolos di jam pelajaran."

Kiki membenarkan Amel dengan mengangkat dua jempolnya ke depan. Andit siswa teladan. Kalau bukan karena sikap Eki yang membuatnya uring-uringan, dan kebetulan Bu Sofia tidak hadir, mana mungkin Andit berada di taman itu sekarang.

Sudah tiga puluh menit. Andit mulai putus asa. Hampir saja ia kembali ke kelas saat Eki akhirnya datang. Amel dan Kiki meninggalkan dua beradik itu.

"Uhm ... Ki, apa kabar?" Andit memulai percakapan. Eki hanya duduk di bangku taman itu dalam diam. Wajahnya menunduk memperhatikan kedua sepatunya.

Andit akhirnya bangkit, kemudian duduk di sebelah Eki. Gadis itu ikut menunduk memperhatikan sepatunya. Andit bingung harus memulai percakapan ini dari mana. "Gue kangen sama lo, Ki. Gue kangen banget sama-sama kaya gini. Dulu kita selalu begini pas jam istirahat. Lo selalu dateng ke kelas gue, dan kita jajan bareng di kantin."

Eki menarik napas panjang dan melempar pandangan ke arah lain, kemudian kembali menatap Andit, "Lo mau ngomong apa, Ndit? Cepetan. Gue masih ada kelas abis ini."

"Gue ... gue cuma, gue bingung sama perubahan sikap lo. Gue salah apa sampai lo diemin gue? Udah berminggu-minggu kita kaya gini, Ki. Lo marah sama gue?"

"Nggak gitu, Ndit. Gue nggak punya hak buat marah."

"Terus?" Andit terus mendesak Eki agar ia jujur. Ia lelah dengan sikap Eki belakangan ini. Kalau saja Eki bukan adiknya, Andit tidak akan peduli seperti itu. Ditambah pula tak lama lagi acara pentas seni sekolah mereka. Andit belum mempersiapkan apa-apa untuk acara itu dengan baik. Ia tak enak hati dengan Satria. Setiap kali rapat, selalu Satria yang mempersiapkan bahan presentasinya. Padahal seharusnya itu pekerjaan mereka berdua.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Eki mulai cerita. Ia sebenarnya tak ingin mendiamkan Andit seperti itu. Namun ancaman Sari membuat Eki takut. Ibunya itu berkata kalau dia akan meninggalkan rumah jika Eki masih menemui Andit. Sari juga mengatakan kalau Andit cuma menjadikan Eki senjata untuk mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan. Eki takut kalau itu benar terjadi. Ditambah lagi, setiap kali bicara soal Andit, ibu dan ayahnya selalu saja bertengkar. Eki takut sesuatu yang buruk menimpa keluarganya. Eki tidak ingin hubungan ayah dan ibunya hancur. Karena itulah, ia berusaha menjauhi Andit.

"Tapi lo percaya gue bakal jahatin lo kaya gitu?" ujar Andit setelah mendengar semua yang Eki katakan.

"Gue nggak tau, Ndit." Eki kembali menunduk, memainkan ujung sepatunya di tanah.

"Gue nggak bakalan kaya yang Ibu lo bilang, Ki. Gue janji." Andit berusaha meyakinkan adiknya itu. Eki mengangguk, percaya.

***

Ini hari terakhir persiapan pentas seni di sekolah Andit. Seluruh panitia dan siswa yang terlibat dalam pelaksanaan acara lebih sibuk dibandingkan hari sebelumnya. Tak terkecuali Andit. Sebagai salah satu panitia acara, dia memastikan seluruh kegiatan nanti berjalan dengan baik.

Andit sedang berada di aula sekolah untuk menyaksikan gladi resik teater musikal yang dibawakan siswa-siswi dari kelas satu.

"Hai, kamu di sini?" Satria tiba-tiba muncul dan mengambil tempat duduk di sebelah Andit.

"Iya. Aku mau lihat gladi resik anak-anak. Aku nggak mau acara ulang tahun sekolah kita ambyar." Satria menyodorkan sebungkus keripik kentang yang tadi ia beli sebelum ke aula. Satria membuka bungkus keripik miliknya dan asyik menikmati potongan demi potongan keripik.

"Eh, ada apa Kakak nyari aku?"

"Nggak ada apa-apa. Pengin dekat kamu aja." Satria merasa jengah sendiri dengan kalimatnya barusan. Dia mendehem untuk menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba menyergap di antara mereka.

Andit pun seolah kehilangan bahan untuk bicara. Padahal tadi sebelum lelaki itu datang, Andit banyak bicara dengan anak-anak seksi perlengkapan yang sedang menghias pentas. Andit juga memberikan masukan-masukan untuk mereka.

"Kamu emang sediam ini ya?" tanya Satria setelah beberapa saat berlalu. "Andit?"

"Hah? Gimana? Aku nggak dengar, maaf." Andit memang tidak bohong saat bilang dia tidak dengar. Bagaimana mau mendengarkan, sedangkan ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Berada dekat dengan Satria selalu membuat keadaan menjadi canggung.

"Nggak, nggak penting." Satria tersenyum simpul. Lelaki itu meyugar rambutnya ke belakang. Gerakan seperti itu yang selalu membuat jantung Andit berdebar. Diam-diam Andit memaki dirinya sendiri yang sering melewatkan kesempatan untuk mengobrol banyak dengan Satria.

"Oh, oke ...." jawab Andit. Ia menyesali dirinya yang terlalu sibuk memilih kata-kata yang tepat sehingga tidak mendengar kalimat Satria barusan.

"Andit, kamu udah punya pacar?" Satria kembali bertanya.

Wajah Andit memerah. Ia terlihat kaget dengan pertanyaan Satria barusan. "Maksud Kakak?"

Satria mengangkat bahunya. "Aku cuma pengin tahu, ya nggak masalah sih, kalo kamu nggak mau jawab."

Andit menggeleng. Gadis itu menyampirkan rambutnya ke belakang kuping. Lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada gladi resik di hadapannya.

"Aku nggak pernah lihat ada cowok yang dekat sama kamu. Jadi aku nanya."

"Aku memang nggak punya, Kak. Mana ada orang yang mau sama cewe biasa kaya aku."

"Maksud kamu cewek biasa, gimana?"

"Ya, aku nggak cantik, gaul, atau berada seperti anak-anak di sini pada umumnya."

"Siapa bilang? Kamu cantik, pintar, dan apa adanya. Aku suka ...."

Pipi Andit memerah. Tidak ada percakapan di antara mereka setelah itu. Pandangan keduanya tertuju pada gladi resik drama musikal di hadapan mereka. Namun dua remaja itu sepertinya tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Mereka kembali menghabiskan waktu dengan diam. Drama musikal itu diakhiri dengan lagu Sepatu dari Tulus. Lamat-lamat Andit mengikuti lagu itu.

Kita sadar ingin bersama
Tapi tak bisa apa-apa
Terasa lengkap bila kita berdua
Terasa sedih bila kita di rak berbeda
Di dekatmu kotak bagai nirwana
Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya...

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top