Part 5
Remang cahaya kuning temaram dari lampu jalan menerobos masuk ke dalam kamar. Di kamar tiga kali empat meter itu seorang gadis tengah gelisah. Igauan tak jelas terdengar dari mulutnya.
"Tidaaak ... tidaaak...." Teriakan histeris itu membuat Galuh terbangun. Bergegas ia menuju kamar Anindita yang bersebelahan dengan kamarnya.
"Andit. Bangun, Nduk!" Galuh masuk ke kamar Anindita. Wanita itu meraba dinding mencari sakelar lampu, kemudian menyalakannya.
Anindita terbangun dari tidur. Napasnya memburu, seolah ia baru saja melepaskan diri dari cengkraman hantu, lalu berlari ketakutan karena kejaran makhluk-makhluk yang ingin memangsa dirinya.
Keringat mengucur deras di sekujur tubuh Andit. Pakaiannya lembab. Andit mengusap wajahnya yang berpeluh dengan ujung lengan piama yang ia pakai.
"Jam berapa ini, Buk?" Andit meraih gelas air putih di samping tempat tidur.
"Jam tiga pagi. Tidur lagi, ya." Galuh mengusap kening Anindita yang basah oleh keringat.
"Andit mimpi orang itu lagi, Buk." Gadis itu meraih tangan ibunya, menggenggam jemari itu kuat. "Ibuk tidur di sini, ya, sama Andit."
Galuh mengangguk. Lalu membaringkan dirinya di samping Anindita. Tak butuh waktu lama, Galuh sudah bernapas dengan teratur. Rasa kantuk dan lelah membuat wanita itu cepat tertidur.
***
Andit sedang berjalan menuju halte bersama Amel dan Kiki saat tiba-tiba dari arah berlawanan, segerombol siswa SMP Aksara berpapasan dengan mereka. Andit mengenal satu di antara siswa SMP itu. Dia Eki, siswa kelas sembilan. Sekilas Andit dan Eki saling bertatapan. Namun Eki segera berpaling pada teman-temannya.
"Itu Eki kan, Ndit? Kalian masih diem-dieman?" tanya Amel. Amel dan Kiki memang sudah mengetahui masa lalu Andit sebelumnya.
"Iya. Masih." Andit menjawab malas. Sejujurnya, Andit memang tidak tertarik membahas mengenai Eki dan semua yang berhubungan dengan anak itu, meski jauh di lubuk hatinya, Andit sangat peduli pada Eki. Ia menyanyangi Eki dengan tulus. Keadaanlah yang membuat dua kakak beradik ini terpisah.
Eki adalah anak Burhan dengan istri keduanya. Semula Andit tidak mengetahui kebenaran itu. Semuanya terbongkar saat mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu Andit dan Eki juga bersekolah di tempat yang sama.
Masih jelas diingatan Andit saat hari penerimaan raport di sekolah, Ibunya tiba-tiba saja berhenti di hadapan seorang lelaki dengan bocah kecil di sebelahnya.
"Mas Burhan. Apa kabar?" Galuh menyapa lelaki itu. Meskipun masih terlalu kecil, tapi Andit sudah mengerti saat itu ada kepedihan yang berusaha ditahan oleh Galuh. Seulas senyum hadir di wajah Galuh, tapi seiring dengan itu dua bola matanya juga berkaca-kaca. Galuh mengulurkan tangannya pada lelaki itu. Namun, dengan angkuhnya lelaki itu melengos dan pergi dari sana tanpa sepatah kata pun.
Andit melihat sendiri bagaimana sakitnya perasaan Galuh. Ia menarik tangannya yang menggantung di udara dan meremas jemarinya di depan dada. Dua bulir bening yang sedari tadi berusaha ditahannya runtuh, menganak sungai di kedua pipinya.
"Itu siapa, Buk?" Andit kecil buka suara.
"Dia bapakmu, Burhan."
"Jadi anak itu adik Andit? Andit punya adik, Bu?"
"Iya. Itu adikmu."
"Dia juga sekolah di sini? Kalau gitu Andit akan sayang sama dia. Nanti Andit cari tahu, dia di kelas berapa. Asyiiik ... Andit punya adik." Andit kecil melompat-lompat gembira. Ia tak sabar menunggu esok hari, saat dirinya akan bermain bersama sang adik.
Esok harinya Andit kecil mencari Eki di sekolah. Eki anak yang manis dan menggemaskan. Sebentar saja mereka menjadi akrab. Hari demi hari berlalu. Andit lulus dari sekolah dasar dan melanjutkan pendidikannya di sekolah menengah negeri. Hubungannya dengan Eki tetap berjalan dengan baik. Sesekali dua kakak beradik ini berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Mereka akan bercerita satu sama lain sekadar saling melepas rindu.
Lulus dari Sekolah Menengah Pertama, Andit bekerja keras untuk masuk SMA Aksara. Salah satu alasannya ialah, agar ia dan Eki dapat bertemu kembali setiap hari, seperti dulu. Ia mengetahui Eki masuk ke SMP Aksara. Tentu saja Burhan akan memilihkan sekolah terbaik untuk putra mereka.
Andit bahagia bisa bertemu dengan Eki kembali tanpa harus menunggu dan berjanji di suatu tempat. Hanya satu penghalang pada hubungan mereka, Sari, ibunya Eki.
Andit tidak tahu pasti, tapi sejak ia dan Eki kedapatan sedang bersama saat itu, Sari langsung menarik Eki untuk masuk ke dalam mobilnya.
"Jangan pernah dekati anak saya lagi! Ngerti! Kamu cuma mau merampas apa yang anak saya punya, kan? Menjauhlah. Saya nggak akan biarkan itu terjadi. Jangan mimpi kamu!" Sari membanting pintu mobilnya, dan pergi dari sana.
Andit tidak paham apa maksud perkataan Sari. Selama ini, ia tidak pernah memiliki pemikiran buruk seperti itu. Merebut segalanya? Apa maksudnya? Bapakkah? Demi Tuhan Andit tidak pernah mengharapkan lelaki itu kembali pada kehidupannya. Untuk apa? Toh lelaki itu sendirilah yang memutuskan untuk meninggalkan mereka. Sari tidak tahu saja, rasa benci Andit, sama besarnya dengan ketidakpedulian lelaki itu padanya.
Sejak hari itu, Eki tak pernah lagi bicara padanya. Seperti barusan, Eki berpapasan dengannya, tapi tak sepatah kata pun terucap. Andit menatap ke belakang sekali lagi, tapi hanya punggung Eki yang terlihat semakin menjauh.
Amel dan Kiki mengusap punggung sahabatnya itu. Wajah mereka prihatin. "Sudahlah Ndit, mungkin Eki punya alasan untuk itu semua. Lo sabar aja." Amel membesarkan hati sahabatnya itu.
"Tapi apa? Gue nggak ngerti. Gue capek didiemin kaya gini, Mel."
"Mungkin lo harus bicara sama Eki. Ya ... biar lo punya jawaban buat kebungkaman dia selama ini."
"Lo bener, Ki. Gue harus ngomong. Gue perlu tau alasan dia nyuekin gue kaya tadi. Gue sedih, Ki, Mel. Masalahnya, gimana gue mau ngomong? Eki menghindar terus asal papasan sama gue."
Setelah beberapa menit berlalu dengan pikiran mereka masing-masing, tiba-tiba Amel menjentikkan jarinya. "Gue tau. Gue punya ide. Gimana kalo kita bantuin lo. Kita bakal atur biar besok lo bisa ketemu sama Eki. Gimana?"
"Serius Mel? Gue mau. Makasi girls, kalian emang sahabat terbaik gue."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top