PART 41

Memasuki gerbang rumah sakit, ragu masih menggelayuti pikiran Andit. Jika Burhan masih dalam kondisi pingsan, tidak menutup kemungkinan Sari juga akan menjaganya di sana. Kali ini Andit tidak bisa menjamin, dia sanggup mengendalikan diri jika Sari masih bersikap seperti dulu saat bertemu dengannya. Sementara dia tidak mungkin bertengkar dengan Sari di depan ayahnya yang sedang mengalami serangan jantung.

Bukan hanya Eki atau Sari yang kehilangan, ibunya pasti juga akan sedih. Belum lama ibunya terlihat lebih baik. Andit belum pernah melihat Galuh sebahagia ini, pertemuannya dengan Burhan di rumah sakit yang hanya beberapa jam ternyata mampu merubah kehidupan ibunya. Bahkan Galuh terlihat sangat cemas hingga memaksanya untuk menemui Burhan.

Andit merasakan langkahnya semakin lamban. Padahal dia bisa membaca dengan jelas tulisan di atas pintu dengan ejaan I-C-U hanya berjarak delapan meter dari tempatnya sekarang. Semakin dekat jaraknya dengan pintu, semakin berat pula langkahnya. Andit khawatir, keputusan yang sudah diambilnya salah. Tapi dia juga tidak bisa mengabaikan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah ibunya.

Andit bisa merasakan, ibunya belum siap kehilangan Burhan. Dia tak menyangka, ibunya tetap bisa memaafkan Burhan, meski lelaki itu sudah meninggalkan luka yang dalam selama hidupnya. Gadis itu jadi malu dengan dirinya sendiri, kehilangan seorang ayah pasti tidak apa-apanya dengan sakitnya difitnah dan dicampakkan begitu saja oleh orang yang sangat disayanginya.

Bahkan setelah ditinggalkan Burhan, ibunya tetap berjuang hidup sendiri demi memberikan kehidupan yang layak untuk putrinya. Galuh bekerja tak mengenal waktu sampai kondisi kesehatannya menurun. Satu-satunya tanda cinta yang ditinggalkan Burhan tetap dijaganya dengan baik. Ibunya tak pernah menghitung keringat dan air mata yang sudah dikeluarkannya untuk Burhan. Apalagi untuk membalaskan sakit hati, sepertinya tak pernah terlintas dalam pikiran ibunya.

Seseorang  muncul dari balik pintu bercat hijau. Wanita berseragam putih mendekap tumpukan kertas yang dijepit jadi satu dengan papan persegi. Eki setengah berlari mendekatinya, napasnya terengah setelah berjalan cepat sejak dari parkiran. Sementara Andit dan Satria menyusul di belakangnya.

“Sus, bagaimana kondisi papa saya?” tanya eki sambil mengatur napas.

“Pak Burhan masih belum sadar Mas,” jelas perawat dengan wajah datar.

“Saya sudah berhasil mengajak Kak Andit ke sini, Sus. Bolehkah langsung masuk?" Eki tak sabar mempertemukan Andit dengan papanya.

“Baik, sebentar saya tanyakan dokter dulu. Tapi nanti yang masuk satu orang saja ya Mas,” perawat memperingatkan Eki.

“Baik Sus.”

Perawat tak menunggu jawaban Eki, badannya kembali hilang dibalik pintu. Sementara Eki masih berjalan mondar mandir di depan pintu. Dua puluh detik terasa setahun, akhirnya pintu kembali terbuka. Tidak hanya perawat, tapi Sari juga ikut muncul dari balik pintu.

“Mas, keluarga pasien yang bernama Andit sudah boleh masuk.”

Perawat kembali berbicara pada Eki, memastikan sudah mendapatkan izin dari dokter. Sementara Andit yang ditemani Satria, masih terpaku tidak jauh dari tempat Eki berdiri. Tubuhnya gemetar, kerongkongannya terasa kering. Otaknya selalu gagal menyusun kalimat yang akan diucapkannya pada Burhan.

Dalam hitungan detik Andit menunggu reaksi Sari saat berhadapan dengannya. Kali ini Andit tak bisa menerkan pikiran ibu tirinya. Hanya wajah datar dan mata sembab yang ditemukannya saat menatap Sari. Andit tersadar saat Satria memegang lengannya, menyuruhnya segera masuk untuk menemui Burhan.

“Apalagi yang kamu tunggu, Ndit?”

“Oh iy..iya Kak, tunggu sebentar ya,” pinta Andit. Satria hanya membalasnya dengan anggukan dan senyum.

Andit mendorong pegangan pintu, meneruskan langkahnya untuk masuk. Dia sama sekali tak menatap Sari saat melewatinya. Dia tak bisa mendengar lagi dengan jelas saat perawat berbicara dengan Eki.

Gadis itu terus menerobos lorong yang penuh dengan peralatan medis. Pandangannya menyapu ruangan berusaha menemukan ranjang yang digunakan untuk merawat Burhan. Meski jarang sekali bersama, Andit mengenali tubuh yang berbaring ditengah ruangan itu adalah Burhan.

Tubuh Burhan yang tambun terbaring lemah. Selang menghubungkan tabung oksigen dengan cup yang menutup hampir separuh dari wajahnya. Sedangkan beberapa selang lagi disambungkan dari alat besar dengan sesuatu yang menempel di dadanya. Andit tak menyangka, separah ini kondisi Burhan.

Rambut pendek Andit yang sudah kering, melambai-lambai saat mempercepat langkahnya. Gadis itu menarik kursi, sebelum mendekatkan wajahnya pada telinga Burhan. Pertahanannya runtuh begitu saja saat menemukan kondisi Burhan yang tak berdaya. Tangisnya pecah.

Andit menggenggam telapak kanan Burhan dengan lembut. Sementara tangan kirinya mengusap punggung tangan Burhan. Isakannya sudah tak bisa dibendung lagi. Kekesalannya pada Burhan lenyap begitu saja.

Sepertinya bukan hanya ibunya yang belum siap kehilangan Burhan. Dirinya sendiri juga tak akan sanggup jika harus melihat ibunya mengalami kesedihan sepanjang hidupnya. Kebahagiaan memiliki seorang ayah masih ingin dirasakannya lebih lama lagi. Lubang hitam di hatinya mungkin tak akan bisa ditutup dengan baik, namun luka itu akan semakin dalam jika disertai dengan penyesalan.

“Yah...bangun Yah,” Andit berbisik di telingan Burhan. “Andit datang Yah.”

Gadis itu kembali terisak, hampir putus asa karena panggilannya pada Burhan yang menghasilkan apapun. Tak ada reaksi meski Andit sudah memanggil ayahnya berkali-kali. Tangan Andit menggoyang-goyangkan lengan Burhan, berharap ayahnya segera sadar. Andit yang semakin panik menatap gamang pada perawat dan dokter yang menangani ayahnya.

Grafik yang tampak muncul di sebuah alat persegi yang dihubungkan dengan jantung Burhan masih bergerak lemah. Pikiran Andit mulai kacau saat menemukan mata Burhan yang masih menutup. Perawat sedang mencatat setiap perkembangan kesehatan Burhan. Sedangkan dokter masih sibuk memeriksa dengan stetoskopnya.

Andit teringat pesan ibunya, bahwa do’a selalu menjadi penolong saat usaha maksimal yang kita lakukan mendapati jalan buntu. Bibir Andit kembali mendekat pada telinga Burhan. Mulutnya komat kamit membaca rapalan do’a, mengulang Surat Yasin terus menerus. Andit yakin harapan itu selalu ada, meskipun kecil.

Tenggorokan Andit terasa kering hingga terasa sakit saat ingin mengeluarkan kata-kata. Kepalanya menunduk, berusaha mengumpulkan lagi kekuatan yang mulai habis. Entah apa yang akan dikatakan pada ibunya kalau sampai dia gagal.

Ibunya pasti akan kehilangan lagi. Kali ini tentunya kan lebih sakit, karena ibunya tak akan bisa melihat Burhan lagi untuk selamanya. Entah apa yang dirasakan ibunya sekarang. Kekhawatiran terbesarnya hanyalah melihat ibunya putus asa.

Kepingan demi kepingan pertemuannya dengan Burhan kembali terpampang di kepalanya. Kalau sampai dia gagal membuat Burhan sadar, kebersamaan mereka di mobil akan menjadi yang pertama sekaligus yang terakhir. Sedangkan jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Andit masih ingin mempunyai waktu bersama ayahnya lebih banyak lagi.

Andit menyesal, sudah terlalu keras pada ayahnya. Dia memang tak pernah memilih memiliki nasib seperti yang dirasakannya sekarang, tapi dia yakin ayahnya juga tak memilih hal yang sama. Tanpa sadar, air mata Andit menetes di punggung tangan Burhan. Saat larut dalam penyesalan, telunjuk Burhan perlahan bergerak.

“Dok, jari Ayah bergerak.” Andit yang terkejut segera memberi tahu dokter.

Dengan sigap dokter dan perawat melakukan tugasnya, sementara Andit kembali mendekatkan mulut ke telingan Burhan sambil terus memanggil ayahnya. Perlahan kelopak mata Burhan terbuka. Tatapan mereka bertemu saat Burhan menemukan wajahnya.

“Yah...ini Andit,” senyum mengembang dibibir Andit meski air mata terus meluncur di pipinya. “Yah, tolong maafkan Andit.”

Andit menempelkan kepalanya di dada Burhan. Hatinya sedikit lebih tenang, mendapati ayahnya siuman. Tidak hanya dirinya, senyum mengembang di bibir perawat dan dokter.

“Ayah maafkan Andit ya?” Burhan hanya membalasnya dengan senyum dan anggukan.

“Ka..kamu kesini sama siapa?” tanya Burhan sambil terbata. “Ibu kamu mana?”

“Ibu di rumah Yah, nanti aku telepon.” Andit berusaha menenangkan ayahnya.

“Ibunya ditelepon sekarang saja nggak apa-apa Mbak,” saran dokter.

“Baik Dok,” tangan Andit meraih ponsel dari dalam tasnya. Tak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan nomor yang dicari.

“Bu, Ayah sudah siuman,” ucap Andit setelah dering berhenti pada hitungan kedua.

Sebenarnya Andit juga tak sabar ingin memberi tahu ibunya. Rencana itu diurungkan sampai dia keluar dari ruangan. Diluar dugaan Andit, dokter justru mengizinkan menelepon ibunya. Jempol kanannya menekan tanda speaker agar ayahnya juga bisa mendengar suara ibunya. Isakan Galuh masih belum berhenti saat Andit memberitahu kalau ayah juga mencarinya.

“Jangan terlalu lama ya Mbak, pasien harus istirahat.” Dokter mengingatkan Andit sebelum meninggalkan ruangan.

“Baik Dok,” jawab Andit cepat.

“Bu, sudah aku nyalain speaker-nya ya,” Andit tak sadar bahwa sejak tadi Burhan terus menatapnya. “Ibu bisa bicara sama Ayah.”

Sejenak Galuh mengatur napas dan berdehem agar suaranya bisa terdengar jelas. “Mas... tolong bertahanlah, demi anak kita.” Galuh mengucapkannya dengan terbata.

“Iya,” jawab Burhan pelan. Suaranya masih lemah, cup yang dipasang dihidung membuat suaranya tidak jelas. Bibir Burhan terus membentuk bulan sabit.

“Sudah ya Bu, kata dokter, Ayah masih harus beistirahat.”

Galuh menekan bulatan merah pada layar ponsel setelah mendapat persetujuan ibunya. Tangannya mengetik sesuatu sebelum mengembalikan ponsel ke dalam tas. Tangan kirim Andit menggenggam, sementara tangan kanannya tak berhenti mengusap punggung tangan ayahnya. Sekejap Andit melupakan tatapan sinis ibu tirinya saat bertemu di depan ruangan tadi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top