PART 39
Hari sudah berganti gelap saat Sari menarik pintu ICU. Eki yang sejak tadi hanya menunggu di depan ruangan bergerak mendekat. Tak ada senyum, matanya sembab, Sari yakin kondisinya tak jauh beda dengan anak semata wayangnya. Bahkan anak lelakinya sempat meraung di dalam mobil selama perjalanan ke rumah sakit.
Sari tahu betul apa yang dirasakan anaknya. Akhir-akhir ini keduanya memang dekat, senyum lebih sering mengembang di bibir Burhan setiap kali berbicara dengan Eki. Entah apa yang mereka bicarakan, Sari tak pernah ingin tahu. Bisa melihat Burhan tertawa saja sudah menjadi hal terindah baginya.
Selama pernikahan mereka, Burhan hampir jarang sekali tertawa. Apalagi saat berbicara dengannya, lelaki yang sudah menikah dengannya selama enam belas tahun itu lebih memilih pergi jika tidak bisa menemukan jalan keluar. Sari hanya mendapati wajah datar bahkan saat dia menceritakan hal-hal yang menurut dirinya lucu. Sempat terbesit dalam pikiran Sari bahwa selera humor mereka memang berbeda.
Satu-satunya kenangan yang diingat Sari bisa melihat Burhan bahagia adalah saat Eki lahir. Burhan sempat menitikkan air mata saat melantunkan Adzan ditelinga Eki. Kini, Eki juga-lah yang bisa membuat Burhan kembali tertawa. Ada rasa tersisih setiap kali Sari melihat keakraban keduanya. Sempat terpikir dibenak Sari, apakah terlalu berlebihan jika dia cemburu dengan kedekatan Eki dan Papanya?
Meski usianya tidak jauh beda dengan Burhan, Sari masih terlihat lebih muda dari usianya. Parasnya cantik dan memiliki pemikiran yang terbuka, seharusnya tidak sulit untuk mengambil hati Burhan. Setiap kali orang baru yang mengenal Sari pasti ingin memiliki kesempurnaannya. Namun berbeda dengan Burhan, lelaki itu tidak hanya dingin tapi Sari seolah sulit untuk sekedar menyentuhnya.
“Ma,” suara Eki terdengar serak.
Sari menatap nanar putranya. Dia sama sekali tidak bisa membayangkan jika harus memperjuangkan hidup sendiri bersama anaknya. Tangan kanan Sari sempat mengusap pipi kiri Eki sebelum memeluknya dengan erat. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering, tak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulutnya.
“Gimana kondisi Papa, Ma?” tanya Eki setelah keduanya duduk di bangku depan ruang ICU.
Langkah perawat yang bolak balik masuk ke ruang bercat hijau putih membuat kepala Sari menjadi semakin pusing. Ada saja yang mereka bawa keluar masuk dari pintu yang memisahkan dirinya dengan Burhan. Jejak kakinya berlomba dengan waktu, menjadi tumpuan harapan keluarga pasien. Tangan mereka menggenggam alat-alat yang akan digunakan dokter untuk memeriksa pasien.
“Papa masih belum sadar, Mama disuruh keluar karena Papa sedang ditangani dokter.” Sari tak menemukan kalimat lain yang bisa membuat anaknya menjadi lebih tenang.
Sari coba menenangkan anaknya yang tampak gusar. Duduknya tidak tenang membuat dirinya menjadi semakin gugup. Berkali-kali Eki mengusap wajahnya dengan kasar. Sesekali tangannya melihat ponsel, dua jempolnya menari cepat di atas layar sebelum memasukkan kembali ke dalam saku celana.
“Keluarga Pak Burhan?” Seorang perawat muncul dari balik pintu.
“Iya Sus,” Sari berdiri menyingkat jarak antara dirinya dengan perawat. “Ada apa Sus? Suami saya sudah siuman?”
Sari bisa merasakan ketegangan yang terpancar dari wajah wanita berseragam putih di depannya. Sebuah kata menempel di dada kanannya, tertulis Nova, hanya menarik kedua ujung bibirnya membentuk garis lurus sambil menggeleng.
“Belum Bu,” perawat menatap Sari dan Eki bergantian. “Di sini adakah yang bernama Andit?” tak juga menemukan jawaban, keduanya hanya saling pandang. “Pasien masih tidak sadar, tapi berkali-kali menyabut nama Andit. Mungkin anggota keluarga yang bernama Andit bisa dihadirkan ke sini, siapa tahu bisa membantu pasien agar bisa lebih cepat pulih kembali.”
“Tidak ada Sus,” Sari menelan ludah yang terasa pahit. “Saya istrinya,Sari, dan ini anaknya, Eki. Mungkin pasien menyebut nama salah satu dari kami?”
Perawat itu menggeleng lagi sambil berkata, “Maaf Bu, pasien tidak menyebut nama itu. Kalau bisa tolong dipanggilkan yang bernama Andit untuk menemui pasien. Maaf saya kembali masuk ke ruangan dulu,” pamit perawat.
Tidak hanya ludahnya yang terasa pahit, Sari juga harus menerima kenyataan pahit yang mendatanginya secara beruntun. Sari terduduk lagi di bangku hitam berbingkai besi. Tubuhnya terasa tak bertulang lagi. Kepalanya semakin pusing membuat pandangannya semakin kabur.
Panggilan Eki menyadarkannya kembali setelah beberapa detik matanya sempat terpejam. Tangannya menerima botol air mineral yang disodorkan Eki. Dengan sekali tenggak, Sari hanya menyisakan seperuh isinya. Sari mengusap pipinya yang basar dengan cepat.
“Ma,” suara Eki terdengar mengambang. “Apa nggak sebaiknya kita panggil Kak Andit untuk ke sini?” Eki mengucapkannya dengan hati-hati.
Mata Sari terpejam, kepalanya menyandar pada dinding bercat hijau. Tangan mereka saling menggenggam untuk memberikan kekuatan. Tubuh Sari bergetar, buliran hangat kembali mengalir di kedua pipinya. Isakannya sejak semalam menghapus blush on dan eye shadow yang selalu diusapkan ke wajahnya.
Gemuruh yang memenuhi dada terasa seperti bom waktu yang sedang menanti waktu untuk meledak. Hati Sari semakin hancur, Eki, satu-satunya orang yang dimilikinya sekarang menginginkan anak perempuan itu datang untuk menemui suaminya. Sari merasa terpojok, seolah dialah yang menyebabkan suaminya berada dijurang kematian. Tanpa ada yang tahu, bahwa dirinyalah yang paling terluka dengan kehadiran perempuan itu kembali dalam kehidupan Burhan.
“Ma,” Eki kembali menyadarkannya setelah beberapa menit belum juga mendapatkan jawaban dari mamanya. “Boleh ya?” ucapnya hati-hati.
Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Sari, tenggorokannya masih terasa kering. Ketakutannya benar-benar terjadi, Sari merasa asing di depan anaknya sendiri. Gerahamnya mengeras, menahan kekesalan yang terpendam di dadanya. Dia tak mungkin menjadikan Eki sebagai sasaran kemarahannya.
Hampir setiap hari Eki menjadi sasaran kemarahannya setiap kali bertengkar dengan Burhan. Anak itu lebih memilih pergi dari rumah dan pulang hingga larut malam. Bahkan Sari sendiri tak mengetahui lagi kemana Eki pergi setiap kali meninggalkan rumah. Sebenarnya Sari merasa tersiksa, suasana di rumah menjadi semakin tak bisa dikendalikan setelah Burhan mengunjungi rumah sakit.
Selama sepuluh menit Sari kesulitan mengakhiri perang batin yang menguasai hatinya. Dia sendiri tak yakin bisa kuat jika Andit dan Galuh kembali hadir dalam kehidupan Burhan. Sejak kecil Sari selalu diutamakan, sebagai anak tunggal dia selalu mendapatkan apa yang dia mau dari orangtuanya. Sari bahkan tak terbiasa mendapatkan penolakan.
Sari merasa berada diantara dua mata pisau, keputusannya bisa membantu dokter untuk menyelamatkan nyawa suaminya. Dia tak bisa membayangkan kehidupan Eki tanpa kehadiran papanya. Masa depan Eki masih sangat panjang, dia masih membutuhkan bimbingan papanya. Hidup terlalu keras untuk dijalani berdua saja dengan Eki.
Sari menatap jauh ke dalam mata Eki. Dia tak punya waktu lama untuk mengambil keputusan yang sulit. Ada rasa tidak tega saat masa depan anaknya dipertaruhkan, namun Sari juga tidak memiliki hati yang cukup kuat untuk menghadapi kenyataan. Sari mengambil napas dalam, berharap tidak salah mengambil keputusan.
“Please Ma, demi Eki.” Sari menatap anaknya dan menemukan air bening kembali mengembang di kedua kelopak mata Eki.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top