PART 38

Lega mendengar jawaban Eki. Setidaknya Andit bisa membuktikan pada Eki, bahwa ibunya tak seperti yang dia pikirkan. Ibunya wanita baik yang tak pantas memiliki suami seperti Pak Burhan. Dia juga ingin membuktikan bahwa Bu Sari tak memiliki alasan kuat atas ketakutannya.

Andit ingin adik tirinya tahu bahwa dia tak akan mengambil haknya untuk dicintai seorang ayah. Dia juga ingin Eki tahu bahwa dia bisa menjalani hidup berdua dengan ibunya tanpa kehadiran Pak Burhan. Masih ada banyak hal yang ingin dibuktikan pada keluarga baru ayahnya. Lebih tepatnya pada Pak Burhan bahwa dia benar-benar tak membutuhkannya lagi untuk hadir dalam hidupnya.

Selesai menghabiskan makanannya, motor Eki melaju menuju alamat yang sudah diberikan Andit. Matahari sudah hampir tenggelam dibalik gedung-gedung tinggi. Kecepatan motor Eki terasa semakin pelan. Andit merasa butuh waktu yang lama untuk mencapai rumahnya.

Andit memilih sibuk dengan pikirannya. Dia berusaha mencari kata yang pas untuk disampaikan pada ibunya jika mereka sudah sampai di rumah. Namun semakin lama mencari, Andit semakin kesulitan mendapatkan kosakata yang baik untuk mengenalkan Eki pada ibunya. Untuk sesaat, Andit menyesali keputusannya untuk mengenalkan Eki pada ibunya.

Lima belas menit kedua kakak beradik seayah itu saling diam, kalut dengan pikiran masing-masing. Andit sendiri tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Eki sekarang. Apakah dia berharap akan diterima dengan baik seperti yang dipikirkannya dulu waktu pertama kali datang ke rumah Pak Burhan? Atau justru ibunya akan menolak dan memperlakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Bu Sari padanya dulu?

Gadis itu yakin, luka di hati ibunya pasti semakin dalam setelah kejadian di rumah sakit. Tak ada yang bisa menebak apa yang akan dilakukan orang yang sudah terlanjur sakit hati. Tapi Andit tak punya pilihan lain, hanya dengan cara ini dia bisa meyakinkan Eki. Sementara Eki yang biasanya dipenuhi celoteh sepanjang perjalanan, tak membuka mulut sedikit pun. Andit tahu, Eki hanyalah korban masalah orangtua seperti dirinya.

“Benar yang ini, Kak?” tanya Eki sambil menoleh ke belakang.

“Iya,” Andit turun dari jok bersamaan dengan suara mesin motor yang dimatikan. “Motornya dibawa masuk aja.”

“Ah, biar di sini aja. Aku cuma sebentar. Di sini aman kan?” Eki memastikan.

Andit tersenyum saat Eki melihat sekeliling rumah Andit. Kondisinya bisa dipastikan jauh sekali dengan rumahnya yang jauh lebih besar. Eki tak akan menemukan fasilitas-fasilitas yang bisa dengan mudah dia dapatkan di rumah. Eki terdiam sejenak di luar teras sebelum mengikuti Andit menuju pintu.

Sadar Eki tak mengikuti langkahnya, Andit menoleh dan menarik tangan adik tirinya. Dingin menjalar di telapak Andit saat menggenggam lengan Eki. Dia tahu, remaja itu pasti sedang gugup meski tak ada ekspresi apapun di wajahnya. Senyum mengembang di bibir Andit, berusaha membuat adiknya sedikit lebih tenang.

“Assalamualaikum,” andit mendorong gagang pintu rumahnya.

“Wa’alaikumsalam,” sebuah suara wanita paruh baya terdengar dari dalam rumah. Lembut dan menenangkan, “Kamu diantar Satria, Nduk? Jam segini baru pulang.”

“Enggak Bu,” Andit meletakkan tas di meja makan yang dengan mudah bisa dilihat dari ruang tamunya yang kecil.

“Trus diantar siapa? Ibu dengar ada suara motor. Sepertinya bukan Amel dan Kiki juga,” tanya Galuh bersamaan dengan suara kompor yang dimatikan.

“Eki Bu,” Andit mengucapkannya dengan hati-hati.

“Eki?” dahi Galuh mengernyit. Memastikan pendengarannya tidak salah.

“Iya, Eki.”

Andit menggandeng lengan ibunya menuju ruang tamu. Di sana terdapat Eki yang masih berdiri tidak jauh dari pintu. Andit memang tidak terlalu banyak menceritakan tentang Eki, tapi dia yakin ibunya masih mengingat nama anak kedua suaminya.

“Bu, ini Eki, anaknya Pak Burhan dengan Bu Sari.”

Detak jantung Andit berpacu dua kali lebih cepat. Berkali-kali dia menelan ludah untuk menenangkan dadanya yang terus bergetar. Dia sama sekali tidak bisa menebak isi hati ibunya yang masih terpaku ditempatnya berdiri. Andit khawatir akan memberikan luka baru pada ibunya, karena hanya air yang menggenang dikelopak mata ibunya yang bisa dia temukan.

Galuh menatap pemuda tanggung di depannya dari atas ke bawah. Eki memang mirip sekali dengan Burhan. Wajar saja kalau ibunya menemukan sosok Burhan muda di depannya. Dalam hitungan detik Andit masih menunggu reaksi berikutnya dari ibunya.

Sementara Eki juga sama sekali tidak menggerakkan tubuhnya. Terdiam di tempat yang sama sejak ditinggalkan Andit ke dalam untuk memanggil ibunya. Wajahnya memerah, Andit bisa menebak, Eki pasti menunggu reaksi Galuh setelah melihatnya seperti yang sedang dilakukannya sekarang. Eki bergerak mendekat setelah Andit mengangguk padanya.

“Assalamualaikum Bu Galuh,” salam Eki sambil mencium tangan ibu tirinya.

“MasyaAllah, kamu sudah sebesar ini, Nak.” Jantung Andit seperti jatuh dari tempatnya. Lega mendengar ucapan ibunya. “Kamu benar-benar mirip Mas Burhan.”

Kedua tangan Galuh meraba wajah Eki. Air bening memenuhi kedua kelopak matanya. Dalam sekejap, buliran bening meluncur di kedua pipinya melewati kerutan halus yang muncul di sudut mata. Kedua tangan Galuh bergetar menyusuri kedua pipi Eki.

Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Eki. Kini tidak hanya kedua pipinya yang merah, kedua matanya juga ikut memerah. Kristal bening mengambang di pelupuk matanya. Sementara Andit hanya menyaksikan keduanya dengan batin yang masih bergejolak.

“Bu Galuh...” Eki menggantungkan ucapannya.

“Eh iya,” Galuh segera mengusap kedua pipinya yang basah. “Ada apa, Nak? Apa tujuanmu ke sini?”

“Tidak ada, aku hanya ingin bertemu dengan Bu Galuh.” Eki terbata. “Kenapa bu Galuh tidak membenciku?”

Galuh menatap Eki dengan penuh tanya. Tak mendapatkan yang diinginkan, Galuh bergantian menatap ke arah Andit. Tidak berbeda, Andit pun tak memberikan jawaban apapun. Galuh menatap jauh ke dalam mata Eki, berusaha menyelami yang sedang dirasakannya.

“Maksud kamu apa? Kenapa aku harus membencimu?” Galuh tak sabar.

“Saya baru tahu, kenapa Papa tak bisa melupakan Bu Galuh. Saya juga jadi tahu kenapa Papa selama ini sering melamun. Sekarang saya tahu alasan kenapa Papa diam-diam masih menyimpan foto lamanya bersama Bu Galuh.” Bibir Eki membentuk garis lurus.

Perlahan suasana tegang mencair. Senyum ikut mengembang di bibir Galuh diikuti anak perempuannya. Galuh kembali mengusap pipi kiri Eki. Andit menjadi lega melihat dua orang yang disayanginya saling bertemu tanpa dikuasai amarah.

“Maafkan kami yang sudah membawa kalian terlibat dalam masalah ini.” Usapan tangan Galuh di pipi Andit terasa menenangkan. “Tak seharusnya kalian melewati masa kecil dan masa remaja dengan hal seperti ini.” Galuh menatap Eki dan Andit bergantian.

“Aku boleh sering-sering main ke sini, Bu Galuh?” tanya Eki kemudian.

“Tentu saja boleh, pintu ini terbuka untuk kamu kapan saja kamu mau datang.” Eki tersenyum lega. “Kamu juga bisa panggil saya Ibu, kalau kamu mau. Ibu berharap kalian berdua bisa selalu akur seperti ini sampai tua. Walaupun kalian dilahirkan dari rahim yang berbeda tapi ayah kalian sama.” Buliran panas menjalar di pipi Andit saat Galuh mengucapkan kalimat terakhir sambil menatapnya.

Galuh mengusap air bening yang masih mengambang di kelopak mata Eki. Dua saudara tiri itu menghambur ke arah Galuh, saling berpelukan. Ketakutan Andit lenyap dalam sekejap. Dia bersyukur tak jadi membatalkan idenya untuk mempertemukan Eki dengan ibunya. Dia tak akan mendapatkan kebahagiaan ini jika tak pernah mencobanya.

“Kamu bisa nangis juga, Kak?” Ledek Andit, diikuti tinju kecil Eki yang mendarat di lengan kiri atasnya.

“Oh ya, kalian makan dulu yuk,” ajak Galuh pada keduanya.

“Matur suwun Bu Ga...” Eki menghentikan ucapannya setelah Galuh mengacungkan telunjuk di depan wajahnya sendiri. “Eh, maaf belum terbiasa. Kami sudah makan tadi Bu. Saya mau langsung pulang saja.”

“Oh gitu ya, Papa sama Mama tahu nggak kalau Eki mampir ke sini?” tanya Galuh kemudian.

Sejenak Eki ragu dan tidak segera menjawabnya. “Enggak Bu, kenapa ya?”

“Enggak...nggak apa-apa. Mereka pasti nyariin kalau kamu jam segini belum pulang. Setelah dari sini langsung pulang saja ya, sudah malam.”

“Baik Bu, Eki pamit...” Salam Eki mencium tangan Galuh.

“Iya hati-hati di jalan.”
Eki mengangguk sebelum pamit pada Andit. “Eki pulang ya Kak, mandi gih. Bau banget,” Eki nyengir sambil menutup hidungnya melangkah keluar.

“Awas kamu ya...” Andit pura-pura cemberut mengikuti langkah Eki sampai gerbang.

Sesuatu mengalir hangat di dalam tubuhnya. Andit mengunci gerbang sebelum langkahnya mendekati Galuh yang masih berdiri di ambang pintu. Wajah yang mulai keriput itu tersenyum anggun melebihi artis yang pernah dilihatnya di layar kaca. Tugas Andit untuk mempertemukan eki dan ibunya sudah selesai. Pertemuan yang membuatnya cukup bahagia, meski masih ada hal lain yang mengganggu pikirannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top