Part 33

"Rapatnya nanti jam tiga, Pak." Arini sekretaris Burhan mengikuti langkah pria itu menuju ruangannya. Di tangan Arini sebuah catatan kegiatan yang akan dilakukan Burhan hari ini.

"Itu saja?" tanya Burhan. Lelaki itu sama sekali tidak memperlambat jalannya. Arini terlihat sedikit keberatan dengan buku dan dokumen di tangannya. Namun semua itu sama sekali tidak menyulitkan Arini. Ia sudah terbiasa bekerja dengan cepat dan cekatan. Terlebih, sudah tujuh tahun ia mendampingi Burhan. Arini kembali membuka catatan dan memeriksa jadwal kegiatan Burhan. "Benar, Pak. Hanya itu. Oiya, tadi ada telepon dari Ibu Sari."

"Hmm ... apa katanya?"

"Tidak ada, Pak. Ibu hanya menanyakan jadwal Bapak hari ini."

"Hmm ... baiklah. Terima kasih, Arini."

"Bapak perlu yang lain? Kopi mungkin?"

"Tidak. Aku sudah banyak minum kopi pagi ini. Terima kasih."

"Sama-sama, Pak." Arini kembali ke meja kerjanya yang berada di depan pintu ruangan Burhan. Sedangkan Burhan, segera masuk ke ruangannya. Ia bermaksud menelpon Sari. Lelaki itu heran dengan sikap istrinya. Aneh saja menurutnya. Kenapa Sari tiba-tiba menelpon ke kantor dan menanyakan jadwalnya. Kenapa Sari tidak meneleponnya saja? Segala tanya memenuhi pikiran Burhan.

Burhan mengecek ponselnya. Benar saja sebuah pesan dari Sari masuk. Burhan segera menghubungi istrinya itu.

Setelah bunyi 'bip' sekali, Sari langsung mengangkat telponnya. "Kenapa? Aku ada rapat hari ini. Ada perlu apa?" tanya Burhan.

"Aku hanya ingin memastikan, jam berapa nanti kamu pulang, itu saja."

"Kenapa tidak bertanya langsung padaku?"

"Tidak ada apa-apa. Pulanglah segera setelah selesai nanti. Aku perlu bicara denganmu."

Sari mematikan teleponnya begitu saja. Tidak ada salam atau kata-kata manis yang membuat Burhan merasa dihargai. Begitulah sifat Sari. Burhan tidak tersinggung. Memang seperti itulah Sari. Namun kali ini sedikit berbeda. Burhan yakin ada sesuatu yang akan terjadi nanti saat ia pulang ke rumah. Entah apa itu, yang jelas, firasatnya tidak enak.

Enam belas tahun pernikahannya dengan Sari, jarang sekali kenyamanan ia rasakan. Burhan lebih banyak mengalah dan mencoba memahami tabiat Sari yang sering meledak-ledak. Burhan juga berwatak keras. Karena itu, ia lebih banyak menahan diri daripada terjadi keributan. Sari sering sekali memancing perdebatan di antara mereka. Berbeda sekali dengan Galuh yang selalu membuat Burhan merasa nyaman.

Galuh sangat lembut dan pengertian. Ia juga bukan perempuan yang banyak menuntut. Galuh adalah orang yang sabar dan penyayang. Bahkan setelah ia menyakiti wanita itu berbelas tahun, Galuh masih memperlakukan Burhan sama lembutnya seperti dulu.

Burhan semakin merasa berdosa kepada Galuh dan Anindita saat mengingat segala tuduhan-tuduhannya pada kedua orang yang disayanginya itu. Mendadak dadanya terasa nyeri.

Burhan mencari pegangan pada kursi empuk yang kini sedang ia duduki. Tangan kanannya meraba dadanya sebelah kiri. Nyeri itu semakin terasa. Ia juga merasakan jantungnya berdebar-debar dengan cepat.

Burhan menarik napas panjang. Gejala seperti barusan sering ia rasakan akhir-akhir ini. Setelah nyerinya mulai terasa lebih ringan, lelaki itu meraih gelas berisi air mineral di mejanya. Burhan meneguk air itu perlahan-lahan. Debaran di jantungnya mulai mereda. Demikian juga dengan rasa nyeri di dadanya.

Lelaki itu kembali meneruskan pekerjaannya. Ia sudah melupakan rasa nyeri di dadanya dan permasalahan rumah tangganya yang rumit. Burhan memang orang yang fokus pada pekerjaan. Ia kembali terpekur pada layar komputer dan mulai berkonsentrasi.

***

Ruangan itu seharusnya terasa nyaman. Sebuah televisi layar datar dua puluh satu inchi menggantung di salah satu sisi dinding. Di depannya, ada sofa bed yang nyaman dan empuk. Ruangan itu memang tidak berpendingin, tetapi taman kecil di luar ruangan itu cukup memberikan nuansa hijau yang sejuk serta udara segar. Sirkulasi udaranya pun lancar karena lubang ventilasi di atas dinding kaca cukup untuk mengalirkan udara dari sana.

Namun suasana tegang saat ini, tidak membuat penghuninya merasa cukup nyaman untuk menikmati segala keindahan itu. Burhan duduk di ujung sofa bed itu dan sama sekali tidak merespon pertanyaan-pertanyaan Sari.

"Ini, aku meminta rekening koran dari tabunganmu tadi. Lima belas juta, dan berulang kali kau menarik uang setelah itu hingga puluhan juta. Untuk apa semua itu, Mas?"

"Tentu saja untuk keperluanku. Ada apa denganmu? Itu uangku. Kenapa semua kau permasalahkan?"

"Bukankah kita sudah sepakat, Mas? Apa aku tidak punya hak untuk mengetahui seluruh milikmu?"

Burhan masih memilih bungkam.

"Jangan-jangan, kau berikan pada perempuan itu?"

"Iya! Aku memberikannya. Anindita tidak mungkin membayarkan sejumlah uang untuk biaya rumah sakit ibunya. Dari mana anak seumuran itu bisa mendapatkan uang segitu banyak? Coba kau pikirkan, Sari. Mana hati nuranimu?"

"Mas, aku masih membiarkanmu datang ke sana saat wanita itu terbaring di rumah sakit dan memberikan darahmu. Tapi masalah uang, aku betul-betul tidak habis pikir. Apa yang sudah wanita itu lakukan hingga kau rela memberikan uang sebanyak itu?"

"Aku hanya membantu Andit, Sari. Tidak lebih. Lagi pula, bukankah itu haknya? Aku tidak ingin kau membahas ini lagi."

"Mas, kenapa kau tidak bicara dulu padaku sebelum memberikan uang itu pada mereka? Aku berhak tau, Mas. Aku ini istrimu."

Burhan menatap ke luar. Rasanya ia ingin pergi saja dari sana. Percuma saja menjelaskan semuanya pada Sari. Wanita itu sampai kapan pun tidak akan pernah setuju dengan keputusan yang Burhan buat.

Burhan sedikit menyesal telah menyetujui Sari untuk pulang lebih awal. Kalau saja ia mengetahui bahwa Sari akan mempertanyakan hal ini, Burhan pasti akan memilih kerja lembur saja sore ini.

"Sudahlah, Sari. Aku hanya membantu. Sesulit itukah bagimu menerima kenyataan? Andit itu anakku. Ia baru enam belas tahun. Bagaimana caranya melunasi biaya rumah sakit sebanyak itu seorang diri? Bagaimana jika Eki yang berada di posisi Andit. Apa kau masih berpikiran sama?" Burhan mencoba memberikan pengertian pada Sari.

"Aku hanya takut, Mas. Aku takut perempuan itu akan merebutmu dariku. Aku takut keluarga ini hancur, Mas." Sari mulai meneteskan air mata.

Burhan tidak mengatakan apa pun lagi. Ia membiarkan Sari menangis sepuasnya. Hatinya perih mengingat setiap peristiwa demi peristiwa yang telah terjadi.

Sari tidaklah salah. Galuh juga tidak salah. Semua yang terjadi adalah karena kesalahannya. Kekacauan ini adalah tanggung jawabnya. Burhan tidak memungkiri itu. Andai saja ia bisa menjadi lebih tegas dan tidak tergesa-gesa mengambil keputusan untuk meninggalkan Galuh dan menikahi Sari, semua ini tidak akan mungkin terjadi. Lelaki itu menyentuh dada kirinya. Rasa nyeri itu kembali datang. Entah apa yang telah terjadi, setiap kali ia merasa tertekan, nyeri di bagian dadanya tiba-tiba saja muncul.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top