Part 30
Galuh sudah lelah memberikan pengertian pada Anindita perkara kedatangan ayahnya. Setelah hari itu, Galuh mencoba mengajak Andit untuk bicara. Namun gadis itu tetap bersikukuh pada pendiriannya.
"Memaafkan dan melupakan itu dua hal yang berbeda, Ibu. Jangan paksa aku untuk keduanya," ujar Andit pada Galuh, saat Burhan kembali ke rumah itu di suatu sore setelah bertahun-tahun.
"Mungkin aku bisa memaafkan Pak Burhan suatu hari, Bu. Tapi untuk melupakan, entahlah ..."
Galuh terdiam. Ia memaklumi maksud putrinya itu. Direngkuhnya Andit ke dalam pelukannya, dan dibiarkannya Andit menumpahkan segala gundah di hatinya. "Baiklah, Nduk. Ibu tidak akan memaksamu. Kamu sudah besar, Nduk. Ibu yakin, kamu pasti akan mengambil keputusan yang tepat."
Sejak kedatangan pertamanya, Burhan menjadi lebih sering datang ke rumah Galuh. Beberapa kali mereka juga bertemu di suatu tempat sambil menikmati makan siang tanpa sepengetahuan Andit atau Sari.
Galuh merahasiakan pertemuan mereka pada Anindita. Demikian juga sebaliknya dengan Burhan. Lelaki itu lebih memilih bungkam soal kedekatannya dengan Galuh pada keluarga barunya. Bagaimana pun, Sari sudah pasti tidak akan menerima kenyataan bahwa Burhan masih memilikinya seorang istri lagi selain dirinya.
Kali ini Burhan membawa Galuh ke sebuah pusat perbelanjaan. Mereka menghabiskan waktu bersama dengan berkeliling dari satu toko ke toko yang lain.
"Pilihlah yang mana yang kau suka," begitu kata Burhan saat mereka berada di salah satu toko pakaian.
Galuh yang sederhana, mendekati pakaian-pakaian yang digantung rapi. Setelah melihat-lihat sebentar, Galuh tak juga menjatuhkan pilihan. Wanita itu malah memalingkan wajahnya ke arah Burhan.
"Aku tidak menyukainya," ujar Galuh. Dulu juga seperti itu. Galuh bukan tipe perempuan yang tergila-gila pada fashion. Berbeda sekali dengan Sari yang senang berbelanja. Ia selalu mengaku tak memiliki pakaian jika harus menghadiri acara atau pernikahan. Sari akan berlama-lama di depan lemari dan mengeluh pada Burhan. Padahal tiga perempat dari isi lemari itu dipenuhi oleh pakaiannya. Jika sudah seperti itu, Burhan lebih memilih mengalah. Ia membiarkan Sari berbelanja pakaian sesukanya.
"Kenapa? Kita pindah ke tempat lain?"
"Bukan begitu, Mas. Aku benar-benar tidak menyukai semuanya."
Burhan hapal sekali sifat Galuh. Lelaki itu menarik napas panjang. "Aku tahu apa yang kau pikirkan. Mengenai Andit, sejak sekarang, tolong jangan kuatir. Aku yang akan menanggung beban pendidikannya."
Kedua mata Galuh berkaca-kaca menatap wajah Burhan. Benar, ia tidak perlu khawatir soal uang dan biaya pendidikan putrinya kelak.
"Sebenarnya, Andit masuk SMA Aksara dengan jalur beasiswa. Aku tidak pernah direpotkan olehnya. Andit juga tidak tinggal diam. Dia bahkan bekerja di lembaga pendidikan milik gurunya demi memperoleh uang tambahan," ujar Galuh. Matanya menerawang jauh. Wanita itu sangat bangga pada putrinya itu.
"Anindita, dia persis sepertimu. Pekerja keras," jawab Burhan.
"Dan juga keras kepala. Sama sepertimu," tambah Galuh.
Burhan ternyata tidak main-main soal pemenuhan biaya pendidikan putrinya itu. Beberapa kali Burhan meninggalkan uang kepada Galuh. Tentu saja tanpa sepengetahuan Andit. Burhan tak mau ambil resiko jika Andit mengetahui itu. Bisa-bisa hubungannya dengan Andit menjadi tambah runyam nantinya.
***
Malam sudah larut. Namun lampu kamar Anindita masih menyala. Galuh baru saja hendak tidur saat ia mendapati putrinya itu masih asyik berkutat dengan buku dan lembaran-lembaran kertas di mejanya.
"Sudah, Nduk. Dilanjut besok saja. Ini sudah hampir jam dua belas malam."
"Tanggung, Buk. Ibu tidur duluan aja. Nanti biar Andit selesaikan ini dulu."
Galuh masuk ke kamar putrinya. Wanita itu mengambil tempat duduk di sisi ranjang dan menghadap ke Andit. "Nduk, gimana kalau ngajar lesnya dihentikan dulu. Ibu takut kamu kecapean, loh."
"Sayang, Buk. Gajinya kan lumayan. Bisa buat nambah-nambah tabungan."
"Ibu nggak mau kamu nanti sakit, terus sekolahnya keteteran. Lagian Ibuk sekarang kan, sudah sembuh. Bisa ke pabrik lagi. Bisa terima jahitan lagi. Kamu yang serius aja sekolah."
Andit bangkit dari duduknya kemudian pindah ke samping Galuh. Gadis itu meraih tangan Galuh dan mengusapnya lembut. "Buk, Andit janji akan sekolah yang bener. Andit nggak bakalan main-main. Apalagi sampai keteteran pelajaran. Ibuk pegang deh, janji Andit."
Galuh tak berkata-kata lagi. Wajahnya yang teduh menatap Anindita dengan penuh kasih sayang. Dielusnya rambut sebahu putrinya itu. Andit merebahkan tubuhnya ke pangkuan Galuh. "Andit sayang Ibuk," katanya, pelan.
Sebenarnya ide menyuruh Andit berhenti mengajar itu datang dari Burhan. Ia sering mendengar Galuh bercerita tentang kegiatan Andit yang selalu sibuk akhir-akhir ini. Burhan jelas merasa bersalah pada anaknya itu. Tidak seharusnya Anindita menanggung beban hidup yang d berat di usianya sekarang.
Gadis itu memang terlalu keras pada dirinya sendiri. Saat para gadis seusianya asyik bermain, menikmati masa muda sepulang sekolah, ia harus segera menuju tempat les Bu Widya. Di sana siswanya sudah menunggu kedatangan Anindita.
Andit sendiri tidak merasa rutinitasnya akhir-akhir ini memberatkannya. Andit memang menyukai matematika. Pelajaran satu itu adalah andalannya. Apalagi ia sudah sering mengikuti berbagai perlombaan.
Tak dipungkiri terkadang Andit juga merasa lelah. Bahkan di sekolah pun ia menjadi lebih pendiam. Ia hanya fokus pada pelajarannya, bukan yang lain. Amel dan Kiki yang paling merasakan perubahan sikap Anindita.
"Andit, ke kantin, yuk!" ajak Kiki saat jam istirahat.
"Lo berdua aja deh, ya. Gue belum kelar nih."
"Entar aja, Ndit. Lo nggak kangen apa sama sambel rawit Mbak Erna?" Amel menimpali. "Udah lama tau, kita nggak ngumpul-ngumpul di bawah pohon."
"Iya, tapi aku belum kelarin ini loh."
"Ayolah, Ndit. Pleaseee..."
"Iyaaa ..." Andit akhirnya menyerah. Gadis itu mengemasi buku dan kertas-kertas yang bersedekah di meja. Sebenarnya Andit juga rindu "istirahat." Tapi ia sudah berjanji pada Ibunya untuk menyelesaikan pendidikannya dengan baik. Ia menyadari, tanpa kerja keras, ia tidak akan bisa mempertahankan beasiswanya di sekolah ini.
Andit merangkul kedua sahabatnya. Mereka menuju kantin Mbak Erna. "Kali ini, gue yang traktir kalian, ya? Awas, jangan nolak. Anggap aja permintaan maaf gue udah nyuekin kalian akhir-akhir ini."
"Cieee ... yang lagi banyak duit, haha."
"Kalo gitu gue mau soto ayam ya, Ndit. Sama kerupuk cabe." Kiki yang paling semangat kalau soal makanan.
"Iya. Boleh. Ambil aja. Lo sekalian, Mel."
"Asyiiik, pesenin gue sekalian ya, Ki. Mumpung nih. Kapan lagi gue ditraktir 'ibu guru Andit' kaya gini."
"Dih! Apaan sih, Mel." Andit mengacak rambut sahabatnya itu.
Mereka bertiga tertawa bersama. Melihat kedua sahabatnya bahagia, membuat Andit merasa lebih baik. Benar nasehat orang tua-tua dulu, bahagia itu, saat kita bisa membahagiakan orang-orang yang ada di sekeliling kita. Lalu, selintas pikiran itu muncul, kapankah ia bisa menyingkirkan kemarahannya dan membuat ibunya menjadi bahagia?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top