Part 28
Hari ini akhirnya Galuh tetap pada pendiriannya untuk kembali bekerja. Pagi-pagi sekali ia sudah menyiapkan segala keperluan rumah seperti biasa. Ia juga tidak membangunkan Andit untuk membantunya. Melihat Anindita yang tertidur pulas membuat Galuh merasa kasihan. Selama ia sakit, Andit harus bangun lebih pagi untuk menyelesaikan urusan rumah.
Saat Andit terbangun, semua urusan rumah telah selesai. Andit mengucek matanya yang pedih dan masih berat. Semalam ia tidur sambil menangis. Ia lupa jam berapa tepatnya dapat memejamkan mata. Sisa air mata membuat matanya bengkak. Andit mendekat ke lemari pakaian. Di pintu lemari itu ia berkaca, menatap wajahnya yang sembab dan terlihat lelah.
Di atas nakas, sebuah jam meja kecil menunjukkan angka lima lewat tiga puluh menit. Itu artinya, ia harus segera berkemas untuk berangkat sekolah. Andit memeriksa tas ranselnya. Hari ini ia akan pulang terlambat. Ia akan mampir dulu mengajar di tempat les Bu Widya hingga pukul enam sore.
Gadis itu memasukkan lembaran-lembaran kertas jawaban siswanya yang telah ia periksa tadi malam. Lembaran itu akan ia kembalikan nanti kepada para siswa. Tentu saja dengan beberapa catatan evaluasi buat orang tua siswa.
Andit juga sudah memeriksa jadwal mata pelajaran untuk hari ini dan memasukkan buku-bukunya ke ransel. Setelah yakin dengan barang yang ia bawa, Andit segera meraih handuk dan menuju ke kamar mandi.
Saat melalui meja makan, Andit agak terkejut mendapati sarapan pagi ini sudah tersedia. Awalnya ia berencana membeli lontong sayur Padang tak jauh dari rumahnya. Wangi aroma bawang goreng tercium dari arah dapur, menggiring gadis itu untuk menuju ke sana.
Galuh sedang sibuk menyiapkan satu menu lagi. Tumis buncis dengan telur puyuh. Ah, pagi ini sarapan mereka tentu lebih istimewa daripada beberapa hari sebelumnya.
Langkah Andit tertahan. Ia bahagia melihat punggung ibunya yang bergerak lincah seperti sebelumnya. Tangan wanita itu terlihat sedang mengulek bumbu. Tumisan buncis sedang terjerang di atas kompor, mengeluarkan aroma wangi dan suara mendesis.
Galuh menyadari kedatangan Anindita. "Eh, sudah bangun? Ayo mandi! Ibu sudah siapkan sarapan. Hari ini kamu ke tempat les, toh? Bawa bekal, ya? Ibuk sudah masakin untuk bekal kita siang ini."
Senyum mengembang di wajah wanita itu. Andit mengangguk, kemudian menuju kamar mandi.
Pukul enam, kedua ibu dan anak itu sudah berada di meja makan. Tidak banyak yang mereka bicarakan. Setelah selesai sarapan, keduanya berangkat ke tempat tujuan mereka masing-masing.
Andit bukan anak yang "ramai" saat bergaul. Namun ia juga tidak sediam hari ini. Amel dan Kiki sampai dibuat bingung dengan sikap Anindita. Bahkan ia tidak selera diajak ke kantin untuk menyantap gorengan dengan sambel pedas kesukaannya di jam istirahat. Andit memilih menuju perpustakaan. Kedua sahabatnya itu kemudian membiarkan Andit sendirian. Anindita menyukai tempat ini jika sedang ingin sendiri.
"Hai ... baca buku atau lagi ngelamun? Mikirin aku?" Satria tiba-tiba sudah mengambil tempat di sebelah Anindita. Perpustakaan sekolah memang lebih sering sepi. Itu artinya, tidak masalah jika mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol di sini. Tidak akan ada pengunjung yang terganggu.
"Kak Satria ... kok Kakak tau aku di sini?"
"Aku mencium aroma ... " jawab Satria sambil mengendus-endus mendekati Andit, menirukan seorang magician di sebuah acara televisi.
"Ih, Kakak apaan, sih?" Andit mendorong pelan bahu Satria. Gadis itu tertawa melihat tingkah lelaki di sampingnya itu. Satria memang pandai sekali membuatnya bahagia.
"Ngapain sendirian di sini? Kesambet jin buku 1001 malam, baru kapok." Satria kembali menggoda Andit.
Gadis itu tertawa. Namun wajahnya tetap saja tidak bisa membohongi isi hati. Satria mengerti, ada sesuatu yang sedang dipikirkan Andit. "Ada apa?"
Andit menarik napas dalam. Pandangan gadis itu menerawang. "Ibuk ..."
"Ibuk kenapa? Sakit lagi?" Satria terlihat cemas.
"Bukan. Ibu sehat. Malah sudah memaksa buat mulai ke pabrik lagi hari ini."
"Hmm, terus?"
"Semalam Ibuk minta aku buat datang ke Pak Burhan. Ibuk baru tau soal biaya rumah sakit kemarin. Aku diminta untuk datang ke orang itu untuk mengucapkan terima kasih."
"Wah, bagus itu. Apa perlu aku temani?"
"Kak? Jadi menurut Kakak itu perlu?"
"Kenapa tidak? Aku rasa itu malah ide yang bagus buat hubungan kamu dan ayah kamu. Aku sih, berharap agar hubungan kalian mencair."
"Ah ... entahlah. Satu sisi bisa jadi yang Kakak bilang benar. Tapi sisi lain, aku nggak bisa, Kak."
Keduanya hening. Hanya suara pendingin ruangan yang berdengung pelan. Mungkin barang itu sudah lama tidak diservis. Satria menatap Anindita. "Kamu ingat nggak waktu aku bilang kamu jauh lebih beruntung? Aku benar-benar serius dengan ucapanku, Ndit."
Anindita menatap wajah lelaki di sampingnya. Kedua matanya mencari kebenaran dari ucapan Satria.
"Waktu itu aku baru empat tahun. Papa dan Mama seperti biasa, akan menitipkanku pada Tante jika mereka harus keluar kota untuk suatu pekerjaan. Aku ingat, aku menangis-nangis minta ikut saat itu. Entah bagaimana, aku lupa ... akhirnya aku tetap tinggal bersama Tante seperti biasa."
Satria memberi jeda untuk beberapa saat. Remaja itu menerawang jauh. Kemudian ia menggeleng pelan, dan tertunduk.
"Aku juga ingat, saat ambulance datang ke rumah pada suatu siang. Raung ambulance itu berhenti tepat di halaman rumah kami. Papa dan Mama diturunkan dari sana. Tapi tidak berapa lama, mereka dibawa kembali ke peristirahatan terakhir."
Andit meraih tangan Satria. Gadis itu menumpuk jemari mereka dengan tangan satunya.
"Aku belum mengerti apa-apa saat itu. Seingatku, di sana orang-orang berkumpul. Sangat ramai. Mereka juga bertangisan. Aku digendong bergantian oleh entah siapa. Dan mereka menatap iba padaku."
"Aku minta maaf, Kak ... aku nggak nyangka kalau ternyata kisah hidup Kakak seberat itu di masa lalu." Andit bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Mata gadis itu berkaca-kaca.
"Enggak apa-apa. Udah lama banget kok. Aku cuma ingat sepotong-sepotong. Karena itu, Ndit, kamu jangan sampai merasakan apa yang Kakak rasakan. Berat saat kita merindukan orang yang tidak mungkin bisa kembali. Seperti apa pun aku berusaha, Papa dan Mama tidak mungkin bisa mendampingi aku lagi."
Andit menunduk. Aliran bening itu akhirnya runtuh dan membasahi pipinya. Andit menyadari, ia tidak akan siap jika hal yang menimpa Satria terjadi kepadanya.
"Karena itu, Ndit. Kamu masih punya waktu. Aku tidak menyalahkan kemarahanmu. Aku juga tidak meminta kamu melupakan kejadian buruk yang pernah terjadi. Tapi jika mungkin, maafkanlah ayahmu. Aku yakin, beliau juga sudah menyesali perbuatannya. Tinggalkanlah masa lalu Andit. Kebahagian sudah nunggu kamu di masa depan."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top