Part 27

Beberapa hari beristirahat di rumah, Galuh akhirnya pulih dan bisa beraktivitas kembali. Wanita itu bahkan dengan semangatnya ingin masuk kerja kembali. Malam ini ia menyampaikan maksud hatinya pada Anindita.

"Besok Ibuk mau ke pabrik. Udah dua minggu Ibuk nggak masuk."

Andit menatap ibunya sesaat. Gadis itu mencari kesungguhan dari ucapan Galuh barusan.

"Jangan dulu, Buk. Istirahat dulu di rumah beberapa hari ini supaya tenaganya cepat pulih," kata Andit sambil mencomot kerupuk dari toples.

Tentu saja jawaban itu yang akan dikatakan Andit. Galuh sudah menduganya. Namun Galuh tetap pada pendiriannya. Beberapa hari di rumah, tentu saja membuatnya sedikit bosan. Galuh terbiasa bekerja keras. Tak sekali pun ia melalui waktu dengan duduk dan diam. Pasti ada saja yang ia kerjakan.

"Ibuk sudah enakan, Nduk. Rasanya juga sudah ringan ini kepalanya. Ibuk juga sudah rindu sama teman-teman di pabrik," ujar Galuh sambil menambahkan sayur gori kesukaan Andit ke piring dan langsung mencicipinya, "Hmm ... sayur gorinya enak, Nduk. Sudah semakin mahir kamu sekarang di dapur.

Andit tahu, Galuh sedang mengalihkan pembicaraan. Itu artinya, wanita itu sudah mengambil keputusan.

"Benar Ibu sudah ngerasa baikan? Andit masih bisa kok Buk, nyari biaya buat sehari-hari dari ngajar les anak-anak." Andit menghentikan makannya sesaat. Gadis itu menatap lurus kedua mata Galuh. Ia ingin sekali lagi memastikan keputusan Galuh untuk kembali bekerja di pabrik.

"Iya. Ibuk yakin. Lihat nih, Ibuk segar bugar sekarang, kan? Lagi pula, Ibuk mau mengejar setoran buat nutupin tabungan sekolah kamu yang sudah kepake bayar rumah sakit kemarin."

Andit tersedak mendengar jawaban ibunya. Gadis itu baru ingat, ia belum memberitahukan perihal pembayaran rumah sakit kemarin. Buru-buru Andit mengambil gelasnya yang telah terisi penuh, lalu menenggaknya hingga tersisa setengah.

"Pelan-pelan toh, Nduk. Kok buru-buru toh, makannya?"

Andit mendehem untuk melegakan tenggorokannya yang masih menyisakan rasa perih. Sayur gori buatannya memang sedikit pedas. Kemudian Andit kembali meminum seteguk air dari gelasnya.

"Tabungan kita nggak jadi kepake, Buk."

"Maksud kamu?" Kening Galuh berkerenyit tidak mengerti.

"Iya. Masih utuh. Pak Burhan menanggung semua biaya rumah sakit Ibuk kemarin."

Hening beberapa saat. Galuh sampai tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajahnya menyiratkan banyak pertanyaan. "Kok kamu nggak cerita sama Ibuk?"

"Maaf, Buk. Andit lupa."

Galuh menarik napas dalam. Sesaat hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring terdengar. Galuh menaruh sendoknya. Tatapannya yang teduh mengamati putri kesayangannya itu. "Kamu sudah berterima kasih sama ayah kamu?"

"Andit nggak ketemu lagi sejak Pak Burhan datang menjenguk Ibuk. Lagi pula, ngapain pake terima kasih segala? Itu kan memang sudah kewajibannya."

"Bukan seperti itu, Nduk. Maksud Ibuk, bukankah sudah seharusnya kita berterima kasih pada ayahmu?"

"Buat apa, Buk? Berapa pun yang dikeluarkannya untuk Ibu kemarin, itu belum cukup untuk membayar semua hutangnya pada kita."

"Andit. Tidak baik bicara seperti itu tentang ayahmu. Bukankah dia sudah menjelaskan segalanya? Lagi pula dia sudah meminta maaf pada kita."

"Alah! Itu hanya akal-akalan orang itu saja. Dia ingin terlihat baik di mata orang-orang. Seolah-olah dia tidak punya dosa saja. Pengin cuci tangan dari semua kesalahannya. Kenapa Ibu selalu saja membela dia?"

"Andit! Sudah cukup! Ada apa denganmu. Sebesar itukah dendam yang tertanam dalam hatimu? Sehingga kamu tidak bisa melihat kebaikan yang sudah dilakukannya? Ingat Andit, Burhan adalah ayahmu, bagaimana pun kamu menyangkal semua itu. Sadar, Nduk, eling," bentak Galuh.

Wanita itu menatap Anindita tanpa berkedip. Keheningan terjadi beberapa saat. Andit benar-benar terkejut dengan reaksi ibunya saat ini. Gadis itu terdiam. Tak lama, Galuh memejamkan matanya. Wanita itu juga menarik napas dalam-dalam demi menghentikan gemuruh di dalam dadanya. Kini ia kembali menatap Andit. Wajahnya melunak. Diraihnya jemari putri kesayangannya itu, "Maafkan Ibuk. Ibuk tidak bermaksud membentak kamu."

Setetes air mata jatuh di pipi mulus Andit. Gadis itu mengerti, untuk alasan apa pun, ia memang sudah keterlaluan. Namun egonya menghalangi Andit menerima kenyataan bahwa ia sebenarnya membutuhkan Burhan. Rasanya ia juga ingin menyangkal bahwa darah lelaki itu, mengalir di tubuhnya. Andai saja seorang anak dapat memilih akan dilahirkan dari orang tua yang mana, tentu saja ia tidak akan sudi memilih Burhan menjadi ayahnya. Di matanya, Burhan tak lebih dari seorang pengecut. Andit merasa malu memiliki ayah sepertinya. Ayah seperti apa yang bisa menolak anaknya sendiri.

"Nduk, Ibuk tidak mengajarkan kamu jadi orang yang tidak tahu berterima kasih. Ayahmu sudah berniat baik untuk membantu kita. Beliau juga sudah mendonorkan darahnya waktu itu. Ayolah, Nduk. Maafkan dia."

Galuh berusaha bersikap selembut mungkin. Wanita itu hapal betul watak Anindita. Gadis itu benar-benar sama kerasnya dengan sang Ayah. Sifat mereka pun benar-benar mirip. Jika sudah membuat keputusan, maka mereka teguh pada keputusannya. Namun, jauh di lubuk hatinya, Andit dan Burhan sebenarnya adalah orang-orang yang sangat lembut. Ia rapuh dan juga penuh kasih sayang.

Andit tidak menjawab ibunya. Gadis itu terisak menahan tangis. Andit merasa heran, bagaimana bisa ibunya begitu mencintai lelaki yang tidak punya hati seperti Burhan. Apa yang dilihat ibunya pada Burhan dahulu, sehingga ia bisa segitu cintanya pada Burhan? Atau kebaikan apa yang pernah dilakukan Burhan, hingga ibunya rela disakiti bertahun-tahun oleh lelaki itu? Cinta seperti apakah yang dimiliki Galuh? Ah, rasanya tak akan ada orang yang bisa mencintai dengan tulus seperti ibunya mencintai Burhan. Andit nelangsa. Bagaimana mungkin Burhan begitu bodoh sudah meninggalkan orang sebaik ibunya? Andai saja ia di posisi itu, Andit yakin ia tidak akan sekuat Galuh.

Galuh menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Bagaimana pun, dia adalah ayahmu. Seperti apa pun kamu menolaknya, tapi itulah kenyataannya, Nduk. Maafkanlah dia."

Sesaat mata Galuh menarawang jauh. "Kamu tahu, Nduk, dulu Ibuk pernah mendengar, saat kita memaafkan orang yang telah menyakiti kita, sebenarnya saat itu kita sedang mengobati luka pada diri kita sendiri. Ibuk nggak mau, sepanjang hidup kamu membawa luka yang terus menerus membuat perih di hatimu. Ibu pengin kamu hidup bahagia, Nduk."

Benarkah seperti itu?

Perih.

Andit menunduk mendengar nasehat ibunya. Sesekali jemari gadis itu menyusut air mata yang mengalir di pipi dan hidungnya. Namun sepertinya kesedihan ini tidak ingin pergi. Andit merasa terluka.

Mungkin saja ibunya benar. Ia selalu menyalahkan Burhan untuk setiap masalah yang datang dalam hidupnya selama ini. Dan ia juga terluka karenanya. Ayah, kata yang selalu ia rindukan, tetapi juga menguak luka.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top