Part 26

Seperti biasa, jam istirahat Andit dan kedua sahabatnya duduk di bawah pohon tempat favorit mereka. Dua piring di hadapan mereka hanya menyisakan sepotong tahu isi.

"Menurut gue bagus dong, kalau Ayah lo akhirnya menyadari kesalahannya," kata Amel.

"Bener banget. Terus Pak Burhan juga bayarin biaya rumah sakit ibu lo, kan. Menurut gue, mungkin lo harus bicara, deh, sama ayah lo." Kiki membenarkan ucapan Amel.

"Nggak ada lagi yang perlu diomongin, Ki. Kalian ingat nggak waktu gue minta bantuan pertama kali sama orang itu? Apa jawabannya coba? Orang itu nolak gue dan ibu gue. Udah cukup rasanya gue ketemu orang itu." Andit terlihat emosional saat mengatakan hal ini. Amel dan Kiki memahami perasaan Andit. Mereka tidak lagi mengatakan apa pun. Amel mengusap punggung sahabatnya, dan Kiki menggenggam jemari Andit untuk memberikan dukungan.

Diam-diam Satria mendengar semua percakapan mereka. Lelaki itu berada tak jauh dari ketiga sahabat itu saat Andit menceritakan semua yang terjadi pada Amel dan Kiki. Satria menarik napas panjang. Satu sisi hatinya memahami perasaan Anandita saat ini, tapi sisi yang lain, tidak membenarkan tindakan Andit.

Dua jam kemudian, bel tanda pulang berbunyi. Para siswa SMA Aksara berhamburan keluar dari kelas mereka masing-masing. Lorong-lorong kelas menjadi ramai. Sekelompok siswa terlihat saling mendorong, kemudian mereka saling mengunci bak aksi WWF di televisi. Kemudian mereka tertawa. Candaan khas anak laki-laki terkadang sulit dipahami.

Andit menepi ke dinding menghindari aksi kejar-kejaran beberapa siswa. Entah apa masalahnya, sekali lagi atas nama bercanda. Gadis itu memilih naik angkutan umum saat Amel menawarkan tumpangan. Rumah Amel memang tidak searah dengan Andit. Sedangkan Kiki hari ini dijemput ayahnya saat pulang sekolah.

Andit terkejut saat dirinya hampir sampai di halte sekolah. Sebuah motor berhenti di depannya. Ah, itu Satria.

"Naik, aku antar pulang." Satria menyodorkan sebuah helm pada Andit.

"Aku naik angkot aja," tolak Andit.

"Kamu selalu nolak aku antar jemput. Ayolah, biar aku antar."

"Takut ngerepotin."

"Kamu emang bikin repot aku terus. Tapi aku suka." Satria menggigit bibir bawahnya, menyembunyikan senyum saat melihat wajah Andit memerah karena malu. "Ayo, naik!"

Andit menerima helm dari tangan Satria. Ragu-ragu gadis itu naik ke boncengan sepeda motor Satria.

"Sudah?" tanya Satria setelah Andit duduk.

"Ya," jawab Andit pelan.

Motor melaju di jalanan kota Semarang yang ramai. Warung-warung kecil berdiri di sepanjang jalan, menawarkan berbagai macam makanan yang mengundang selera. Apalagi di jam makan siang seperti sekarang. Satria membelokkan motornya ke salah satu warung di sana, kemudian memarkir motornya di depan warung.

"Loh, kok kita ke sini, Kak?"

"Aku laper. Kita makan dulu, ya."

Andit tidak menjawab Satria. Percuma saja, laki-laki itu tidak membutuhkan jawabannya. Andit mengikuti langkah Satria memasuki warung makan itu. Lagi pula, siapa yang bisa menolak aroma masakan yang gurih dan hangat di saat perutnya sendiri sedang bernyanyi minta diisi.

Tak lama kedua remaja itu terlihat sedang menikmati semangkuk bakso dan es teh manis di salah satu bangku warung bakso itu.

"Kakak mau ngomong apa?" tanya Andit setelah beberapa kali pandangannya beradu dengan Satria, tapi laki-laki itu seolah mengalihkan tatapannya pada hal yang lain.

"Nggak ada. Kenapa?"

"Ya, aku ngerasa kaya ada yang mau diomongin, gitu. Nggak mungkin kalau cuma lapar kita ke sini."

"Aku beneran lapar."

"Emang kalau di rumah, Ibu Kakak nggak masak? Uhm ... maksudku, aku di rumah biasanya dimasakin sama Ibuk."

"Aku udah nggak punya orang tua. Mereka meninggal karena kecelakaan waktu aku masih kecil."

Hampir saja Andit menjatuhkan sendoknya saat mendengar jawaban Satria. Gadis itu merasa malu. Pacar macam apa dia saat tak satu pun yang Andit ketahui tentang Satria. Bahkan selama ini selalu Andit yang menyusahkan Satria. Lelaki itu tahu semua yang terjadi pada Andit. Bahkan hal yang terburuk sekalipun --masa lalunya.

"Maafin aku, Kak. Aku nggak tahu."

"Nggak apa-apa. Udah lama banget, kok." Satria meneguk es teh manisnya, lalu kembali menatap Andit.

"Kenapa Kakak nggak cerita?"

"Karena kamu nggak pernah nanya." Ah, lelaki itu, masih saja melempar senyum. Andit semakin merasa bersalah pada dirinya.

"Terus sekarang Kakak tinggal sama siapa?"

"Tanteku. Adiknya Mama. Sejak Mama dan Papaku meninggal, aku dirawat sama Tante."

"Aku minta maaf." Andit menunduk memandangi kedua sepatunya. Ah, ia benar-benar malu karena baru sekarang mengetahui hal ini.

"Udah dong, dari tadi kamu minta maaf terus. Lebaran masih lama," canda Satria. Bagaimana mungkin lelaki ini masih bisa bercanda padahal ternyata ia juga memiliki hal buruk yang ia bawa hingga sekarang.

"Andit, kamu beruntung masih punya Ibu dan Ayah. Paling tidak, kamu masih bisa melihat beliau, bagaimana pun keadaannya. Sedangkan aku, aku nggak ingat lagi hari-hariku saat Mama dan Papa masih ada. Aku nggak ingat lagi sentuhan mereka, kasih sayang mereka."

Andit memberanikan diri menatap wajah lelaki di hadapannya. "Tapi Kak, Papa Kakak nggak meninggalkan Kakak dengan sengaja. Mereka pergi karena takdir Tuhan. Berbeda sekali sama aku. Orang itu dengan sengaja membuang kami. Dia dengan sengaja meninggalkan kami. Bahkan dia membiarkan kami hidup kesusahan. Apa pernah dia berpikir gimana sulitnya hidup kami saat dia pergi? Aku tetap nggak bisa terima itu, Kak."

"Aku mengerti Andit. Pasti sakit sekali. Dan aku tahu kamu sudah menjalani hidup yang berat selama ini. Tapi, jika suatu hari kamu berada di posisi aku, apa kamu siap menerimanya?"

Andit terkesiap mendengar jawaban Satria. Benar. Suatu hari jika saat itu tiba, apa yang akan Andit lakukan? Bagaimana jika Burhan pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya? Andit menggeleng, "Aku nggak tahu, Kak."

"Hidup tanpa orang tua itu berat, Ndit. Bagaimana pun, mereka orang tua kita. Seburuk apa pun, tidak akan ada orang lain yang bisa menggantikan mereka."

Andit menarik napas panjang. Satria benar. Namun sulit sekali mengakui kebenaran itu.

"Aku bahkan iri sama kamu, Ndit. Aku nggak ingat bagaimana rasa masakan Mamaku. Aku juga nggak ingat bagaimana hari terakhir perpisahanku dengan Papa dan Mama. Entah bagaimana suaranya, aku ... aku rindu mereka."

Andit menggenggam tangan Satria. Kedua matanya berkaca-kaca mendengar kisah hidup Satria. Tentu sangat berat bagi seorang anak saat kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Andit memang jauh lebih beruntung. Andit dibesarkan dengan kasih sayang oleh ibunya sendiri. Dan lelaki yang ia panggil sebagai Ayah, masih bisa ia lihat dan temui bagaimana pun keadaannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top