Part 24
Barisan agnolema dan bougenville aneka warna terangguk-angguk karena embusan angin. Rimbun mawar di sudut kanan taman, menambah asri suasana pekarangan sebuah rumah bertipe minimalis itu. Semburat cahaya matahari dan mega yang berarak pelan, tak membuat lelaki tambun di salah satu bangku taman itu terperdaya untuk menikmati indahnya suasana sore ini. Secangkir kopi yang tinggal setengahnya terletak di meja. Tampaknya semua yang tersedia di hadapannya tak satu pun menarik perhatiannya.
Burhan menarik napas panjang. Punggungnya bersandar pada bantalan kursi. Tatapannya menerawang, mengingat pertemuan tempo hari di rumah sakit dengan Andit dan Galuh. Anindita, gadis itu sangat emosional terakhir bertemu dengannya. Burhan memaklumi kemarahan Andit. Namun dia benar-benar sudah berusaha meyakinkan Andit akan situasi yang juga terjadi padanya.
Sekali lagi ia mengembuskan napas panjang. Anandita, persis sekali dengan dirinya. Bagaimana dia tidak menyangka bahwa suatu hari ia akan menerima akibat dari ketidakmampuan menjaga dua orang yang ia cintai? Kepalanya terasa berat. Burhan memijit pelipisnya, meninggalkan bekas kemerahan di sana. Terngiang kembali ucapan Anindita yang seolah memborbardir pertahanan dan egonya selama ini. Ah, ayah macam apa dirinya.
Disesapnya kopi yang masih tersisa. Minuman pahit itu sudah lama menjadi kesukaannya. Dulu Galuhlah yang selalu membuatkan secangkir kopi setiap pagi untuknya. Rasanya selalu sempurna. Tidak pernah terlalu pahit, atau terlampau manis. Kepekatannya selalu sama. Dan menurut Burhan, itulah racikan kopi terbaik yang pernah ia cecap.
Itu sudah lama sekali sejak ia tidak pernah lagi merasakan kopi buatan Galuh. Ah, wanita itu, selalu saja menawan kalbunya. Bahkan saat usia telah merampas kecantikan kulitnya, Galuh tetap menawan di mata Burhan. Raut wajahnya yang lembut tak pernah sekali pun bisa dilupakan. Tutur katanya semanis madu. Berbeda sekali dengan Sari yang sering membuat Burhan pusing. Hanya keluhan demi keluhan saja yang setiap hari ia dengar dari mulut Sari.
Kalau saja peristiwa lima belas tahun yang lalu tak membuat Burhan kalap mata dan dikuasai api cemburu, tentulah kini ia sedang bersenda gurau dengan wanita pujaannya itu, menikmati masa tua yang damai dan bahagia. Andit pun tak akan kehilangan rasa hormatnya pada Burhan, ayahnya sendiri.
Pikiran Burhan makin rumit saat mendapati kesabaran Galuh menasehati Anindita untuk selalu menghormati dirinya. Wanita itu tidak pernah menanamkan bibit kebencian pada anak mereka. Burhan tidak yakin, itu juga akan dilakukan Sari jika mengalami hal yang sama dengan Galuh. Galuh benar-benar tangguh, telah berjuang sendirian membesarkan Anindita.
Dulu, Burhan pernah bertatap muka dengan Galuh. Siang itu, ia terpaksa menjemput Eki karena Sari sedang ada urusan mendadak. Galuh masih mempesona. Tidak tampak kekurangan pada air mukanya. Karena itu Burhan berpikir, tentu Galuh telah bersama dengan tambatan hatinya, Abimanyu.
Mengingat kenangan-kenangan yang kini semakin jelas di kepalanya, membuat Burhan semakin terpukul. Sebab kenyataannya, semua tidak sama dengan yang ia pikirkan. Galuh masih bertahan untuk keutuhan rumah tangga mereka. Meski pun perjuangannya hanya seorang diri, wanita itu tetap saja berdiri kokoh.
Burhan merasa malu atas apa yang telah ia lakukan selama ini. Bertahun-tahun ia bersikukuh dengan ego tanpa mencari tahu dulu, atau memberikan kesempatan bagi Galuh untuk menjelaskan semuanya. Namun sekarang, ialah yang berharap atas kesempatan itu.
Sari mengambil tempat duduk di samping Burhan. "Ada apa, Mas?"
"Pantaskah aku mendapat kesempatan kedua?" Burhan bicara dengan mata terpejam sambil memijit pangkal hidungnya.
"Maksud Mas? Kesempatan kedua untuk apa? Masih memikirkan wanita itu?"
Burhan membuka matanya. Lelaki itu tampak serba salah. Ia memperbaiki duduknya dan mendehem untuk membuat dirinya terlihat baik-baik saja.
"Bukan apa-apa. Kita sudah membicarakan ini semalaman Sari. Sudahlah." Burhan mengalihkan tatapannya pada tumpukan koran di bawah meja. "Apa tidak ada cemilan sore ini?" Burhan meraih sebuah koran.
Lelaki itu membolak-balik halaman demi halaman. Sepertinya judul-judul dengan tulisan besar dan tebal di sana belum ada yang menarik minatnya.
"Pisang goreng? Mas mau?"
"Boleh. Itu cocok dengan kopiku."
"Baiklah, sebentar aku buatkan." Sari kembali masuk ke dalam rumah.
Burhan mengangguk tanpa melepaskan koran di tangannya. Yang sebenarnya, ia tengah menatap punggung Sari dengan sudut mata. Syukurlah, wanita itu sama sekali tak curiga. Atau memang mereka sudah sama-sama lelah setelah berdebat semalaman.
Burhan jengah jika harus menjelaskan bahwa sebenarnya ia memang sedang memikirkan sesuatu. Jika Sari mengetahui sesuatu, ia tidak akan pernah berhenti mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat emosinya tersulut. Burhan lelah menghadapi hal itu.
Eki baru saja sampai entah dari mana dan memarkir motornya di halaman. Anak itu kini lebih sering keluyuran jika libur sekolah. Semakin besar, ia semakin banyak menghabiskan waktunya di luar. Rumah bagi Eki bukan lagi tempat ternyaman. Bahkan ia suka menginap di rumah teman-temannya.
Lelaki tanggung itu mencium punggung tangan Burhan. Kemudian mengempaskan tubuhnya di kursi sebelah Burhan. Siswa kelas sembilan SMP itu semakin hari semakin terlihat gagah. Kini ia menggunakan jeans, sweater hoodie, dan sepatu sport yang keren. Burhan memang memanjakan putra semata wayangnya itu dengan pakaian-pakaian mahal khas anak muda.
"Dari mana kamu?" Burhan bicara tanpa melepaskan koran dari tatapannya.
"Main, Yah."
Burhan melipat koran dan memegangnya dengan sebelah tangan. Kini pandangannya tertuju pada lelaki tanggung di sampingnya. Sebentar ia menarik napas panjang. "Ki, kamu itu udah kelas tiga loh. Sebentar lagi ujian kelulusan. Kalau setiap hari kamu habiskan dengan main, main, dan main lagi, kapan belajarnya? Mau jadi apa kalau sekolah saja nggak serius?"
"Aku serius kok, Yah. Aku pasti lulus nanti."
"Sekedar lulus yo nggo opo? Kalau nilaimu nggak memuaskan, mau masuk SMA pun susah. Mana ada hari gini nilai asal-asalan bisa lulus SMA favorit?"
"Iya, yah." Eki paham benar, melawan kehendak Ayahnya sama saja dengan kiamat. Burhan orang yang keras. Lagipula, Eki juga mengetahui bahwa sebenarnya Burhan sangat menyayangi dirinya. Lelaki paruh baya itu hanya ingin yang terbaik buat masa depannya. "Ibu mana, Yah?"
"Ada di dalam. Lagi bikin camilan. Kamu sudah makan?"
"Belum, Yah."
"Ya sudah, sana masuk. Sudah sore begini belum makan. Apa kenyang muter-muter cari angin begitu saja tiap hari?"
Eki bangkit dari duduknya, kemudian meraih helm dan masuk ke rumah. Betul saja, aroma pisang goreng tercium begitu ia melewati pintu. Perutnya semakin meronta minta diisi.
Burhan kembali membuka koran di tangannya. Sebuah wacana di sana menjadi perhatiannya. Dari judulnya menyiratkan berita ekonomi dan politik terbaru negeri ini. Namun sesungguhnya ada sesuatu yang lain yang masih berkecamuk di pikiran Burhan. Sesuatu yang menjadi dilema di hatinya kini. Sebuah keputusan yang membuatnya harus membayar mahal atas apa yang pernah terjadi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top