Part 23


"Andit! Harus berapa kali Ayah bilang?" Burhan menggeser tubuhnya untuk menghadap Andit. "Semua itu bukan kemauan Ayah."

"Kalau memang bukan kemauan Ayah, kenapa selama sikap Ayah selama ini seolah membenci kami?" Andit membalas tatapan ayahnya dengan sorot mata tajam. "Egois!"

"Ayah melakukannya karena terpaksa. Orangtua Ayah sama sekali tidak meyukai Ibumu. Kalau Ayah tetap menemui kalian, mereka mengancam akan menyakiti kalian."

"Tapi kenapa Ayah tak menceraikan Ibu?" Andit yang melipat kedua tangannya di dada tak bergeming.


"Itu semua..." Burhan ragu. "Karena Ayah masih mencintai Ibumu," lanjutnya.

Benar dugaan Andit, setelah melihat Burhan menyuapi ibunya. Sebagai anak, ada perasaan yang meletup-letup di dalam hatinya. Berlawanan dengan sikap di depan ayahnya, karena Andit tak mau ibunya kecewa lagi. Sementara Galuh masih mengunci mulutnya menatap Burhan dengan mata sendu. Buliran bening kembali meluncur diantara kedua pipinya yang pucat.

"Bohong!" bantah Andit. "Kalau Ayah mencintai Ibu, kenapa Ayah tidak peduli sama Ibu?"

"Orangtua Ayah bisa melakukan apa saja pada kalian kalau sampai mereka tahu Ayah masih menemui Ibumu." Burhan menatap Andit dan Galuh bergantian. "Ayah tak mau sesuatu terjadi pada kalian. Apalagi dengan adanya Sari..."

Telinga Andit terasa panas saat mendengar Burhan menyebut nama ibu tirinya. Dadanya hampir meledak, teringat semua ucapan tentang ibunya. Andit masih tidak mengerti, Eki yang baik hati bisa lahir dari perempuan yang jahat seperti Sari. Perbedaan sifat mereka seperti langit dan bumi.

"Kenapa dengan wanita itu?" tanya Andit ketus.

"Sari tidak suka Ayah, berhubungan lagi dengan kalian." Burhan tampak ragu dengan jawabannya.

"Kalau memang seperti itu, kenapa wanita itu membiarkan Ayah masih bekerja satu perusahaan dengan Ibu?" tanya Andit penuh selidik. Dia tak mau ayahnya menjawab setengah-setengah.

Suara Andit memang sudah tak selantang tadi, namun dia menekan suaranya, tak memberi kesempatan pada Burhan untuk mengelak. Andit tak mau ibunya tersiksa lagi dengan sikap Burhan. Waktu rasanya berhenti meski matahari semakin meninggi. Jam bezuk pagi sudah mulai dibuka, orang mulai lalu lalang di koridor.

"Sari memang berniat membuat Ibumu sakit hati. Dia punya mata-mata di kantor. Dia juga tahu apa saja yang dikerjakan Ayah, termasuk jika Ayah menemui Ibumu." Burhan menatap sekilas Galuh yang masih terisak. Buliran bening semakin deras meluncur di kedua pipinya.

Sementara Andit semakin geram. Kedua tangannya mengepal membuat telapak tangannya putih pucat. Ada yang menghimpit dada, hingga membuatnya terasa sesak. Baju yang menempel ditubuhnya terasa lengket menyatu dengan keringat.

"Awal pernikahan Ayah dengan Sari bukan berlandaskan cinta, seperti pernikahan Ayah dengan ibumu. Makanya Ayah tidak mau menceraikan Ibumu." Burhan berhenti sejenak saat Galuh semakin sulit mengendalikan isakannya.

"Tapi apakah kamu sadar, caramu itu sudah menyakiti Ibu?"

"Iya, Ayah menyesal melihat keadaan Ibumu sekarang." Burhan menatap Galuh memohon, "Ayah masih berharap bisa bersatu dengan Ibumu."

Kepala Andit semakin berdenyut mendengar pengakuan ayahnya. Burhan menggenggam tangan Galuh saat wanita itu semakin terisak. Andit juga tak akan tega melukai hati ibunya begitu saja. Hatinya ikut sakit jika ibunya sedih.

"Oh, jadi Ayah ingin kembali pada wanita itu?" Suara Sari memenuhi ruangan, membuat orang yang ada didalamnya menatap serempak ke arah pintu. "Bagus sekali sandiwaramu Mas."

Andit terkejut menemukan ibu tirinya sudah berdiri diambang pintu. Sontak berdiri dari duduknya, wajah Andit menjadi semakin tegang. Sorot mata penuh kebencian terlihat jelas di mata Sari. Galuh menghentikan isakan, tangannya sibuk membersihkan wajahnya.

Sementara Burhan tidak mengucapkan satu kata pun, membuat genggaman tangannya semakin erat saat Sari mulai menarik tangannya. Pandangannya lurus mengikuti langkah Sari yang mulai memasuki ruangan. Sekilas gerakan mata Sari tertuju pada genggaman tangan suaminya pada Galuh, membuatnya semakin meradang. Merah menyelimuti wajah Sari, diikuti tatapan sinis saat pandangannya beredar ke arah Galuh dan Andit.

"Ternyata ini yang membuatmu tidak pulang semalam, Mas?" Sari melipat tangannya di dada, memutar pandangan ke seluruh ruangan. "Kamu sudah lupa dengan keluargamu sendiri?"

Sari tampak anggun dengan baju terusan selutut motif bunga-bunga merah. Riasan tipis cenderung merah muda membuatnya terlihat cantik. Kepiawaiannya dalam merias diri membuatnya tampak lebih muda dari usia yang sebenarnya. Wangi tubuhnya memberikan kesan bahwa dia wanita yang berkelas.

Berbeda dengan Sari, Galuh terlihat jauh lebih sederhana. Baju yang dikenakannya bisa dengan mudah ditemukan di pusat perbelanjaan dengan harga menengah ke bawah. Tak ada riasan dan wangi parfum dari tubuhnya. Bahkan kondisinya yang sedang sakit membuatnya tampak lebih pucat.

"Saya hanya ingin meminta maaf, Sari."

"Maksudmu dengan kembali padanya Mas?" Sari mengatupkan bibir, gerahamnya menyatu membuat rahangnya tampak keras. "Jahat kamu, Mas!"

"Terimalah kenyataan Sari," suara Burhan ikut meninggi. "Galuh lebih dulu datang dalam kehidupan aku dibanding dirimu."

"Tapi bukan seperti ini caramu, Mas." Telunjuk Sari mengarah pada genggaman tangan Burhan dan Galuh. "Kamu keterlaluan, Mas."

"Kamu pikir sikapmu selama ini tidak keterlaluan?" potong Andit. "Setelah apa yang sudah kamu lakukan pada Ibuku, kamu masih bersikap seolah sebagai korban."

Sari mengalihkan pandangan pada Andit yang berdiri satu meter darinya. Sorot matanya masih sama seperti saat Andit mengunjungi rumahnya, tajam dan penuh kebencian. Sari menatap Andit dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan, membuat sembilu menusuk dada Andit semakin dalam. Kejahatan ibu tiri yang selama ini hanya dia lihat di tv, ternyata benar-benar ada.

"Kamu anak kecil, tidak perlu ikut campur urusan orang dewasa." Sari menatap sekilas ke arah Galuh sebelum melanjutkan, "Apalagi berlagak sok pahlawan dengan membela Ibumu yang ingin merebut suami orang." Telunjuk Sari kembali mengarah pada Galuh.

Sari menggeser tubuh, membuat posisinya berhadapan dengan Andit. Langkah maju Sari memotong jaraknya dengan Andit. Gadis itu tetap bergeming, berbeda saat mendatangi rumah Sari, kini Andit berbalik menatapnya dengan tajam. Detak jantung semakin kencang, membuat dadanya terasa ingin meledak.

"Ibuku bukan orang seperti itu," sergah Andit. "Kamu yang merampas Pak Burhan dari Ibuku." Kini giliran telunjuk Andit tepat berada di depan mata Sari.

"Apa kamu tidak bisa melihat? Ibumu yang murahan itu berpegangan tangan dengan suamiku."

Sebuah pukulan mendarat di pipi kiri Sari yang halus. Bekas tangan Andit menyisakan warna merah. Telapak kanan Andit terasa panas, diiringi tangisan ibunya yang semakin menjadi. Hati Andit semakin terbakar.

"Pergi dari sini!" Usir Andit.


"Kamu juga," telunjuk Andit mengarah pada Pak Burhan. "Aku tak mau melihat wajahmu lagi!" Burhan masih terdiam di tempatnya. "Lepaskan Ibuku!"

Setelah bentakan kedua, Burhan menyusul Sari. Andit tak mengindahkan tatapan Burhan yang berat meninggalkan Galuh yang semakin keras terisak. Setelah keduanya pergi, Andit segera menghambur ke pelukan ibumya. Ketakutan kembali membayangi pikirannya.

***

Terimakasih ya kak, sudah menemani Andit sampai sejauh ini.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya...

Happy reading.😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top