Part 21
Burhan meremas-remas telapak tangannya yang basah. Denyut dikepalanya semakin terasa kuat. Tangan kirinya mengambil sapu tangan dari saku celana untuk mengusap keringat ditangannya belum juga hilang. Setiap ucapan Andit menancap dan berhasil memporak porandakan isi hatinya.
Waktu melempar Burhan ke masa lalu, malam itu Galuh memohonnya untuk tidak pergi dari rumah. Andit yang menatapnya penuh ketakutan dari balik pintu tak dihiraukan sama sekali. Seharusnya dia tak melakukan itu pada anaknya yang tak bedosa. Hatinya yang terbakar tak hanya melukai istrinya tapi juga menciptakan lubang hitam yang dalam pada anaknya.
Galuh duduk menyandarkan kepala dibantal yang ditegakkan menempel bagian atas tempat tidur. Tangan kirinya masih bergerak mengusap punggung Andit. Meski tak berhasil meredakan amarah Andit, setidaknya Galuh berhasil membuatnya lebih tenang. Burhan tak kuat membalas tatapan Galuh yang penuh iba.
Burhan ingin sekali bisa menghentikan waktu, namun jarum jam pendek di dinding terus bergerak mendekati angka enam. Tatapan Galuh yang sendu selalu berhasil membuat hatinya tak berdaya. Sorot mata perempuan itu menyiratkan cinta begitu besar pada anaknya. Burhan tahu, maaf sulit sekali untuk didapatkan. Kesalahannya sudah melebihi batas. Bahkan sampai saat ini Galuh sama sekali tak pernah mengucapkan kata yang menyakiti hatinya.
Sikap Galuh masih lembut seperti waktu mereka masih hidup bersama. Wanita itu selalu menyunggingkan senyum setiap kali bertemu dengannya, meski Burhan mengacuhkannya. Namun menatap Galuh terlalu lama hanya akan membuat penyesalannya semakin dalam. Bahkan saat ini, terlalu lama berhadapan dengan Galuh membuat hatinya semakin tersiksa.
"Aku mohon tolong maafkan Andit, Mas." Pinta Galuh pada suaminya.
"Aku pasti memaafkannya," Burhan menatap Andit sejenak sebelum melanjutkan, "Meski aku tahu, kesalahankku mungkin tak bisa dimaafkan."
"Apapun alasan yang kamu berikan, sama sekali tak bisa diterima dengan akal sehatku." Tukas Andit memotong pembicaraan orangtuanya.
Burhan yang terkejut kembali menggeser tatapannya ke arah Andit dengan sorot tajam. Dia sama sekali tak menyangka, anaknya bisa mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya. Sejenak Burhan terdiam, mencari kosakata yang tepat untuk berbicara dengan anaknya. Dia tahu sebenarnya hati Andit rapuh.
"Kalau begitu, alasan seperti apa yang kamu inginkan dariku?" Burhan menatap Andit dan Galuh bergantian, "Alasan jujur saja masih tidak bisa kamu percaya."
"Kalau saja saya bisa memilih takdir, saya juga tidak mau berada di posisi seperti ini. Aku lebih memilih hidup berdua sama Ibumu." Air mata kembali deras meluncur di pipi Galuh saat mendengar ucapan suaminya.
"Tapi kenyataannya, kamu lebih memilih meninggalkan Ibu. Kenapa?" ucapan Andit semakin membuat hati Burhan getir.
Andit tampak berbeda, Burhan tak mendapatkan lagi sorot mata lugu yang dulu ditemukan dimata anaknya. Lelaki itu kehabisan kosakata saat Andit menuntut tanggungjawabnya. Berdiri diantara dua mata pisau membuat Burhan terluka, apapun keputusan yang akan dibuatnya. Mustahil sekali kalau Burhan ingin mendapatkannya dalam waktu yang bersamaan.
Jarak antara dirinya dan Galuh masih tampak jelas bahkan ketika kedua orangtuanya sudah meninggal. Keberadaan Sari membuat jarak antara dirinya dan Galuh tetap jauh. Kenyataan semakin menyayat hati Burhan, keberadaan Galuh tetap tak mendapatkan tempat sampai kedua orangtuanya meninggal. Kini keinginannya untuk bisa memeluk Andit harus ditepisnya sejauh mungkin.
Burhan menelan ludah sebelum melanjutkan ucapannya, "Asal kamu tahu, menikah dengan orang yang menjadi pilihan orangtua bukan keinginan saya sampai hari ini. Saat itu nenekmu sudah menyiapkan jodoh, sejak saya dan ibumu belum menikah."
"Tidak usah membuat drama," tatapan Andit cukup membuat Burhan sakit hati. "Saya tidak butuh bualanmu."
Lelaki itu tak menghiraukan ucapan anaknya, "Saat itu saya berharap dengan menikahi Ibumu bisa membuat orangtua saya mengubah pikirannya. Apalagi sejak kelahiranmu," Burhan mengusap wajahnya.
"Besar harapan saya untuk membuat Ibumu bisa diterima keluarga saya, namun ternyata saya salah..." Burhan menggantungkan ucapannya. "Ibumu tak bisa menjadi mengambil hati orangtua saya."
Setiap ucapan pedas orangtuanya kembali terngiang di telinga Burhan. Hatinya kembali teriris. Kedua orangtuanya memang sudah meninggal, tapi kenangan yang mereka ukir untuk pernikahannya sangatlah jelas terukir dalam ingatan. Berbeda sekali dengan sikap mereka pada Sari, Galuh seperti tak pernah dianggapnya ada.
Kepingan masa lalu yang pedih kembali berkelebat dalam ingatan Burhan. Dia hampir gila saat harus menjalani hari tanpa kehadiran Andit dan Galuh. Bunuh diri sempat akan dijadikan sebagai jalan keluar terakhirnya. Namun sebagai anak semata wayang, Burhan ingin bisa melihat orangtuanya bahagia.
Tatapan Burhan tertambat pada Galuh yang hanya menunduk. Sulit rasanya menebak isi hati wanita ingin dijadikannya sebagai teman untuk menghabiskan hari tua. Bahkan sampai saat ini, masih terbersit di sudut hatinya untuk diberi kesempatan hidup bersama Galuh. Secepatnya Burhan menepis harapan kecil yang ada didalam pikirannya.
"Ketahuilah, kehidupan rumah tangga tak semudah yang kamu bayangkan." Burhan mengalihkan pandangan pada Galuh yang berada dibelakang Andit. "Jika kamu ingin membahagiakan Ibumu, sebagai anak saya pun ingin melakukan hal yang sama. Karena memang seperti itulah kewajiban seorang anak."
Burhan menunggu reaksi Andit yang masih terkunci mulutnya. Tak berhenti berharap bisa membuka jalan pikiran Andit. Kalau boleh jujur, dalam hatinya bangga memiliki anak yang tidak hanya cerdas tapi juga berbakti pada ibunya. Perasaannya menjadi sedikit lebih tenang, setidaknya Andit cukup kuat untuk menjaga ibunya.
"Mungkin kamu tak pernah mengenal seperti apa nenek dan kakekmu. Tapi sejahat-jahatnya mereka, saya yakin mereka juga tak ingin membuat anaknya sengsara."
Burhan mengusap keningnya yang basah. Hari belum juga terik tapi baju Burhan mulai dibasahi keringat. Gemuruh didadanya sulit untuk dikendalikan, berlawanan dengan sikap yang ditunjukkan di depan Andit. Dadanya terasa semakin sesak, impitan kesedihan dan kerinduan yang sudah ditahannya belasan tahun membuatnya jadi sulit untuk bernapas.
"Apakah kamu pernah berpikir? Jika saya tetap bersama Ibumu, apakah Ibumu juga kan kuat menghadapi kakek dan nenekmu?"
"Kenapa tidak? Toh selama ini Ibu bisa bertahan sendiri menghadapi kesulitannya. Ibu orang yang kuat." Andit menatap ayahnya dengan tatapan tajam.
"Tak beda jauh dengan Ibumu, orangtua saya juga akan melakukan apa saja demi anaknya. Termasuk keberatannya saat melihat Ibumu yang sedang bersama lelaki lain yang bukan anaknya."
Andit menoleh ke belakang, menatap ibunya yang masih menunduk. Burhan tak bisa menerka isi hati Galuh. Kata-kata yang dikeluarkan dari mulut berlawanan dengan isi hatinya. Tak sepantasnya Andit mengetahui hal buruk tentang ibunya. Apalagi setelah belasan tahun, sama sekali tak mendapatkan bukti dari setiap tuduhannya. Namun terlalu menyakitkan, menjadi orang yang selalu disalahkan.
"Bahkan kelahiranmu, tak sedikit pun bisa membuka hati nenek dan kakekmu." Suara Burhan terdengar getir. Buliran hangat kembali membasahi pipinya.
***
Waktu nulis bab-bab ini memang bikin saya baper, bahkan nulis sambil mewek.😭
Happy reading ya kak...jangan lupa tinggalkan jejak di comment ya😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top