Part 17

Langkah Burhan penuh semangat menuju ke ruang rawat Galuh. Dia ingin melihat Galuh sekali lagi sebelum meninggalkan rumah sakit. Adzan subuh terdengar saat langkahnya sudah hampir melewati pintu. Kesempatan ini mungkin tak akan datang untuk yang kedua kalinya.

Burhan tidak berani berharap banyak setelah apa yang sudah dilakukan pada istri pertamanya. Dia yakin, Galuh pasti juga membencinya. Kesalahannya pada Galuh terlalu banyak. Burhan sudah memupus harapannya sendiri, bisa melihat Galuh dari dekat sudah cukup baginya.

Hati Burhan kembali berbunga-bunga, pertemuannya dengan Galuh memang sudah lama dinantikan. Dia tahu, mungkin tidak akan ada kata maaf. Kesalahan pada Galuh dan anaknya terlalu besar. Lelaki paruh baya itu berharap ada sedikit kebaikannya yang bisa membantu Galuh.

Adzan berhenti, Burhan mendengar dua orang yang sedang mengobrol dari dalam ruangan. Suara yang tidak asing ditelinganya. Suara yang selama ini dirindukannya. Suara terakhir yang dulu selalu didengarnya sebelum menutup mata setiap malam.

"Bu, Ibu...bangun Bu," wajah Andit tampak cemas mendengar ibunya yang terus mengigau memanggil nama Pak Burhan.

Tangan kanan Burhan membuka sedikit tirai hijau, agar matanya leluasa melihat keadaan di dalam tirai. Andit pasti mengira dirinya sudah pulang. Burhan belum bertemu dengannya sejak pendonoran selesai tadi malam. Setidaknya dia juga ingin berpamitan dengan Andit.

"Oh, ternyata hanya mimpi lagi." Mata Galuh melihat sekelilingnya. Sementara Burhan masih terpaku ditempatnya, sesekali mengintip ke dalam tirai.

"Ibu bermimpi apa?" Andit mengusap keringat dingin di kening ibunya dengan tisu. Galuh mengatur napasnya yang tersengal.

"Tadi Ibu bermimpi, Ayahmu datang Nduk." Galuh masih terengah mengatur napasnya.

Burhan sama sekali tidak menyangka Galuh masih memikirkannya. Bekerja di satu perusahaan yang sama membuat Burhan tidak sulit untuk mendapatkan kabar tentang Galuh. Tuduhannya dengan Abimanyu pun tidak terbukti. Burhan tidak sengaja melihat Galuh terang-terangan mengusir Abimanyu saat coba menemuinya di pabrik.

Saat itulah perang batinnya dimulai, mengingat pernikahannya dengan Sari baru berusia tiga bulan. Dia tidak mungkin mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Tak ada satu alasan pun yang bisa dia gunakan untuk meninggalkan Sari kecuali pernikahan yang tanpa dilandasi cinta. Sebuah pernikahan sempurna, seperti yang diinginkan orangtuanya. Namun pernikahan itu yang menyiksa batin sepanjang sisa hidupnya.

"Ibu tidak bermimpi, tadi malam Pak Burhan memang datang ke sini." Andit tersenyum melihat mata Galuh membulat. "Pak Burhan yang sudah mendonorkan darahnya buat Ibu."

Sembilu menusuk hati Burhan begitu dalam. Akulah yang salah, aku pantas mendapatkannya. Batin Burhan terus berkecamuk. Dia tidak bisa melakukan apapun saat mendengarkan ucapan Andit.

Penyesalan selalu datang terlambat, Andit terlalu kecil untuk menghadapi perpisahan orangtuanya. Luka yang ditorehkannya terlalu dalam hingga tak mampu menatap mata polos anaknya. Gadis itu mengusap punggung tangan Galuh dengan lembut, selembut nada suaranya saat berbicara dengan ibunya.

Burhan bisa melihat dengan jelas, binar mata wanita yang dicintainya. Senyum terukir di bibir, membuat Burhan mengikuti gerakan perempuan yang terbaring lemah di balik tirai. Lama sekali Burhan menantikannya, selama ini tak sekali pun dia melihat Galuh tersenyum. Bunga-bunga kembali mekar memenuhi dada Burhan.

"Kok bisa, Nduk?"

"Semalam suster bilang persediaan darah golongan O di rumah sakit habis. Kemungkinan untuk mendapatkan donor yang sesuai dengan darah Ibu masih dua hari lagi." Andit menelan ludahnya. "Andit sudah tidak tahu lagi mau mencari bantuan ke mana, kondisi kesehatan Andit tidak memungkinkan untuk memberikan donor pada Ibu. Andit yang minta bantuan Pak Burhan."

"Ibu senang, kamu sudah baikan lagi sama Ayahmu." Galuh menarik kedua sudut bibirnya, menatap bangga pada anak semata wayangnya.

Burhan tak mendengar kebencian sedikit pun saat Galuh menyebut dirinya sebagai ayah Andit. Kemungkinan untuk kembali hidup bersama Galuh memang sudah tidak ada. Tapi Burhan masih berharap untuk bisa memperbaiki hubungan mereka demi Andit. Asa kembali menyusup dihati lelaki itu, namun seketika hatinya kembali ciut.

"Tidak Bu," kesedihan kembali menyelimuti wajah Andit. "Andit melakukannya agar Ibu lekas sembuh."

"Nduk, Ibu tidak mau kamu jadi anak durhaka." Galuh mengatur napasnya sebentar sebelum melanjutkan, "Rasanya Ibu gagal mendidik kamu, kalau sikap kamu masih seperti ini sama Ayahmu."

"Bukan aku yang mulai Bu, Pak Burhan yang melihatku seperti orang lain. Pak Burhan sepertinya memang membenciku, aku bisa melihatnya setiap kali bertemu di sekolah."

Burhan tidak menyangka, Andit mengucapkan hal itu pada ibunya. Sebagai Ayah, dia ingin bisa memeluk anak semata wayangnya namun penyesalan selalu membuat nyalinya kembali ciut. Kesedihan semakin menyelimuti hatinya setiap kali menatap mata Andit yang polos. Namun tubuhnya terasa kaku untuk sekedar mengulurkan tangan menyambut gadis kecilnya.

"Kamu masih ingatkan, waktu masih kecil sering diajak Ayah pergi?" Andit menunduk, buliran bening mengalir dari sudut matanya. "Tak ada orangtua yang benar-benar membenci anaknya."

"Tapi tak seharusnya juga orangtua bersikap seperti itu pada anaknya." Andit mulai terisak.

Perih kembali menyayat hari Burhan. Ketidakhadirannya dalam hidup Andit, tidak hanya membuat hidup anaknya tidak sempurna. Selama ini dia melihat Andit sebagai gadis yang tegar, namun ternyata dia salah. Harapannya melihat Galuh tersenyum kembali sirna, justru kesedihan yang sedang dilihatnya menyelimuti ruangan dalam tirai.

"Nduk," Galuh mencoba bangkit, agar bisa duduk di ranjang. "Semua tak seperti yang kamu lihat?"

"Lalu apa yang sebenarnya terjadi Bu?" Andit setengah berteriak. Tangan Galuh segera membungkam mulut anaknya.

"Percaya sama Ibu. Ayahmu tak seperti yang kamu tuduhkan." Galuh masih berusaha membuat anaknya sabar.

"Lalu apa alasannya? Andit berhak tahu, Bu." Andit bangkit dari duduknya.

Tangan Burhan menekan dadanya yang masih terasa nyeri. Dia tak menyangka selama ini Galuh masih membelanya di depan Andit. Burhan terkejut saat Andit menghempaskan tangan Galuh yang hendak memeluknya. Air semakin deras membasahi kedua pipinya.

"Nduk, kami berdua benar-benar menyayangimu." Pipi Galuh mulai basah, kristal bening meluncur turun dari sudut matanya."

"Kalau kalian menyayangiku, kenapa kalian berpisah?" Suara Andit sedikit meninggi meski sambil ditahan.

"Kami berpisah karena keadaan, Nduk." Galuh coba menenangkan Andit.

Koridor sudah mulai sibuk, perawat dan petugas kebersihan sudah lalu lalang di depan ruang rawat. Galuh hendak turun dari ranjang, namun badan yang masih lemah membuatnya terjatuh. Andit segera menangkap ibunya. Kedua ibu dan anak itu pun saling berpelukan.


Tangisan mewarnai keduanya. Burhan yang hanya melihat mereka dari balik pintu masih terpaku. Kakinya seolah melekat di lantai. Sulit sekali untuk digerakkan.

"Andit berhak tahu, Bu." Andit terbata-bata disela isakan tangisnya. "Andit sudah besar Bu, Andit juga ingin merasakan memiliki Ayah seperti teman yang lain."

Galuh tidak bisa menahan isakan, pelukannya semakin kuat. "Maafkan Ibu, Nduk. Maafkan Ibu... ."

***

Sudah mulai melow belum kak? Terimakasih ya sudah setia membersamai Andit.

Happy reading kak😘


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top