Part 16

Rambut berwarna putih mulai menyembul, membuat Burhan teringat kebiasaannya dulu yang selalu membelai rambut Galuh yang panjang dan legam. Garis halus mulai menghiasi wajah perempuan yang masih terlelap di depannya. Dulu tangan itu yang memberikan ketenangan, setiap kali Burhan merasakan gundah. Namun setelah meninggalkannya dan menikah lagi, Burhan tak mendapatkan hal yang sama dari Sari.

Burhan yang tak bisa menahan diri, kehilangan semua yang telah dipertahankannya dalam sekejap. Tuduhannya pada Galuh sama sekali tak beralasan. Dugaannya selama ini ternyata salah, Andit tak ada miripnya dengan laki-laki brengsek itu. Dia seperti melihat dirinya sendiri setiap kali menatap Andit, membuatnya semakin merasa tersiksa.

Nasi sudah menjadi bubur, penyesalan Burhan kini berubah menjadi penjara. Tak ada sedikit pun keberanian untuk meminta maaf pada Galuh. Bahkan untuk menatap matanya saja, Burhan tidak bisa. Lelaki paruh baya itu memilih lari, menyimpan penyesalan dan menikmatinya sendiri.

Kesedihan Burhan semakin lengkap, melihat Galuh yang sedang terkulai lemah. Seharusnya Burhan bisa melindungi Galuh dan anak semata wayangnya. Mimpinya memiliki keluarga bahagia bersama Galuh dan Andit seharusnya bisa terwujud. Namun ternyata justru dirinya sendiri yang telah menghancurkan semuanya.

Burhan memijat pangkal hidungnya, mengusap titik air yang mengambang di sudut mata. Tangan kanan Burhan mengusap perlahan kepala Andit. Anak yang ditinggalkannya lima belas tahun lalu kini tumbuh menjadi gadis cerdas. Terkadang keinginan untuk memeluk anak gadisnya, namun perasaan bersalah membuatnya lebih memilih lari seperti pengecut.

Meski sudah mendekati fajar, Burhan sama sekali tak memiliki keinginan untuk memejamkan mata. Satu-satunya yang ingin dihentikannya adalah waktu. Duduk sambil menemani Galuh untuk membayar lima belas tahun yang terlewat tanpa kehadirannya. Burhan kini merasa sendiri, tak ada yang memihaknya termasuk waktu. Detik demi detik meninggalkannya tanpa mampu dicegah.

Burhan menggaruk kepalanya yang semakin terasa pusing secara acak. Tubuhnya merapat ke dinding, menatap nanar dua perempuan di depannya yang masih terlelap. Sepertinya mereka telah melalui hari yang berat. Burhan menatap punggung Andit yang dibalut jaket lusuh. Tas sekolahnya juga bukan model terbaru seperti yang sering dilihatnya di toko saat menemani Eki membeli peralatan sekolah.

Seperti Galuh, sebagian rambut putih juga sudah menghiasi kepala Burhan. Matanya yang masih sembab kembali menatap istri yang telah ditinggalkannya. Perempuan yang masih secantik dulu, saat pertama kali membuatnya jatuh cinta. Detik ini pun jantung Burhan masih berdetak tak menentu saat berdekatan dengan Galuh.

Pipi tomat Galuh sulit sekali lenyap dari ingatannya, membuat Burhan diam-diam mengikuti aktivitas istri pertamanya. Galuh akan tertawa sampai keluar semua syaraf di pipinya saat merasakan bahagia. Dulu Burhan sering memberikan kejutan hanya untuk melihat pipi Galuh yang meranum. Kini kedua pipi Galuh tampak lebih tirus, menyiratkan kesedihan yang dalam.

Perpisahannya dengan Galuh lima belas tahun yang lalu sangat membekas di hatinya. Burhan berpikir, menerima perjodohannya adalah cara terbaik untuk membalas sakit hatinya pada Galuh yang sudah selingkuh. Namun ternyata dia salah, sampai saat ini Galuh tidak pernah menikah lagi. Tuduhannya tidak terbukti, Galuh tidak menerima Abimanyu sebagai suaminya.

Kehidupan rumah tangganya dengan Sari memang tampak sempurna. Rumah besar dengan segala falisitasnya memang sudah ada digenggaman. Burhan memang menjadi seperti yang diinginkan orangtuanya. Namun, hatinya kosong. Burhan layaknya sebuah mesin yang siap melaksanakan tugas tuannya.

Kedua pundak Burhan berguncang menahan isak yang sulit untuk ditahan. Dalam hati kecilnya, Burhan ingin sekali kembali pada Galuh dan membuka lembaran baru. Di satu sisi, dia tak akan bisa melepaskan Sari begitu saja yang sudah terikat pernikahan dengannya. Burhan tidak mau melakukan kesalahan yang sama terhadap anak keduanya.

Tidak kuat menahan dadanya yang semakin bergemuruh, Burhan bergegas meninggalkan ruang rawat Galuh. Burhan mengulurkan tangan, mengusap pipi Galuh sebelum melangkah pergi. Langkahnya berat saat menjauhi tempat tidur pasien. Burhan setengah melompat, saat Galuh menggeser posisi tidurnya.

"Mas Burhan," igauan Galuh membuat Burhan terkejut. "Mas Burhan."

Burhan segera bersembunyi dibalik tirai. Kesulitannya menahan isak semakin menyiksanya saat berpacu dengan degup jantung yang semakin cepat. Sedih dan bahagia memenuhi dadanya dalam waktu yang bersamaan. Burhan masih terpaku, seolah takut napasnya akan berhenti jika membuat satu gerakan.

"Astaghfirullah, ternyata cuma mimpi. Mana mungkin Mas Burhan ada di sini?" Galuh berbicara dengan dirinya sendiri.

Suara Galuh memang lirih tapi lelaki dibalik tirai itu bisa mendengarnya dengan jelas. Sebenarnya Burhan ingin sekali muncul demi membuat Galuh bahagia, sehingga pipi tomat bisa dilihatnya lagi dari dekat. Harapan kembali menyelimuti hatinya. Ternyata selama ini Galuh menyimpan baik-baik kenangannya bersama Burhan.

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Burhan saat langkah kakinya meninggalkan ruangan Galuh, namun lelaki tambun itu tak mengindahkannya. Hati dan pikirannya tak bisa sekata. Keputusannya mencampakkan Galuh begitu saja, sungguh keputusan yang sangat kejam. Istri pertamanya memang sudah menua, tapi kecantikannya masih sama.

Ruang rawat menjadi semakin lengang, tak ada lagi perawat atau petugas kebersihan yang melintas di depan ruangan. Detak jarum jam dinding saling bersahutan dengan dengkuran penghuni ruangan yang sudah terlelap. Keinginan untuk merawat Galuh berlawanan dengan rasa cemburu yang sulit sekali dihilangkan. Belum puas menatap Galuh, Burhan segera sembunyi saat wanita itu bergerak mengubah posisi tidurnya.

Langkah kaki Burhan terhenti, tangan kanannya mengeluarkan ponsel dari saku celana. Burhan menemukan nama Sari tertulis dilayar posel saat membuka notifikasi. Tak ada niat Burhan untuk membaca pesan dari istrinya. Dia sudah tak sanggup jika harus berdebat lagi.

Hati Burhan kembali kecut, mengingat sifat Sari yang tentunya akan semakin marah jika Burhan tak mau membalas pesannya. Dugaannya tidak salah, pesan itu hanya berisi kata-kata pedas karena suaminya tak segera pulang. Tak ada niat untuk membalas, tangan kanan Burhan kembali memasukkan ponsel ke saku celana. Langkahnya gontai mendekati meja perawat. Sementara tangan kirinya terus memijat bagian tengah dada yang masih terasa nyeri.

Burhan merasakan keringat dingin mulai mebasahi telapak tangannya. Lelaki tambun itu mengusapnya dengan sapu tangan coklat yang selalu disimpannya di saku celana. Kepalanya mulai terasa pusing saat menemukan meja perawat yang terletak di ujung lorong. Dua perawat jaga menyambutnya dengan ramah menawarkan bantuan.

Burhan baru sadar, waktu sudah mendekati subuh saat melihat jam yang melingkar dilengan kirinya. Langkah kakinya terasa berat saat harus meninggalkan ruangan Galuh. Matanya kembali menoleh ke arah pintu ruang rawat inap tempatnya keluar. Besar harapannya bisa melihat wajah Galuh muncul dari balik pintu. Namun hatinya kembali ciut karena hal itu hanya akan menjadi harapan kosong.

Tak lama kemudian tangan Burhan mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam dompet. Kartu warna biru merah yang bertulis namanya itu diserahkan pada perawat. Burhan minta bantuan perawat untuk menyampaikan ke kasir, tagihan atas nama Galuh dibebankan padanya. Lelaki itu juga minta perawat untuk selalu menginformasikan perkembangan kesehatan Galuh padanya.



***

Woila...update juga akhirnya, jangan lupa tinggalkan jejak ya kak biar aku juga semakin semangat updatenya.

Happy reading kak😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top