Part 14
Hati Burhan bergetar melihat Andit sejak masih berada di rumah tadi. Berbeda dengan sebelumnya, kini iba mulai menyusup di hatinya. Wajah Andit mengingatkannya pada peristiwa lima belas tahun yang lalu. Masih segar dalam ingatannya, Galuh yang memohon agar tak meninggalkannya.
Kesedihan yang selama ini ditekan kembali menyiksa hatinya. Perlahan penyesalan mulai memenuhi pikirannya, menggantikan amarah yang selama ini menguasai dirinya. Galuh yang dirawat di kelas tiga membuat Burhan semakin prihatin. Tak seharusnya dia berada di sini. Keuangannya pasti terbatas untuk mendapatkan perawatan rumah sakit yang lebih baik.
Keputusannya untuk meninggalkan Galuh semakin disesali saat tuduhannya tidak terbukti sama sekali. Cemburu yang membutakan matanya, kini berujung pada penyesalan yang tak akan mudah untuk dipikulnya sendiri. Burhan menatap nanar Galuh dari balik tirai. Sebenarnya Burhan ingin sekali mengusap pipi Galuh.
Tanpa disadari, Burhan melakukan lagi kebiasaan lamanya. Wajah Galuh saat matanya terpejam memberikan ketenangan di hatinya. Namun rasa takut mendapatkan penolakan kini mulai menyusup di hatinya. Setelah menyakiti hati Galuh, kecil kemungkinan untuk bisa diterima lagi dengan baik.
Burhan masih berdiri terpaku dibalik tirai. Matanya menatap Galuh dan punggung Andit bergantian. Semakin besar wajah anak itu semakin mirip dengan dirinya. Tidak hanya itu, Andit juga mewarisi keras kepalanya.
Burhan tak menemukan ada yang banyak perubahan di wajah Galuh, selain semakin menua. Garis halus mulai memenuhi dahinya. Beban hidup yang harus ditanggungnya sendiri, sepertinya membuat Galuh jarang untuk tersenyum.
Dulu Burhan sering melarang Galuh untuk melakukan pekerjaan yang terlalu berat. Namun urat biru yang menghiasi punggung tangannya tidak bisa berbohong. Bekerja menjadi buruh pabrik bukanlah pekerjaan yang mudah untuk Galuh, tapi dia mau melakukannya demi gadis kecilnya. Burhan yakin, mengahadapi kehidupan ini bersama anak semata wayang mereka bukanlah hal yang mudah.
Hati burhan berontak, ingin sekali mengusap kepala dua orang di depannya. Namun kakinya terasa kaku, berat sekali untuk melangkah. Tubuh Galuh yang lebih kurus membuat Burhan semakin sedih. Terlihat sekali wanita yang masih dicintainya ini tidak memperhatikan kesehatannya.
Bola mata Burhan menatap sekitar. Tidak banyak barang yang dibawanya, hanya termos kecil dan makanan yang belum sempat disentuh. Burhan yakin, Andit pasti juga belum sempat mengisi perutnya. Rambut pendeknya yang terurai menutup sebagian pipinya yang dimenyandar di ranjang tidak jauh dari punggung tangan ibunya.
Tatapan Burhan menemukan tas sekolah Andit yang tergeletak di lantai, menyandar pada nakas. Satu bendel kertas putih yang menyembul dari dalamnya membuat Burhan penasaran. Dengan gerakan hati-hati, Burhan mengeluarkan kertas kemudian membacanya. Tulisan di kertas ini berhasil membuat Burhan terkejut.
Sebuah nama lembaga les MIPA tertulis dibagian atas halaman kertas paling depan. Burhan sangat mengenali nama lembaga itu karena Eki juga pernah mengikuti les di tempat yang sama. Tangan kanan Burhan bergetar saat menemukan halaman terakhir. Setelah dua kali mengerjapkan mata, Burhan masih belum bisa percaya saat menemukan nilai soal yang dibubuhi tanda tangan dengan nama Andit di bawahnya.
Tidak hanya Galuh, ternyata selama ini Andit juga ikut berjuang bersama ibunya. Burhan memang tahu prestasi Andit sejak masih sekolah dasar dulu. Seperti ibunya, nilai pelajaran Andit selalu cemerlang. Bahkan Eki terlihat bangga setiap kali menceritakan kakak kelasnya yang sering mendapatkan piala di sekolah. Namun, semakin banyak Eki bercerita semakin tersiksa pula batin Burhan. Saat itu Eki belum tahu, kalau kakak kelas yang diceritakannya itu adalah saudara tirinya sendiri.
Tidak tahan dengan cerita Eki, Burhan selalu membentak anak laki-lakinya dan memerintahkan untuk berhenti bercerita. Dadanya semakin terasa berat jika harus mengenang kisah indah bersama Galuh dan merasakan sakit hati disaat yang bersamaan. Dengkuran halus keluar dari mulut Galuh. Burhan mengangkat wajah, berharap mendapatkan ketenangan lagi jika menatap wajah Galuh yang sedang terbaring lemah.
Burhan menarik keluar kedua sudut bibirnya, membentuk garis lurus. Kesempatan ini mungkin tidak akan datang dua kali. Selama lima belas tahun Burhan tak mendapatkan ketenangan yang sama. Perjodohannya dengan Sari membuat hatinya tersiksa, hingga membuatnya lebih suka menenggelamkan diri dengan pekerjaan. Kecewa dengan keputusannya mempertahankan Galuh, membuatnya terpaksa meninggalkan cinta sejatinya.
Perkataan orangtuanya dulu kembali terngiang di telinga, Galuh bukan orang pantas untuk mendampingimu. Wanita itu tidak sederajat dengan kita. Kalimat ini sudah seperti rapalan yang wajib diucapkan ibunya setiap kali ibunya menjelek-jelekkan Galuh. Tak ada sedikit pun sikap Galuh yang bisa membuat ibunya senang.
Burhan yang dibutakan oleh cinta tak pernah mengindahkan perkataan orangtuanya. Hidup bersama Galuh adalah impiannya. Kebahagiannya terletak pada Galuh. Hidupnya tak akan sempurna jika Galuh tak bersamanya. Setidaknya itulah yang ada dipikirannya saat itu.
Kebahagiaannya semakin sempurna dengan kelahiran putri kecilnya. Kelucuan putrinya mampu mengobati sakit hati yang dirasakan setiap kali bertemu dengan orangtuanya. Harapan Burhan agar sikap orangtuanya berubah sangat besar sekali saat anaknya hadir ke dunia. Namun harapan itu semakin tidak terwujud saat orangtuanya tidak hanya membenci Galuh tapi juga anaknya yang tidak berdosa.
Andai saja, aku tak meninggalkan kalian...mungkin kita sudah hidup bahagia, Nak. Gemuruh di hati Burhan belum juga berhenti. Penyesalan demi penyesalan kembali memenuhi dadanya yang semakin terasa sesak. Apalagi saat menatap Andit yang mulai tertidur di sisi ranjang ibunya.
Andit masih tak bergerak, sepertinya hari ini tenaganya sudah terkuras habis. Kepalanya yang menangkup ke ranjang membuat wajahnya tertutup rambut. Selama lima belas tahun Burhan tak bisa menemahi Andit tumbuh. Burhan kembali mengurungkan niatnya untuk mengusap kepala Andit untuk sekedar mengobati rindunya. Dia merasa tak pantas karena selama ini tak pernah mengindahkannya. Hatinya tak cukup kuat untuk melawan kekecewaannya pada Galuh, hingga menelantarkan putrinya.
Derak ranjang mengagetkan lamunan Burhan. Dengkuran halus kembali terdengar setelah Galuh menggeser tubuhnya. Burhan bergegas menghilang dibalik tirai hijau yang menutupi ranjang Galuh. Burhan belum siap jika saat ini harus berhadapan dengan Galuh.
Jarum jam dinding sudah melewati angka dua belas. Namun Burhan sama sekali tak berniat meninggalkan rumah sakit. Kepulangannya hanya akan menimbulkan pertengkaran baru dengan Sari. Hari ini cukup berat untuk dilewati. Tenaganya sudah terkuras dan tidak sanggup untuk melayani Sari yang selalu mencecarnya setiap kali membahas hubungannya dengan Galuh.
Lamunan Burhan memudar saat mendengar langkah orang melewati depan kamar. Ranjang Galuh yang terletak tidak jauh dari jendela, memudahkannya melihat orang yang lewat. Kepalanya kembali mengihlang dibalik tirai saat menemukan seorang perawat melintas. Sendi-sendi Burhan terasa kaku, namun kantuk tak berhasil menyerang matanya.
Bubur kacang hijau kotak yang diberikan perawat tak berhasil menghilangkan lapar. Perut Burhan berontak, teringat kembali bahwa dia belum makan sejak siang tadi. Langkahnya hati-hati meninggalkan ruangan Galuh. Pikirannya tertuju pada warung makan 24 jam yang terletak di depan rumah sakit. Burhan juga berencana membeli beberapa makanan kecil untuk Andit di minimarket yang terletak tidak jauh dari warung makan.
***
Saya mulai baper saat mulai nulis bab ini, boleh mulai siapkan tisu ya kak.
Selamat bersenang-senang ya kak...
Happy reading..😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top