Part 10


Semalaman Andit memikirkan saran Satria. Satu sisi hatinya membenarkan ucapan Satria, tapi di sisi lain, ia enggan untuk menghubungi Burhan. Andit memikirkan, bagaimana nanti tanggapan Burhan ketika ia datang ke rumahnya? Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Apalagi jika mengingat Sari, ibunya Eki. Perempuan itu terang-terangan tidak menyukainya. Jangankan bertemu Burhan, bertemu Eki saja ia tidak diizinkan. Galau di hatinya membuat Andit tak bisa memicingkan mata sedetik pun. Terlebih suasana rumah sakit, membuat Andit tidak nyaman untuk beristirahat.

Gadis itu membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. Beralaskan tikar, ia tidur di lantai rumah sakit yang dingin, di samping tempat tidur Galuh. Hari hampir subuh ketika gadis itu akhirnya tertidur.

Belum lama rasanya ia tertidur, ketika Galuh memanggilnya lemah. Andit harus segera berkemas. Petugas rumah sakit akan membersihkan ruangan. Andit menggulung tikarnya, merapikan selimut, dan memasukkan benda-benda itu ke nakas di samping ranjang. Setelah membereskan semuanya, Andit pamit untuk pulang pada Galuh. Ia butuh bersiap. Tekadnya sudah matang untuk menemui Burhan hari ini.

Rumah itu tidak terlalu besar, tapi terlihat sejuk dan asri. Rumput hijau terhampar hingga teras. Pekarangannya ditumbuhi bunga-bunga cantik dan terawat. Terlihat sekali bahwa pemilik rumah memiliki selera yang bagus dan berkelas. Sebuah mobil terparkir rapi di garasi, menandakan pemilik rumah sedang ada di dalam. Ragu-ragu Anindita memasuki pekarangan. Langkahnya pelan dan terlihat gugup. Setelah berdiri beberapa waktu untuk mempertimbangkan maksud kedatangannya, Anindita akhirnya memutuskan mengetuk pintu rumah itu.

"Ya, sebentar!" Terdengar jawaban dari dalam rumah diiringi bunyi langkah yang semakin mendekat. Seorang wanita empat puluh tahunan membuka pintu. Wanita itu terlihat shock mendapati Anindita berdiri di depan pintu rumahnya. Air mukanya berubah. Sari memang tidak pernah ramah pada Andit.

"Ada apa, kok tumben-tumbenan kamu ke sini?" Sari memang tidak berteriak atau memaki. Namun Andit tahu sekali, wanita itu sangat tidak nyaman dengan kedatangannya.

"Saya mau ketemu Pak Burhan."

"Mau ngapain?" Raut tak senang itu semakin jelas terlihat.

"Saya ada perlu. Bisakah ketemu sebentar?" Andit meremas ujung kausnya. Sejujurnya, ia tidak nyaman dengan cara wanita itu menatapnya. Ia memperhatikan Anindita dari ujung rambut sampai kaki seolah ingin menelanjangi dan menghitung apa saja yang melekat pada diri Anindita.

"Jangan mimpi! Pergi sana!" Pintu itu berdebam karena dibanting dengan sengaja. Gadis itu mematung di depan pintu. Baru kali ini Andit menemukan manusia paling tidak sopan seperti Sari. Hatinya perih menerima perlakuan tidak sopan dari ibu tirinya. Harga diri memaksa untuk ia beranjak dari tempat itu. Namun jika ia pergi, bagaimana ia akan menemui Burhan? Lelaki itu harus tahu akan keadaan ibunya saat ini. Satria benar, bagaimana pun, dirinya dan Galuh masih menjadi tanggung jawab Burhan. Ia punya hak untuk itu.

Anindita menguatkan hatinya. Ia tidak akan berlaku sopan lagi jika perempuan itu masih menghalangi dirinya untuk bertemu dengan Burhan. Anindita kembali mengetuk pintu. Sekarang bukan dengan cara yang sama. Ketukannya lebih terlihat seperti gedoran kencang, macam ibu-ibu pemilik kontrakan sedang menagih uang sewa yang sudah menunggak beberapa bulan.

"Saya mau ketemu Pak Burhan! Buka!" teriaknya. Ia tidak peduli jika orang-orang yang lewat memandangi kelakuannya. Biar saja. Toh, ia tidak mengenal orang-orang itu.

Seseorang terdengar memutar kunci, dan memutar gagang pintu dari dalam. Seorang lelaki tambun keluar. Wajahnya dingin, persis seperti beberapa tahun lalu saat mereka bertemu. Namun kali ini garis-garis halus mulai mengisi keningnya. Dia lelaki yang selalu hadir dalam mimpi Andit. Tatapannya beradu dengan Anindita, membuat gadis itu merasa tidak nyaman.

"Ada perlu apa kamu mencari saya?" tanyanya datar. Demi Tuhan, orang seperti inikah yang ia sebut sebagai bapak? Ia tidak pernah bertemu dengan lelaki yang paling keras hati seperti Burhan. Bertahun-tahun tidak bertemu, tak pernahkah terbersit sedikit kerinduan padanya? Anindita membatin melihat kelakuan arogan Burhan.

"Saya mau bicara ... sebentar saja." Lelaki itu bergeming. Andit meneruskan kalimatnya, "Di sini?" Memangnya apa yang diharapkan Andit. Akan dibawa masuk dan diajak bicara baik-baik?

"Katakan! Apa maumu? Perempuan pengkhianat itukah yang mengirimmu ke mari?" Darah Andit mendidih. Kenapa Burhan mengatakan ibunya sebagai pengkhianat?

"Apa maksud anda mengatakan ibu saya pengkhianat? Dia bukan perempuan tidak sopan seperti istri Bapak!"

"Oo ... begitukah? Jadi ibu kamu itu sangat sopan? Bagaimana dia bisa punya anak tidak tahu sopan santun seperti kamu?" Sari tiba-tiba ikut keluar dan mendengar perkataan Anindita. Wanita itu menatapnya tajam. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menunjukkan bahwa ia jauh lebih berkuasa di sini.

Air mata mulai mengembun di pelupuk mata Anindita. Ia benci dengan ketidakberdayaannya sekarang. Anindita melemahkan suaranya, "Ibu saya sudah beberapa hari di rawat di rumah sakit. Dia butuh transfusi darah secepatnya. Saya sudah mengusahakan mencari bantuan ke sana ke mari, tapi ... "

"Sudahlah. Akhiri saja omong kosongmu. Ngaku-ngaku sakit segala." Sari kembali mengucapkan kalimat-kalimat ketus yang membuat telinga Anindita memanas. Ia meremas jarinya, berusaha menahan diri.

"Pak Burhan, kalau anda masih punya hati, setidaknya, sebagai seorang manusia, saya minta tolong pada Anda untuk ..."

Dering ponsel memutuskan kalimat Andit. Gadis itu merogoh ke dalam tas, kemudian menerima panggilan itu.

"Iya Kak? Nggak, aku nggak apa-apa. Benarkah... Iya, aku ke sana sekarang."

Anindita tergesa pergi, meninggalkan dua orang itu tanpa pamit. Kening Burhan berkerut, mengira-ngira, pesan apakah yang diterima Anindita hingga gadis itu segera berlalu? Apakah terjadi sesuatu pada Galuh? Ah, tapi itu semua bukan urusannya. Burhan segera mengalihkan pikirannya.

***

"Syukurlah kamu sudah datang." Satria bangkit dari duduknya saat Anindita tiba. "Aku dapat dua orang pendonor, dan darahnya cocok dengan Ibuk."

"Makasih, Kak. Aku nggak tahu harus ngomong gimana sama Kakak." Andit kembali berkaca-kaca.

"Udahlah, nggak usah dipikirin. Aku nggak bisa berbuat banyak buat bantu kamu. Cuma itu yang bisa aku lakuin."

"Itu sudah lebih dari cukup, Kak. Semoga setelah ini keadaan Ibuk membaik."

Anindita dan Satria masuk ke ruang perawatan Galuh. Wanita itu tengah tertidur. Andit mengambil tempat duduk di samping ibunya. Gadis itu membaringkan kepalanya di sisi ranjang.

Satria menatap iba pada Anindita. Gadis ini sangat kuat. Berbeda sekali dengan gadis-gadis seusianya. Dengan beban hidup yang demikian keras, Andit tetap berprestasi di sekolah. Andit berusaha untuk tidur, menyembunyikan setetes air di sudut matanya. Satria tahu itu. Dalam hatinya lelaki itu bertekad, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat Andit bahagia.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top