-MISSHELLA : 28
Wanita berbaju putih panjang mendekat pada anak perempuan yang usianya sudah remaja itu, ia duduk di samping anak perempuan itu, yang di ketahui bahwa ia adalah bundanya.
Anak perempuan di sampingnya ini nampak sedikit terkejut dengan ke datangannya, gadis itu menautkan alisnya.
"Jangan, jangan lakukan ini! Sudahi drama mu," ucap wanita berbaju putih itu.
Gadis di depannya ini menajamkan penglihatannya lalu ia mengerjap beberapa kali. "Bunda?" gadis ini langsung memeluk wanita paruh baya di depannya, yang ia sebut bunda. "Aku kangen banget sama bunda."
Wanita itu mengelus rambut anaknya ini, "Sudahi semuanya, dia gadis baik. Hatinya seperti bidadari, tak seharusnya kau jahat padanya. Jangan lakukan lagi sebelum kau akhirnya menyesal, bunda sayang kamu."
Gadis itu melepas pelukan mereka, "Maksud bunda apa?"
Wanita yang ia sebut 'bunda' itu tersenyum hangat, sangat hangat. "Alasya ... Shella itu memiliki hati dan sifat yang baik. Jadi tidak pantas jika kau selalu jahat padanya. Kau harus tahu bahwa dia tidak sama sekali pernah marah sama kamu."
Alasya mengerjap tak percaya, "Dia jahat! Dia berani ngambil Fatih dari aku!"
"Yang jahat itu sebenarnya kamu, kamu yang ngambil Fatih dari dia. Fatih itu cinta pertamanya Shella." bundanya menunjuk tepat pada dada Alasya. "Hati kamu sudah di tanamkan benih kebencian oleh abang mu, jadi kau ikut menjadi kotor. Jangan ikuti kemauan abang mu, bunda tahu dia sayang banget sama kamu tapi cara dia menyayangi kamu itu salah sayang!"
Alasya mulai tersadar akan omongan bundanya, hatinya merasa bersalah pada Shella. Dari mulai ia melukainya, bagaimana ke egoisannya, dari cara mana pun Alasya selalu salah. Rasa bersalah mulai menerjang tubuh Alasya, rasanya ia ingin minta maaf pada Shella sekarang juga tapi bagaimana mungkin dengan kondisi Shella yang baru saja selesai oprasi, ia juga tidak mau jujur sekarang bahwa yang sudah melukai Shella dan Fatih adalah dirinya, ia tidak mau menjadi bahan omongan dan bahan amarah orang-orang yang menyangi Shella terutama Dewa dan Rio.
Lagi dan lagi, hati yang sudah lama menghitam akhirnya sedikit putih. Namun, dengan adanya ketakutan dan keegoisan hati itu kembali menghitam.
Alasya mendaratkan kepalanya di dada bundanya, "Maaf bunda, Alasya sudah terlanjur sayang sama Fatih. Alasya akan ngelakuin apapun biar Fatih terus bersama Alasya."
"Bunda engga mau kamu terlambat, yang kamu harus tahu adalah Fatih hanya mencintai Shella tidak ada yang lain. Jauhkan hati mu sebelum kamu tambah sakit nantinya. Shella tidak salah sayang, tidak. Shella tidak salah. Yang sayang adalah diri kamu yang terlalu egois."
Tuturkata bundanya membuat hati Alasya semakin tertohok, ia sadar bahwa ia salah. Tapi rasa salah itu seakan-akan tertutup oleh rasa egois untuk memiliki Fatih bersamanya.
"Yang anak bunda itu aku atau Shella si?! Bunda lebih belain dia."
Bundanya tersenyum, lalu menatap lurus ke depan. "Jelas kamu lah, bunda sayang banget sama kamu. Maka dari itu bunda engga mau kamu ngerasain sakit sekaligus menyesal nantinya setelah melukai orang yang baik."
"Jadi aku harus apa?" lirih Alasya, akhirnya ia sedikit menuruti omongan bundanya.
"Minta maaf, dan akui semua kesalahan kamu. Sebelum kamu terlambat dan menyesal seumur hidup sayang." Wanita di depannya ini kian lama kian memudar, bagaikan tubuh yang langsung berubah menjadi bayangan putih seperti asap.
"Bunda!" Alasya tersentak dari tidurnya, mimpinya sangat aneh. Terasa sangat nyata, ia merasa baru beberapa menit yang lalu ia di peluk dan di elus-elus oleh bundanya namun itu hanya mimpi. Yang terasa sangat begitu nyata.
-----
"De lo dimana si?!" Rio memijat pelipisnya pelan. Malam sudah sangat larut, namun ia belum sama sekali menemukan keberadaan adiknya, Shella hilang tak di temukan bagai di telan bumi.
"Bocah sialan! Gue telponin engga mau di angkat!" Dewa mengumpat sedari tadi, dari sekian banyak telponnya tidak ada yang di angkat satu pun oleh Alasya. Dewa hanya berharap pada Alasya, karna dia adalah orang terakhir yang bersama Shella yang ia tau.
Rio dan Dewa sudah mencari hampir seluruh tempat yang Shella pernah datangi namun nihil, Shella tidak ada di sana. Saat Rio dan Dewa sampai di Clasic Cafe tempat makan itupun sudah ingin tutup, para pelayan cafe sudah membersihkan meja-meja. Hingga pada akhirnya Dewa pun berinisiatif untuk meminta bantuan teman-temannya, dengan senang hati teman mereka ingin membantu.
"Anak-anak suruh pulang aja deh, kasian gue udah pada ngantuk berat kayaknya." Rio menyenderkan tubuhnya di salah satu pilar yang ada di rumahnya. Bagaimana rasa kantuk tidak menyerang ini sudah mau masuk waktu jam sholat subuh, beberapa jam kedepan pasti matahari akan terbit.
"Gue engga akan pulang sebelum Shella ketemu bang." Candra duduk di samping Dewa, beberapa kali ia menenangkan Dewa yang hampir saja hilang kendali akibat emosinya yang terlalu tinggi.
"Gue juga! Gimana bisa tidur nyenyak gue kalo ketua kelas gue belum ketemu!" Ucok menimpali sembari makan kacang kulit yang sedang ia genggam itu.
Beruntung lah Shella hidup dalam lingkungan yang banyak sekali menyayangi dirinya, entah keluarga, pacar, atau teman-temannya semua sangat menyayangi dirinya meski terkadang mereka semua tidak segan-segan membuat Shella merasa kesal.
"Permirsa, kembali lagi dengan kabar dini hari. Sebuah aksi kejahatan kembali terjadi pada kemarin malam sekitar jam tujuh, di jalan Mangga."
Semua orang yang ada di ruang tamu menujukan pandangan dan pendengarannya ke televisi yang sedang menayangkan berita dini hari itu.
"Polisi belum mengetahui apa motif pelaku, tidak ada barang yang hilang ini belum bisa di masukkan ke dalam kategori pembegalan. Menurut saksi mata korban masih menggunakan seragam sekolah dan korban satu lagi adalah seorang ojek online. Korban di bawa ke rumah sakit Brihasa sejak tadi sore."
Entah dorongan kuat apa yang membuat Rio ingin sekali menuju rumah sakit sekarang, ia yakin bahwa adiknya adalah korban, tapi di sisi lain ia masih meyakinkan dirinya sendiri bahwa adiknya tidak akan kenapa-napa.
"Gue kerumah sakit, kalian ada yang mau ikut?" Rio mamakai jaketnya, mengambil kunci mobilnya.
"Gue ikut bang. Yang lain mending tunggu di sini, nanti kalo ada kabar baru langsung gue kabarin kalian." Dewa jalan beriringan dengan Rio, segera mungkin untuk sampai di rumah sakit.
Dewa menghela nafas kasar, menatap jalan raya dengan tatapan penuh frustasi. Begitu pun dengan Rio dia terlihat sangat gelisah, namun masih bisa menyembunyikan kegelisahannya itu dengan terlihat cukup tenang.
Tak butuh lama Rio memarkirkan mobilnya tepat di pintu masuk rumah sakit, ia berlari masuk menuju pusat administrasi.
"Permisi, ada pasien yang bernama Shella?"
"Sebentar saya cari pak," suster itu pun mengotaki-atik layar komputer yang ada di depannya, "Lantai tiga, kamar sakura VVIP pertama."
Dewa segera berlari meninggalkan Rio di belakangnya, tak perduli berapa nyeri bahunya yang bertambrakan dengan bahu orang lain. Ia berdiri di depan lift namun tak kunjung terbuka, tidak ada pilihan lain Dewa berlari ke lorong belakang menaiki satu persatu tangga untuk menuju lantai tiga, tak sekali dua kali Dewa terselengkat anak tangga saking buru-burunya dia. Begitupun dengan Rio ia pun berlari mengikuti Dewa dari belakang, meskipun sudah tertinggal lumayan jauh.
Setelah sampai di lantai tiga, tepat di depan kamar Sakura VVIP Dewa tidak mau membuang waktu lama ia memutar knop pintu dan mendapatkan pemandangan yang sangat-sangat mensayat hatinya. Rio datang menubruk tubuh Dewa yang masih berdiri kaku di ambang pintu. Rio pun sama begitu sakit dan lemas dirinya melihat lagi dan lagi adiknya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Dewa seakan-akan menjadi orang yang paling depresi di dunia ini, Dewa menyenderkan tubuhnya di dinding membiarkan Rio mendekat dan duduk di samping ranjang Shella. Berkali-kali mulutnya berkomat-kamit mengucap asma allah, agar hatinya menenang dan tidak di kuasai oleh amarah, Dewa memilih untuk tidak mendekat ke ranjang Shella.
Pintu kamar rumah sakit terbuka, dokter masuk. Dokterpun nampak sedikit terkejut dengan keberadaan Rio dan Dewa.
"Keluarga pasien?" Rio hanya mengangguk lesu, menatap wajah tenang Shella, tangannya pun tak terlepas dari genggaman tangan Shella yang terbebas dari selang infus. "Ikut saya keruangan." dokter itu pun keluar, meninggalkan Dewa dan Rio yang masih lemas.
"Tunggu sini, gue nitip Shella." Rio keluar kamar. Dewa hanya mengangguk, dan duduk di sofa.
Bulir bening mengalir dari sudut matanya, Dewa menangis untuk kedua kalinya ia menangis. Dewa menatap tak percaya pada kondisi Shella, kepalanya penuh perban, alat pembantu untuk bernafas bersarang di hidungnya, beberapa selang juga bersarang di tubuhnya, begitu pun dengan selang infus.
Sekelebat bayangan penuh kenangan berputar di otak Dewa bagaikan film yang kembali di Putar, kenangan itu kembali memenuhi isi otak Dewa, mulai dari hari dimana ia bertengkar dengan Shella, ketoko bunga bersama, ke makam bundanya, saat ia di peluk hangat oleh Shella, saat Dewa menyatakan seluruh pesaraannya, hingga kenangan kemarin pagi ia bersuapan dengan Shella di kantin, semuanya begitu nyata dalam ingatan Dewa.
-----
KELAR!!!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top