Prolog
27 DESEMBER 2014, 23.30.
Di ujung jalan sebuah kompleks perumahan mewah, dengan suasana yang terkesan sejuk, seorang gadis, turun dari sebuah angkot berwarna abu-abu. Tas kain sederhana, terselempang di pundaknya. Sore itu langit cerah, biru bercampur warna kuning keemasan. Secerah wajah sang gadis. Kepalanya celingak-celinguk memerhatikan rumah-rumah di sekitar sana. Semua rumah terkesan mewah dengan berbagai gaya dan berpagar tinggi. Ia berhenti di depan sebuah rumah berpagar coklat keemasan, berpagar tinggi di atas kepalanya, berdinding serba putih, dengan ornamen bingkai jendela dan pintu serba dipelitur. Ditatapnya kartu nama dalam genggaman. Tidak salah lagi, ini rumahnya.
Ia mencari-cari sesuatu. Matanya tertambat pada sebuah benda kecil persegi, putih. Ia menggapainya. Namun terlalu tinggi untuk ukuran tubuhnya. Ia berjinjit. Dengan ragu ia menekannya. Satu kali. Pintu pagar belum terkuak. Sekali lagi ia menekannya. Pintu pagar belum juga terkuak. Pikirannya mulai gelisah. Apakah rumah ini tidak ada penghuninya? Ia mencari celah, untuk mengintip. Semua tertutup rapat. Orang kaya, selalu saja memiliki rumah dengan pagar tinggi dan selalu terkunci rapat. Bagai penjara saja, gerutunya dalam hati. Rumahnya selalu terbuka, dan jarang sekali dikunci. Tak pernah ada pencuri, masuk. Pencuri bodoh saja yang mau masuk ke rumahnya. Satu-satunya barang paling berharga di rumah itu, hanya dirinya. Itu menurut ibunya.
Sekali lagi ia memencet bel. Kali ini ia menekan bel lebih kuat, karena kesal. Padahal pelan atau kuat tekanan pada sakelar, suara yang dihasilkan bel listrik tidak ada bedanya. Akhirnya... pintu pagar terkuak. Seorang wanita setengah tua muncul dari balik pintu.
Gadis manis berambut lurus sebahu itu, memperhatikan wanita yang baru saja membukakannya pintu. Baju agak lusuh, wajah wanita itu, penuh guratan lelah. Mungkin pembantunya. Gadis berkulit kuning langsat itu, menganggukan kepala. Ada senyum tersungging di bibirnya. "Maaf, Bu. Apakah benar ini rumah Matthew?" Ia bertanya dengan suara yang lembut dan sopan. Wajahnya melongok ke balik pintu.
"Betul, Non. Ada apa, ya?" Suara dengan aksen jawa kental.
"Saya guru les Bahasa Inggris Matthew. Matthew ada?"
"Ada, Non. Di dalem lagi nyuci motor. Silakan masuk." Wanita itu melebarkan pintu pagar., mempersilakan gadis itu masuk.
Jantungnya berdetak kencang, saat kakinya melangkah masuk. Baru kali ini ia memasuki rumah yang sedemikian mewah. Terlalu jauh jika dibandingkan dengan rumahnya, yang lebih pantas disebut gubuk. Sangat serderhana. Hanya ada satu kamar tidur buat dirinya dan ibunya. Tak ada penghuni lain di rumahnya. Ayahnya entah ke mana. Ibunya tidak pernah mau bercerita tentang keberadaan ayahnya. Wajahnya saja ia tidak tahu.
Gadis itu memutar bola matanya, menyapu seluruh halaman. Luas. Asri. Rapi. Tanah penuh ditanami rerumputan jepang. Tercukur rapi. Basah, seperti baru disiram. Beberapa pot bonsai bertengger di atas pilar beton setinggi setengah meter. Ada beberapa pohon cemara berjajar di bagian dalam pagar. Berhimpitan dengan pagar. Rumah dengan pintu ganda. Berjendela kaca dengan gambar burung di kanan kirinya. Cat di dinding masih tampak berkilat. Balkon lantai dua terlihat dari halaman rumah. Atapnya genteng keramik berglasur. Berkilat ditimpa cahaya matahari sore. Ia mengaggumi kemewahan rumah itu, yang mungkin bahkan tidak pernah bisa ia beli, walau ia harus bekerja seumur hidupnya.
Retina matanya menangkap bayangan sosok remaja putera yang sedang asyik mencuci motor, di atas karpot, sembari bersenandung kecil. Ia menggelengkan kepala. Remaja berambut hitam, ikal berantakan itu, begitu acuh atas kehadirannya. Padahal ia yakin, kalau remaja itu, tahu kehadirannya. Menurut Gabriel, Matthew hari ini mau mulai belajar Bahasa Inggris. Kenapa anak ini masih mencuci motor?
Gadis itu memandang Matthew yang sedang berjongkok, menggosok sambil menyemprot motornya dengan air dari selang.
"Hei!" tegur sang gadis.
Matthew yang sedang asyik tersentak! Refleks, ia berdiri! Air dari selang yang berada di tangannya, tanpa sengaja menyemprot ke arah gadis berhidung bangir itu. Byur!
Gadis itu gelagapan! Spontan mengangkat kedua tangan, menutupi wajah, menghindari air yang menyembur ke arahnya. "Hei!" jerit gadis itu. Wajah, rambut, baju, semuanya basah! "Sial!" makinya.
Matthew tersentak. Buru-buru menurunkan selang yang ada di tangannya. Ia mematikan keran air dan mendekati Prita yang tengah mengibaskan rambut dan bajunya yang basah kuyub.
"Maaf, Nona cantik, aku nggak sengaja. Kamu ngagetin aku, sih." Matthew yang melihat gadis itu kuyub, menutup mulutnya, menahan tawa. Baru kali ini ia melihat gadis itu. Inikah guru Bahasa Inggrisku? Kok, masih muda?
Mata gadis itu melotot, lantas membentak, "Apa yang lucu?"
"Haha...." Akhirnya tawa Matthew lepas.
"Apa ketawa-tawa?" Gadis itu mendelikkan matanya. Kurang ajar nih anak! batinnya.
"Haha... kau lucu," olok Matthew.
Gadis itu kian gusar. Di tengah penderitaannya, remaja yang masih bau kencur itu, malah tertawa. "Heh! Sudah bikin orang basah, malah ketawa!"
"Salah sendiri. Kenapa ngagetin aku," balas Matthew seenaknya.
Gadis itu terpana, mendengar kata-kata Matthew. Matthew malah menyalahkan dirinya. Ia memandangi Matthew dari ujung rambut hingga kaki. Ganteng, tapi sayang... urakan dan seenaknya. Wajahnya sinis. Inikah muridnya? Sekurang ajar ini?
"Apa liat-liat! Naksir?" Matthew mengerlingkan matanya, dengan senyum mengolok.
Dada gadis itu bergejolak. Ingin rasanya ia melayangkan telapak tangannya ke mulut Matthew keras-keras. Anak tak tahu sopan santun! Namun ia hanya berani memaki dalam hati.
"Aku ganteng, kan?" Matthew menatap Prita dari ujung rambut sampai ujung kaki. Cantik. Boleh juga nih guru.
"Kau jangan kegeeran! Siapa yang naksir kamu?!" Suara gadis itu menggelegar. "Bajuku basah semua! Matamu ke mana?!" T-Shirt biru muda yang dikenakan gadis itu hampir semuanya basah. Untung saja celana jins biru yang ia kenakan tidak ikut basah.
"Aku kan, udah bilang, aku ng-gak sengaja!" Matthew balas membentak gadis itu, dengan tatapan meremehkan. Paling-paling juga nggak sampe bulan, guru satu ini minta berhenti. Seperti guru-guru lain yang pernah ngajar aku.
Kalau saja gadis itu tidak membutuhkan uang untuk biaya kuliahnya, pasti ia sudah berlari pulang. Mengajar Matthew, tawaran yang menggiurkan. Ia akan dibayar tiga kali lipat dari biasanya. Ia meneguhkan hatinya. "Kau tahu, siapa aku?!"
"Guru Bahasa Inggrisku, kan?"
Pandangan mereka saling beradu.
Matthew belum yakin mendapat guru yang masih muda dan cantik, seperti gadis yang kini berdiri di depannya yang tengah berkacak pinggak. Guru-guru yang sudah berpengalaman saja tidak sanggup mengajarnya. Apalagi model gadis cantik seperti ini? Ia menyeringai, mengejek.
"Itu kau tahu. Bagaimana mungkin, aku mengajar dengan baju basah kuyup seperti ini?" Bahasa formal gadis itu keluar. Ia ingin terlihat berwibawa di depan muridnya.
Perlahan Matthew menundukkan kepala. Ia tak kuat berlama-lama mengadu pandang dengan gadis itu. Ada sesuatu yang berbeda dari mata gadis itu. Namun ia tak tahu apa itu. Seperti ada satu kekuatan yang terpancar dari mata gadis yang menghujam jantungnya. Meruntuhkan emosinya. Ia tertegun. Mata itu sungguh bening. Sebening embun pagi.
"Sebenarnya kau mau belajar atau tidak?" tanya gadis itu dengan suara yang lantang dan pasti.
"Mm... mm...." Matthew menggaruk-garuk kepalanya. Bola matanya ke atas, melirik gadis itu. Sebenarnya ia malas belajar.
"Mau belajar tidak?" Gadis itu menendang kaki Matthew.
Matthew mendongakkan wajah. Membelalakkan mata. Ia tak percaya, di balik kelembutan wajah gadis itu, ternyata tersimpan kegalakannya. "Iya, mau... mau...!" Entah apa yang membuat Matthew seperti terhipnotis.
"Mengapa kalau kau mau belajar, kau masih mencuci motor? Menurut Gabriel, aku harus datang hari ini jam empat sore. Ini sudah jam berapaaaa?!" Gadis itu melihat jam yang melilit di pergelangan tangan kirinya. "Jam empat lewat beberapa menit!"
Matthew terdiam. Wajahnya kembali tertunduk. Lidahnya kelu.
"Ayo, masuk!" Gadis itu meraih tangan Matthew, menyeretnya masuk rumah.
"Eh... eh... tunggu dulu." Matthew menahan tangannya. "Kita belum kenalan. What's your name?" Matthew berlagak menggunakan Bahasa Inggris, yang terdengar kaku, di pendengaran gadis itu.
Langkah gadis itu tertahan. "My name's Prita. P-r-i-t-a." Gadis itu menyebut nama beserta ejaannya.
"Oh. Nama yang bagus. Miss... Miss... Miss... Pretty, right?" goda Matthew.
"Prita! Kau dengar tidak? Namaku Prita! P-r-i-t-a!" hardik Prita, gadis lembut namun tegas itu dengan tidak senang. Ia menghempaskan genggaman tangannya.
"Pretty! P-r-e-t-t-y! Kamu lebih pantes sama nama itu," balas Matthew tidak mau kalah.
"Kau jangan ganti nama orang seenaknya!" Prita mendelikkan mata pada Matthew.
"Aku lebih suka manggil Miss Pretty. Sesuai sama wajahmu yang cantik. Hehe...." Matthew terkekeh.
Prita melengos. Dasar anak nggak tau sopan santun. Seenaknya aja ganti nama orang, omelnya dalam hati.
"Silakan masuk, Nona cantik." Matthew membuka pintu rumah. Melebarkan tangan kanan. Mempersilakan Prita masuk.
Prita melangkahkan kaki. Masuk ke dalam rumah. Rumah itu benar-benar mewah. Segala perlengkapan mahal-mahal. Mungkin impor dari luar negeri. Ia mengedarkan pandangan ke ruang tamu. Ada satu set kursi tamu penuh ukiran. Ada beberapa hiasan keramik di pojok ruangan. Lukisan penari Bali di dinding. Lampu gantung kristal. Semuanya barang mewah. Mewah. Namun rumah itu terkesan hambar.
"Mari, Miss. Kita langsung ke ruang belajar di lantai dua." Matthew mengantar Prita menuju lantai dua.
Prita mengikuti langkah Matthew. Mereka menuju sebuah ruangan. Ada sebuah meja kecil. Dua kursi diletakkan saling berhadapan. Satu whiteboard kecil. Prita mendekati meja. Ia mengibaskan bajunya. Dingin rasanya.
"Bentar, Miss." Matthew meninggalkan Prita sesaat. Ia kembali dengan sebuah T-Shirt berwarna biru tua dan sebuah handuk di tangan. "Salinlah dulu. Di sana ada kamar mandi." Matthew menunjukkan telunjuknya ke sudut ruangan.
Prita memandang Matthew ragu. Ternyata ada kebaikan di hati anak ini. Sebenarnya ia enggan menngunakan baju orang lain. Ia tidak terbiasa.
Matthew menyadari keraguan Prita. "Ini baru, kok. Belum pernah dipake. Ini buat kamu. Nggak usah dikembaliin." Ia kembali menyodorkan baju dan handuk kepada Prita.
Prita mengambil handuk dan T-Shirt dari tangan Matthew. Berlalu menuju kamar mandi. Prita memandang baju kedodoran yang melekat di tubuhnya. Harum pewangi menebar dari baju itu. Ia melangkah ke luar.
Matthew sedang duduk di kursi belajarnya. Ia memandang ke arah kamar mandi. Ia menatap Prita yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia menahan tawa melihat baju yang dikenakan Prita agak kebesaran. Panjangnya hingga sampai ke paha.
"Apa senyum-senyum!" Prita menghardik Matthew.
"Nggak. Kedodoran, ya, Miss? Hehe ...!" Matthew menatap Prita yang melangkah duduk di kursi. Di hadapannya. Cantik. Berkali-kali Matthew memuji Prita dalam hati. Sederhana. Penampilannya sangat alami. Tanpa polesan.
"Apa, liat-liat! Mau belajar tidak?" Prita menampar pipi Matthew perlahan.
"Egh ... egh .... belajar apa? Liat tuh, sudah jam lima lewat." Matthew menunjuk jam dinding dengan dagunya.
Prita menoleh. Ke arah jam yang bertengger di dinding. Di belakangnya. Habis sudah waktunya. Gara-gara ulah Matthew.
"Kamis aja belajarnya, Miss. udah sore." Matthew menopang dagunya. Menatap Prita dalam-dalam.
"Apa sih, liat-liat terus?" Prita balik menatap Matthew.
"Egh ...." Matthew memalingkan wajah. Ia teringat titipan amplop untuk Prita dari mamanya. Ia merogoh saku. Menyerahkan pada Prita. "Ini biaya les untuk bulan ini."
Prita meraih amplop putih yang disodorkan Matthew. Isinya lumayan tebal. Lumayan, untuk kebutuhannya. Membeli buku. Membeli alat tulis. Ongkos. Ia memasukkan amplop itu ke dalam tasnya.
"Hari ini nggak usah belajarlah, Miss." Matthew bangkit dari duduknya.
Prita menatap Matthew. Bola matanya menerobos tubuh dan jantung Matthew.
Matthew tergagap. Merasa ada yang salah. "Udah sore," Ia menyeringai sambil menggosok-gosok telapak tangan di depan dada. Grogi ditatap Prita.
"Ada ya, orang mau membayar, tanpa aku melakukan apa-apa?" Prita kembali mengambil amplop putih tadi. Menyodorkannya pada Matthew. "Kalau kau tidak mau belajar, aku kembalikan uang ini."
"Mm .... jangan, Miss." Matthew menggaruk-garuk kepalanya.
Bola mata Prita mengikuti gerak Matthew. "Kalau kau tidak mau belajar, besok-besok aku tidak akan datang lagi. Masih ada sisa waktu. Aku tidak mau menerima uang tanpa melakukan apa-apa."
Ngotot juga nih guru. Guru-guru yang lain pasti main ambil aja. Gadis ini beda banget. Matthew memandang Prita. Ia mengernyitkan kening. Heran. Siapa yang tidak mau uang. Malah banyak orang merendahkan harga diri demi uang. Tapi Prita ... menolaknya. Banyak orang mau uang tanpa bekerja. Banyak orang silap karena uang.
"Ya, ya. Aku belajar." Matthew kembali menopang dagunya.
Prita bediri di depan whiteboard. Membuka pelajaran hari ini. Tapi baru beberapa menit, berhenti. Matthew tidak mendengarkannya. Mata Matthew tidak fokus. Memandangnya remeh. Ia gusar. Dihempaskannya spidol ke atas meja, diraihnya tas yang tergeletak di meja.
"Aku pulang. Kamis aku datang lagi. Hari ini aku tidak akan mengambil uang itu."
Prita berlalu. Pergi meninggalkan Matthew yang terbengong-bengong. Guru galak. Aneh. Tapi cantik. Matthew meraih amplop di meja dan menimang-nimangnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top