Episode 1. Terdampar

01 JANUARI 2015, 17.30.

Cat kuning gading mendominasi bangunan kampus berlantai tiga, yang berdiri megah. Pohon berjajar rindang di samping kiri kanan. Angin pagi itu sejuk berembus menimpa pucuk dedaunan dan membelai rambut Prita yang berponi. Berkali ia membetulkan letak rambutnya, yang beterbangan.

Dua minggu sudah, ia berada di kampus ini-sebuah Perguruan Tinggi swasta yang lumayan terkenal. Namun rasa gundah selalu hadir jika ia tiba di sini. Di kampus yang banyak menetaskan bibit-bibit unggul.

Fakultas Sastra Inggris. Jika mendengar Bahasa Inggris, ia merasa benci. Ia lebih suka Bahasa Indonesia. Namun pamannya memaksanya untuk masuk fakultas yang tidak pernah ia impikan sama sekali. Namun ia terpaksa mengikuti kemauan pamannya. Semua biaya masuk kuliah, dibayar pamannya. Jadi orang miskin, memang serba salah. Selalu tak bisa memilih, walau katanya hidup itu adalah pilihan.

Dengan tak bersemangat, ia menyusuri jalan kampus. Tas berselempang di bahu. Di sana sini terlihat para mahasiswa sedang bercengkrama. Ada yang di bawah pohon, bersandar di dinding kampus. Terkikik. Tergelak. Seperti tidak ada beban. Dengan tertunduk, ia melintasi mereka, masuk kelas.

Ia mengambil kursi paling depan. Tepat di pojok kiri, ia duduk tanpa menengok, lalu  bersandar pada dinding. Mengapa ia harus terdampar di fakultas ini? Mengapa ia harus menjalani sesuatu yang tak ia suka?

Saat lulus Sekolah Menengah Umum pamanya-Samuel-sengaja datang ke rumahnya. Adik ibunya, belum terlalu tua. Berumur tiga puluh lima tahun. Tapi termasuk orang berada. Mempunyai banyak usaha. "Kau mau kuliah jurusan apa?"

"Aku mau ambil Bahasa Indonesia. Aku mau jadi guru." Menjadi guru adalah cita-citanya sejak kecil. Ia paling suka melihat orang yang menjadi guru. Mengajar itu baginya adalah sebuah profesi yang mulia. Bersih dari konspirasi, jauh dari intrik. Di saat orang beramai-ramai ingin menjadi pengusaha, dokter atau insinyur, bahkan presiden. Ia hanya ingin menjadi seorang guru. Tidak lebih. Sebuah cita-cita yang sangat sederhana. Sesederhana penampilan dan cara berpikirnya.

Ia sering mengumpulkan anak-anak di sekitar rumahnya-untuk mengajar membaca, menulis, berhitung. Kadang sekedar berkelakar, tertawa-tawa. Dunia anak, dunia canda dan tawa. Anak-anak adalah sebuah pribadi unik, polos tanpa tahu dunia sedang berperang. Tanpa tahu dunia sedang saling sikut. Anak-anak adalah cermin kejujuran dan keceriaan. Anak-anak adalah cermin dari sebuah bangsa yang beradab. Ia ingin mengangkat kehidupan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya yang kebanyakan kurang mampu. Ia ingin anak-anak di sekitar rumahnya juga bisa menikmati indahnya dunia melalui pendidikan.

Rumahnya terletak di sebuah gang sempit. Gang yang lebarnya tidak lebih dari satu meter, yang dilapisi paving stone. Rumah-rumah kecil, padat saling berhimpit. Terkesan kumuh. Rumah itu pinjaman dari pamannya, Samuel. Samuel memiliki deretan rumah. Ada sepuluh rumah. Rumah deret itu biasa mereka sebut bedeng. Satu sama lain dindingnya menempel. Hanya ada satu jendela di teras rumah yang lebarnya hanya satu meter. Satu kamar tidur, satu kamar mandi menyatu dengan WC. Satu dapur. Satu ruang tamu. Kecil, sempit. Bedeng itu biasa disewakan oleh Samuel. Prita dan Dini menempati bagian bedeng sebelah kiri pojok. Beruntung. Ada jendela di samping kiri. Jadi tidak terlalu lembab dan gelap.

Hampir setiap hari rumah Prita ramai anak-anak. Mereka suka bermain di rumah Prita. Banyak anak bisa membaca dan menulis karena Prita. Prita sabar, penuh perhatian, peduli, selalu ceria. Ibu-ibu di sekitar rumahnya suka pada Prita. Prita banyak membantu mereka membimbing anak-anak mereka.

"Untuk apa kau ambil jurusan itu? Tidak akan laku. Kalau kau mau, ambil saja Sastra Inggris. Lebih laku. Kau akan lebih mudah mencari uang nantinya."

Prita menatap pamannya. Beralih pada ibunya. Ia diam. Tidak membantah. Tidak mengiyakan.

"Besok Paman akan mencari informasi. Di mana kampus yang ada jurusan Bahasa Inggris." Samuel berdiri. Menepuk bahu Prita. "Kau tidak akan menyesal nanti. Paman pulang. Aku pulang dulu, Kak." Samuel menyalami Dini.

Sepeninggal Samuel, Dini menatap Prita iba. Ada kegundahan di wajah Prita. Sejak kecil, Prita suka mengajar. Suka menulis cerita anak-anak. Anak-anak bagi Prita adalah ddunianya. Prita sering berkata, ia ingin berbagi ilmu pada anak-anak yang tidak mampu. Agar mereka bisa menjadi orang yang berguna. Ia tahu, Prita suka Bahasa Indonesia.

"Terima saja, Ta. Mau ngomong apa? Kita terima apa adanya. Ibu tahu kamu tidak suka. Tapi dicoba saja. Mungkin nanti kamu akan suka."

Para mahasiswa riuh. Ada yang masih mengobrol di depan kelas. Ada yang di dalam kelas. Semua bicara. Hanya ia yang diam. Pikirannya berkecamuk. Berkutat pada penyesalan. Mengapa harus menjadi orang miskin. Ingin rasanya ia memberontak, berjuang untuk keluar dari kemiskinan ini. Kemiskinan yang membuat impiannya harus terkubur.

Pamannya tidak mau mendengar pendapatnya. Harus. Satu kata yang membuat dirinya terdampar di kampus ini. Sejak awal kuliah saja, tak ada dosen yang menarik. Semua membosankan. Belajar apa itu? Reading, Writing, speaking. Sejak SMU, nilai pelajaran Bahasa Inggrisnya saja paling tinggi 7. Nilai segitu sudah bagus baginya.

Lidahnya selalu kaku mengucap kata-kata Bahasa Inggris. Dulu ia paling malas menghapal Vocabulary. Pusing. Kata-kata dan huruf berbanding terbalik dengan pengucapan. Ia tidak mengerti ada bahasa seperti itu. Membingungkan. Berubah-ubah. Lebih menyenangkan Bahasa Indonesia. Mudah diingat, tidak berubah-ubah.

Belum lagi harus belajar Grammar dengan enam belas tenses-nya. Sampai sekarang ia belum juga hapal keenambelas tenses itu. Bahasa Indonesia lebih mudah. Tidak ada tenses. Kemarin, sekarang, nanti, tidak menggunakan tenses. Tinggal ditambahkan keterangan waktu saja, beres! Gitu saja kok, repot!

Mengapa ia tidak bisa mengambil Sastra Indonesia. Ia bisa belajar menulis cerita. Belajar sejarah Bahasa Indonesia. Hh! Ia menghela napas panjang.

"Hei! Melamun!" Gabriel menepuk pundak Prita. Ia duduk di samping kanan Prita. Kursi deretan depan selalu kosong. Mahasiswa lebih suka duduk di belakang. Aneh.

"Kau kenapa terlambat?" tanya Prita.

"Hampir," ralat Gabriel.

Tiba-tiba mahasiswa di luar berlarian masuk kelas. Mereka berebut duduk. Pertanda ada dosen yang masuk.

Prita menatap pintu lekat-lekat. Ia belum pernah melihat dosen yang satu ini. Sejak awal kuliah, belum pernah masuk. Ia ingin tahu bagaimana wajah dosen yang satu ini.

Seorang lelaki dengan kemeja dikeluarkan, celana jins, melenggang santai. Wajahnya klimis, tak terlalu jelek, tak terlalu tampan juga. Belum terlalu tua. Rambutnya pendek, hitam bergelombang. Lelaki itu mengedarkan pandangan ke penjuru kelas. Tatapannya dingin, sedingin es. Kaku tanpa senyum.

Bola mata Prita tertuju pada lelaki itu. Ia menegakkan tubuhnya. Dosennyakah? Wajah dingin. Penampilan sangat tidak meyakinkan. Mirip tukang becak. Haha... atau tukang tambal ban. Terlihat sangat konyol. Prita tertawa dalam hati.

"Selamat pagi, saudara-saudara." Sapaan keluar dari bibir sang dosen. Sapaan yang tidak biasa, bagi seorang dosen Bahasa Inggris. Mereka biasa menggunakan Bahasa Inggris dicampur Bahasa Indonesia jika mengajar. Bahkan ada yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Tanpa Bahasa Indonesia. Membuat Prita tidak mengerti. Hal membuatnya makin kesal.

Sekejap semua mahasiswa yang tadinya riuh, tiba-tiba diam seperti tersihir.

"Sebelum kita memulai perkuliahan ini, perkenalkan nama saya, Bayu Pratama. Anda cukup memanggil saya Bayu. Jika di luar kampus, anda boleh memanggil saya mas, atau kak. Kalian tahu, saya mengajar mata kuliah apa?"

Para mahasiswa menyahut serempak. "Pronunciation, Pak!"

"Hm...," ia mengangguk, "lebih tepatnya Pronunciation dan Structures. Pada mata kuliah Structures, anda akan bertemu saya lagi. Hari ini, jadwal anda adalah Pronunciation. Baik, kita mulai kuliah kita." Ia berdiri di depan. Tatapannya lurus ke depan. Bayu terlihat sangat menguasai kelas. Ia berhasil menjadi pusat perhatian dalam mengajar. Gaya mengajarnya sangat santai, tapi menyenangkan. Tidak text book,. tidak abstrak. Gambarannya selalu jelas dan dapat dibayangkan.

Semua mahasiswa diam. Semua mata tertuju pada Bayu. Sang dosen konyol dengan tatapan dingin dan wajah kaku.

Prita tertegun. Dosen satu ini berbeda. Mengajarnya enak. Mudah dimengerti. Tapi tunggu dulu. Ada yang aneh. Mengapa ia mengajar Bahasa Indonesia? Bukan Bahasa Ingggris? Prita semakin memerhatikannya. Benar. Ia mengajar Bahasa Indonesia.

"Saudara-saudara, apa anda tahu, mengapa saya membuka mata kuliah ini dengan Bahasa Indonesia?" Ia mengedarkan pandangan dan menatap mahasiswa satu-satu. Tatapannya berhenti pada Prita.

Deg! Mati aku. Dada Prita berdebar-debar. Jangan-jangan....

"Kau yang baju biru." Ia menatap Prita. Wajah Bayu datar, tanpa senyum.

Semua tatapan mahasiswa tertuju pada Prita. Semua diam.

Dag-dig-dug! Jantung Prita berdetak kencang. Sejenak ia tergugu, sembari memutar otak, mencari jawaban atas pertanyaan Bayu yang mendadak. Ia menjawab sekenanya, "Karena saya orang Indonesia, Pak. Saya lebih cinta Bahasa Indonesia."

Prita memang jatuh cinta pada Bahasa Indonesia. Terutama Sastra Indonesia. Bukan Sastra Inggris. Ia benci Bahasa Inggris. Bertahun-tahun hanya belajar Grammar. Sungguh membosankan. Tidak membuatnya mengerti. Apalagi Grammar Bahasa Inggris banyak aturan dan rumus. Bahasa kok pakai rumus segala. Seperti Matematika saja.

Bayu bertepuk tangan dua kali. "Siapa nama anda?" Ia mendekati Prita, menundukkan kepalam mendekatkan telinga ke wajah Prita.

"Prita." Suaranya pelan. Prita memundurkan kepala sedikit. Salahkah jawabannya?

"Siapa?" Bayu mengulang pertanyaannya.

"Prita, Pak!" jawab Prita lebih keras.

"Prita. Jawabanmu tepat sekali. Kita orang Indonesia. Kita di sini belajar bahasa asing. Tapi jangan melupakan bahasa kita sendiri. Jangan merasa sok, karena masuk ke jurusan Sastra Inggris. Di sini saya lebih banyak menggunakan bahasa pengantar, Bahasa Indonesia. Tapi jika kita berlatih, saya akan menggunakan Bahasa Inggris." Bayu melangkah kembali ke dekat whiteboard.

"Saya akan menjelaskan pelafalan Bahasa Inggris, lalu membandingkannya dengan Bahasa Indonesia. Supaya anda semua tahu, bahwa Bahasa kita adalah bahasa yang konsisten. Dan setelah anda belajar pelafalan Bahasa Inggris, anda akan menjadi bangga terhadap Bahasa Indonesia." Bayu menjelaskan panjang lebar.

Prita tertegun. Ia merasa Bayu lebih mengagungkan Bahasa Indonesia seperti dirinya. Ia mulai tertarik. Ia memerhatikan semua penjelasan Bayu. Ia menjelaskan pelafalan Bahasa Inggris lalu Indonesia. Bayu membandingkannya. Prita mulai mengerti. Ia suka. Ia jatuh cinta pada cara Bayu mengajar. Bukan hanya mengajar Pronunciation, tapi membandingkannya dengan pelafalan Bahasa Indonesia. Hebat! Dosen satu ini luar biasa! Hatinya bersorak.

Hari ini Prita merasa puas. Ternyata saat ia terdampar, ia masih menemukan Bahasa Indonesia. Ia mulai sedikit mengerti perbedaan lafal Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Wajahnya sumringah. Biasanya ia hanya belajar Grammar melulu. Pusing! Hari ini ia mendapat pelajaran baru. Belajar melafal. Walau Bayu baru menjelaskan pelafalan vokal Bahasa Inggris yang ternyata sangat banyak. Bahasa aneh. Itu yang selalu ada di pikiran Prita. Ya, bagi Prita Bahasa Inggris itu aneh. Di susunan abjad hanya ada lima vokal. Tapi dalam pengucapan bisa banyak sekali. Sedang Bahasa Indonesia di susunan abjad ada lima vokal, dalam pengucapan tetap ada lima vokal, ditambah diftong. Sungguh, Bahasa Indonesia adalah bahasa yang luar biasa. Dan lagi orang Indonesia bisa mengucapkan semua abjad. Berbeda dengan orang China atau pun bangsa lain. Ada beberapa huruf yang tidak bisa mereka ucapkan. Ia bangga lahir di negara ini. Negara dengan bahasa terbaik di dunia. Mungkin suatu saat, Bahasa Indonesia sudah mendunia. Saat ini saja negara-negara lain, banyak yang sudah mempelajari Bahasa Indonesia. Di Korea Selatan saja sudah ada universitas jurusan Bahasa Indonesia.

***

Catatan kaki:

Pronunciation: Pelafalan

Structures: Susunan kalimat, kalau di Sekolah Menengah biasa disebut grammar/tata bahasa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top