: Master of Perfection :

Kadang, kita perlu nengok ke belakang sebentar dan bilang makasih sama masa lalu.

~ Miss Move On versi bijak ~





(*)





Gue cuma bisa bengong ngelihat sebox premium set beef teriyaki yang diantar Pak Yayan--office boy kantor, dan katanya itu buat gue. Padahal gue sama sekali nggak pesen. Ya kali gue yang lagi ngirit buang-buang duit cuma buat sekali makan. Kan sayaang.

"Tapi saya nggak pesen, Pak. Emang katanya buat saya gitu?"

"Lah iya. Wong tadi jarene itu pesenan atas nama Brigita, gitu ngomongnya." (jarene = katanya)

"Terus ini tadi pake uang siapa bayarnya? Salah kali, saya nggak pesen, kok."

"Lah saya nggak tahu lah. Cuma nerima thok. Katanya juga udah dibayar," jelas Pak Yayan lagi pakai logat jawa yang nggak kira-kira medhoknya.

Gue pandangi sekali lagi sambil mikir. Ini kalau ditolak namanya mubazir, tapi kalau tahu-tahu mas yang nganter balik lagi terus bilang salah kirim? Mau nggak mau bayar dong. Gue punya duit sih, tapi kaaaan .... Ah, bodo amatlah. Apes-apesan aja.

"Bener nih, ya buat saya!" tegas gue lagi.

"Iya! Emang ada berapa Brigita sih di sini."

Nih, Pak Yayan udah mulai sewot kayaknya. Mungkin kesel karena gue ngotot kali ya ... sambil nahan nafsu juga mau ambil alih kalau-kalau gue nggak mau terima. Lumayan kan tuh, maksi gratis.

"Ya udah sini!" putus gue akhirnya sambil menerima makanan yang dikemas pakai box kuning dari tangan Pak Yayan.

"Nah, gitu dong!"

Gue terkekeh sendiri dengerin nih bapak-bapak uzur ngomel. Sebelum Pak Yayan bener-bener pergi, gue masih sempet ngasih sebungkus nasi padang yang tadi gue beli sebagai wujud terima kasih. Muka Pak Yayan langsung semringah, seolah-olah bilang, "dari tadi kek!"

Sekarang, jidat gue kerut-kerut deh mandangi tuh box sambil mikir gimana asal-usulnya sampai bisa nyasar ke tangan gue. Perasaan nama gue nggak pasaran, ah, jadi kemungkinannya kecil kalau salah kirim. Kecuali emang ada Hamba Allah suka beramal yang emang sengaja traktir gue tanpa sebut nama. Uh, gue doain deh tuh orang hidupnya berkah, banyak rejeki, digampangin urusan cintanya biar nggak galon mulu kayak Dian. Bah!

Berhubung yang lain pada makan di luar, jadi gue putuskan buat makan di pantry. Biar deket sama minum, soalnya nih menu bikin seret. Sedangkan gue kalau makan kan lebih suka pakai kuah. Tapi ya, namanya juga rejeki nomplok, kalau request kan nggak sopan banget kayaknya.

"Hei, Bri. Tumben nggak keluar?" sapa Bimo yang ternyata juga ada di pantry lagi minum Bear Brand sambil nonton berita di tivi. "Wuiih ... enak, nih!" ledeknya pas ngelihat makanan yang gue bawa.

"Iyalah, bosen gue makan mie mulu. Ntar lama-lama melar deh usus."

Bimo ketawa pelan sambil menarik kursi buat gue duduk. Duh manisnya.

"Ciyee yang ngirit. Biar bisa beli jam ya."

Gue tarik lagi ah komentar manisnya. "Bawel lo, ah!" dengus gue sambil mulai makan. Omong-omong nih resto gue perhatiin makin pelit aja ya ngasih salad. Ya kali nggak imbang banget sama menunya. Nasi padat, lauk segambreng, lah salad cuma secuil doang. Ini sih gue sekali suap langsung abis.

"Eh, Bri, lo mau dateng ke reuni nggak?"

Pas gue lirik, Bimo ternyata sama sekali nggak ngelihat ke arah gue dan masih mantengin TV di layar yang masih aja nayangin berita penistaan agama. Duh capek deh gue ngikutinnya.

"Kayaknya dateng."

"Kok, kayaknya?" Nah, ini baru deh dia nengok.

"Ya, kalau mendadak gue sakit, atau mendadak gue ada acara, ya nggak dateng."

"Mau bareng sama--"

Uhuk!

Kan, gini nih kalau gue makan nggak pakai kuah, seret plus gampang keselek. Bimo yang ngelihat akhirnya nepuk-nepuk punggung gue pelan. Sebelah tangannya dengan sigap langsung ngasih ngambil susu beruang miliknya dan dikasih ke gue.

"Kalau makan tuh pelan-pelan dong, Bri!" omelnya penuh perhatian. Tangan kanannya sekarang ngusap-usap punggung gue dan asli gue jadi enak ... eh, nggak enak maksudnya.

"Thanks ya, Bim. Eh, abis nih susunya!"

"Nggak apa-apa. Masih banyak tuh di box, ambil aja katanya."

Refleks gue menoleh ke kanan dan benar aja, di atas counter ada satu box susu beruang yang isinya paling baru berkurang empat atau lima kaleng. Melihatnya, gue jadi inget tadi pagi waktu gue baru datang dan di meja gue lihat ada satu kaleng susu. Kata Bebi, dia juga dapet, jadi ya gue minum aja tanpa tanya-tanya siapa yang bagiin pagi-pagi.

"Lo yang bawa?" tanya gue ke Bimo yang sekarang udah fokus ngelihat tivi lagi.

"Bukan gue. Si Irgi, tuh. Katanya yang mau ambil aja!"

Mendadak, makanan yang lagi gue kunyah berasa tambah seret. Kemewahan kecil yang lagi gue nikmatin tiba-tiba jadi nggak nikmat lagi. Sementara otak gue jungkir balik mikirin kemungkinan-kemungkinan yang bikin dada gue jadi deg-degan. Jangan-jangan....

"Eh, si Irgi ada nggak sih di ruangan? Gue lupa tadi mau discuss sama dia."

"Nggak ada. Dia makan di Bento bareng Pak Paulus!"

Dan gue pun keselek lagi.





(*)





Jangan gara-gara serius belajar jadi lupa makan ya, Bi. Love you.

Gue masih inget, hampir tiap hari Irgi ngirim pesan semacam itu. Jangan lupa makan; selamat tidur, semoga mimpi indah; selamat pagi, Baby; dan masih banyak lagi. Gue juga inget, gue butuh waktu lumayan lama, lumayan drama juga segala tarik napas buang napas sebelum akhirnya mutusin buat balas pesannya. Singkat, padat, jelas; iya makasih, kamu juga.

Kalau dipikir-pikir, dulu Irgi itu nggak ada kurangnya sama sekali jadi pacar. Dia itu penyayang, nggak pernah marah meski gue sering banget bikin dia nunggu lama kalau kita janjian. Bahasanya juga selalu lembut. Belum lagi otaknya yang encer dan seringkali gue manfaatin buat bantuin bikin PR. Irgi akan dengan senang hati jelasin panjang lebar sampai gue paham soal aljabar. Otak gue dari dulu emang belet banget kalau disuruh ngitung begituan. Tapi dia sabar banget loh. Dan gue sering trenyuh ngelihat usahanya buat bikin gue ngerti.

Soal perhatian, gue yakin Irgi nggak ada duanya. Kalau gue lagi ribet dan nggak sempet ke kantin, dia akan dateng ke kelas bawain gue makanan. Atau kalau jam olahraga yang kebetulan kelas gue selalu nabrak istirahat, Irgi selalu siap dengan sebotol air mineral dingin. Dia juga nggak pernah absen ngingetin gue bawa payung kalau pagi-pagi udah mendung.

Urusan pergaulan, Irgi juga nggak pernah rewel. Gue bebas aja mau temenan sama siapa, pergi sama siapa bahkan sama teman cowok sekalipun. Beda banget sama Ade, cowoknya Mia yang posesif dan mesti ikut kemana pun Mia pergi. Dan setiap kali gue tanya, Irgi selalu jawab, "Aku percaya sama kamu, Bi."

Di mata gue, Irgi itu benar-benar sosok yang dewasa, bahkan lebih dewasa dari usia seharusnya. Irgi yang ngefans berat sama Kahlil Gibran juga suka ngirimin kalimat-kalimat puitis yang kadang bingung mesti gue bales gimana. Dua bulan pacaran, Irgi juga nggak pernah neko-neko. Dia cuma berani menggandeng, merangkul, dan kadang bawain buku paket yang tebel sampai ke depan kelas. Kadang, waktu buku itu gue buka, gue akan nemuin surat pendek yang ditulis tangan rapi. Dan yang paling gue inget dia pernah nulis 'Andai aku mampu melukiskan ciumanku pada lembaran-lembaran kertas, niscaya engkau akan akan menggantikan kedua matamu dengan bibir untuk membaca tulisanku' yang katanya dia kutip dari bukunya Mustafa Luthfi berjudul Sang Penyair.

Gue inget suatu malam dia main ke rumah dan selama satu jam lebih kita duduk di teras, melihat bintang yang bertebaran kayak pasir. Waktu itu Irgi cerita tentang Vega dan Altair yang konon perwujudan Orihime dan Hikoboshi. Orihime itu putri Raja Langit yang suka menenun dan Hikoboshi cuma penggembala sapi. Karena raja Langit suka sama Hikoboshi yang rajin bekerja, mereka pun diizinin buat nikah. Tapi, setelah nikah Raja Langit malah jadi marah karena Orihime nggak lagi menenun, dan Hikoboshi berhenti menggembala sampai mereka dihukum dan dipisah. Mereka cuma boleh ketemu satu tahun satu kali di malam ketujuh bulan ketujuh.

Di usia gue saat itu, gue benar-benar nggak bisa paham dengan semangat romantisme yang sebegitunya. Irgi itu remaja yang benar-benar dewasa di usia delapan belas yang menyampaikan pendapat dan pikirannya dengan bijak, yang nggak suka Luffi kayak temen-temen cowok di kelas, yang suka baca buku puisi sampai malam. Dan gue bahkan nggak ngerti kenapa pas itu Irgi lebih suka Eric Clapton dari pada Billie Joe Armstrong. Menurut gue sih itu aneh. Irgi bahkan pernah ngasih gue print out lirik lagunya Eric yang Tears in Heaven dengan kalimat yang udah dikasih garis bawah, "Would you know my name, if I saw you in heaven."

Buat ngadepin Irgi, satu-satunya cara yang gue tahu cuma satu, gue belajar bbuat suka baca buku sastra juga. Gue sering nganggap kalau itu harga yang pantas buat bayar semua perhatian Irgi ke gue. Gue mungkin terlalu muda, tapi gue tahu kalau gue juga peduli dan sayang sama dia meski mungkin nggak sebesar perasaan dia yang sama sekali nggak masuk dengan logika tujuh belas gue.

Gue pikir, rasa peduli gue itu cukup besar supaya gue bisa jadi yang Irgi suka, meski dia nggak pernah menuntut. Tapi, di waktu yang sama, gue seperti membangun tembok, membangun jarak karena gue khawatir dia akan nemuin gue yang palsu.

Dan saat itulah gue sadar satu hal; gue takut. Gue takut Irgi tahu kalau gue ternyata nggak cukup dewasa menghadapi sifatnya yang nyaris nggak ada cacat.

Pertanyaannya, kalau gue punya kesempatan buat nyoba sekali lagi, apa sekarang gue cukup dewasa buat ngadepin Irgi dan kesempurnaannya? Sampai kepala gue berat dan akhirnya ketiduran pas tengah malam, gue masih nggak tahu jawabannya. Tapi, dalam tidur gue mimpi. Gue mimpi ngelihat Irgi main gitar sambil nyanyi Tears in Heaven. Dan setelah delapan tahun, buat pertama kalinya, gue suka lagu itu.







[...]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top