: Kenangan Mantan Itu... :

Karena siapa pun orang yang pernah datang di masa lalu, juga bagian yang ikut membentuk kita yang sekarang.

~ Miss Moving on versi Golden Ways ~

(*)

"Bi...."

Gue diem, kayak patung. Drama banget deh pokoknya. Tangan gue yang baru dua hari lalu di-pedi mencengkeram mug yang gue pegang kuat-kuat. Ini gue mau balik badan, mau sok biasa aja, kok rasanya susah ya? Duh Gusti, dari 250 juta orang di Indonesia ditambah 2000 orang asing yang tinggal di Lippo Cikarang, kenapa mesti dia sih? Why God? Why?

"Bi...."

Dan cuma ada satu orang yang manggil gue begini.

"Eh hai, Gi!" 

Fiuh ... akhirnya. Setelah baca yasin sama ayat kursi dalam hati, gue punya nyali juga buat menatap sosok yang manggil-manggil gue ini. Di depan gue, Irgi berdiri tegak dengan satu tangan ngumpet di kantong celana, persis pose model-model kece yang lagi manekin challenge. Eh!

Gue lirik muka gue sendiri di kaca yang digantung di dinding pantry, tepat di belakang Irgi. Rambut, cek; lipstick, cek; baju, cek; muka ... masih kece, belum kucel gara-gara pusing mikirin jam Esprit yang makin jauh dari jangkauan, apalagi di tanggal tua dan kartu kredit yang hampir over limit. Syukurlah tampang gue nggak malu-maluin bangat buat ketemu sama mantan. Oh yes, you heard me! Gue bilang; mantan.

"Kamu ... apa kabar?"

Ah, klasik banget nggak sih? Dari semua pertanyaan, apa kabar itu beneran kalimat tanya paling nggak guna menurut gue. Buat apa nanya kabar oang yang jelas-jelas ada di depan muka, sehat walafiat dan masih utuh? "Baik, Gi. Lo ... kurusan ya? Dulu ya ampun, kayak babi air yang nengok aja susah," ledek gue sok asyik. Jangan sampai ya ... jangan sampai Irgi tahu kalau gue lagi nahan groogi sekarang.

"Ya ampun. Emang aku segitunya ya dulu?"

Ciye, masih aku-kamu aja. Duh! Gue ketawa ajalah. Biar lemes dan nggak kaku juga depan Irgi yang sumpah demi Loki berubah jadi ganteng gini. Deket-deket sama doi, gue mendadak berasa kayak upik abu. 

"Nggak kok. Gue bercanda aja kali. Kok lo bisa masuk sini, sih? Bukannya lo dikirim ke Korea sama LG ya? Kan enak, ngapain di sini?"

"Kok tahu aku dikirim ke Korea?"

Nah kan! Yang begini ini nih yang kadang suka bikin gue males. Tinggal jawab kek nggak usah tanya tahu dari mana apa susahnya sih? Nggak mungkin juga kan gue jawab kalau gue tahu dari sosmednya yang sering upload foto-foto di Korea? Mau dikemanain harga diri gue sebagai cewek paling kece se-Jaya Metal plus mantannya dia?

"Ya elah. Denger aja dari anak-anak." Nice shot, Bri! Buat para cowok, jangan pernah remehin kemampuan multitasking cewek. Selain punya insting detektif tinggi, kita juga ahli manipulasi.

"Oh, kirain! Aku di sana cuma dua tahun kok, terus udahannya ya balik lagi ke kantor Tangerang. Tapi berhubung LG Phillips mau tutup dan pabrik Tangerang mau merger sama MM, jadi ya ... tahu kan pasti, malesin. Jadi yah ... resign sebelum kena pengurangan."

"Nggak mungkinlah kena pengurangan. Udah dikirim ke Korea segala. Emang masih kontrak, kan enggak." Eh, ini posisi kita udah enak banget loh. Gue nyender di tembok, sebelah tangan gue dilipat depan dada dan sebelah lagi megang mug, sedangkan Irgi masih berdiri tegak dengan gaya cool-nya, miring sedikiiit aja mirip posenya Gigi Hadid sama Zayn di cover Vogue. Uh, romatisnya.

"Ya emang sih. Tapi kalau dipindah ke Cibitung terus ketemu sama yang lebih senior, duh ... males deh jadi anak bawang lagi. Nah, kebetulan kantor Tangerang ambil mesin dulu di sini, jadi aku kenal Pak Paulus dan ditawari gantiin Mbak Alma. Ditambah ... aku tahu ada kamu di sini."

Eh, wait! Ini dia bercanda kan ya. Irgi lagi godain gue doang kan, ya? Maksud gue ... ealah ini apaan sih? Kan gue jadi salah tingkah, kan.

"Hah!" Bego! Ini kok sempet-sempetnya gue bereaksi kayak gini. Tampang gue pasti bloon banget sekarang. Tapi nggak lama, karena beberapa detik setelahnya gue langsung berasa kayak 'damn, gue kena' apalagi pas lihat tampang Irgi yang nahan ketawa.

"Aku bercanda, Bi. Ya ampun segitunya!"

Duh, gue pengin ngomong kasar tapi nanti image gue jadi nggak berkelas. Shit-lah!

"Basi lo! Udah, ah gue mau balik ke meja gue. Gue belum ngerjain penawaran Hankook." Gue maju satu lagkah dan sialnya Irgi nggak mau mundur sampai gue terpaksa melotot dan tuh orang malah ketawa. Gue maju lagi, dan dia masih nggak mau mundur lagi bikin dada gue hampir——hampir loh ya——nempel ke dadanya dia yang minta banget disenderin. Lapang kayak lapangan badminton.

Gue baru mau ngomel, eh mendadak pintu pantry kebuka dan ....

"Eh, kalian di sini? Ehm, Bri, Hankook udah lo kerjain belum? Mr Jong-nya nanyain ke gue barusan!"

Gue biasa aja. Gue biasa aja. Gue berusaha biasa aja, tapi malah jadinya nggak biasa. Gue bolak-balik natap Irgi Bimo, Irgi Bimo sampai ... ya sampai gue sadar kalau reaksi gue malah jadi nggak natural. Double sialan.

"Iya nih gue mau ngerjain, Bim. Barusan gue bikin kopi bentar!"

"Okey!"

Bisa gue lihat, pandangan Bimo yang melirik Irgi sekilas sebelum akhirnya pergi. Dan waktu gue lihat muka Irgi, ternyata dia masih melihat ke pintu yang barusan ditutup Bimo. Entah apa yang dilihat Irgi di situ. Ekspresi mukanya datar, tenang, sama seperti dulu, delapan tahun lalu. Ah, kalau lagi begini gue langsung merasa berdosa karena sering ngeledekin Dian galon dari Ega. Padahal ya ... ah, udahlah.

Memanfaatkan jarak yang longgar karena Irgi akhirnya mundur dan gue bisa kabur, akhirnya gue juga berpamitan dan meninggalkan Irgi di pantry sendirian. Tapi sebelum gue benar-benar pergi, pria jangkung berkulit sawo matang itu masih sempat manggil gue terus bilang, "Bi, lama nggak ketemu kamu ...tambah manis. Jauh lebih manis daripada foto-foto yang kamu upload di IG!"

Tahu reaksi gue pas dengar Irgi ngomong gitu? Bengong! Persis kayak anak pesantren pertama kali lihat video porno.



(*)



"Aku ... aku suka sama kamu, Bi!"

"Bri ... nama gue Brigita, Kak, bukan Bigita."

"Whatever! Aku suka sama kamu, Brigita. Kamu ... mau nggak jadi pacar aku!"

Gue masih inget tampangnya waktu itu; culun! Ditambah lagi kacamata yang framenya tebal mirip punya Betty Lafea——tapi nggak separah itu sih——dan muka keringetan entah saking groginya atau gerah karena matahari yang emang lagi tinggi-tingginya. Irgi Adhitya, kakak kelas yang waktu itu berdiri sambil bawa tobleron menatap gue lekat-lekat, seolah pengin bilang, "Buruan jawab! Panas nih!"

Ada jeda sekitar setengah menit buat gue menelisik mukanya dia sekali lagi. Manis sih, cuma kebanyakan lemak. Sedangkan gue lebih suka cowok junkies daripada chubby. Tapi, gue kenal gimana Irgi. Dia pintar, jago matematika, langganan juara kelas. Dia bahkan masuk tim olimpiade Matematika SMA dan pernah jadi wakil ketua OSIS. Dan yang paling nggak bisa gue lupain, dia mau repot-repot bantuin adik kelas yang diomelin gara-gara ngejatuhin rak sampai buku-buku di perpus berantakan. Untung rak kecil, coba kalau rak yang gedenya nggak kira-kira itu. Dan dari sekian banyak orang yang cuma ngelihatin, Irgi rela bantuin sampai selesai. Ini kalau gue nggak mau nerima dia, gue bego. Tapi ... ya ampun, emang gue udah pantes apa pacar-pacaran? Pakai seragam putih abu-abu aja baru enam bulan, udah sok sokan aja mau jalan sama kakak kelas.

"Bi.... Jawaban kamu apa?"

Waktu itu di usia gue yang baru enam belas dan belum pernah punya pengalaman pacaran, ya jelas bingung. Boro-boro pacaran, lah ke sekolah aja masih dianterin Bapak. Pulang dijemput ojek langganan, kalau telat sampai rumah bisa dipastiin Mbah kung sama Mbah ti di Purwokerto bakal ikutan heboh nanyain gue lagi di mana. Ya keluarga gue sedrama itu emang dan Bapak kayaknya masih susah nerima kenyataan kalau anak gadisnya udah mulai ranum dan bikin bajing-bajing jantan blingsatan pengin metik. Ceila, bahasa gue.

"Bi...," panggil Irgi lagi. Gue masih inget dengan jelas——banget malah——gimana mata cokelatnya yang lembut kayak warna teddy bear gue di rumah masih menatap gue, makin lekat. Lalu, di detik kesekian, gue berasa kayak kesambet. Entah setan mana yang lewat siang itu, karena gue mendadak nggak bisa mengendalikan otot-otot gue. Mulut gue seperti bisa gerak sendiri, nggak terkontrol. Dan meski gue nggak jawab apa-apa, tapi anggukan gue jelas jadi jawaban buat Irgi. Melihat gerakan malu-malu tai kucing gue itu, Irgi langsung tersenyum dan sumpah demi Loki lagi——eh waktu itu belum ada Loki deng——itu senyum cerah banget. Kalah matahari jam satu siang di tengah lapangan basket yang jadi saksi gimana akhirnya gue menerima Irgi sebagai pacar gue, pacar pertama gue.

"Wooi ... bengong aja lo! Mesum lo ya bayangin yang iya-iya!"

Gue kasih tahu ya, kalau ada orang paling ngeselin, songong, kampretnya kampret yang suka masuk kamar orang sembaragan tanpa ijin, ya cuma yang satu ini, Devi Anugra. Gue yakin tujuh puluh persen, bapaknya salah kasih nama dulu. Ya bayangin aja, masa yang model begini dibilang anugerah sih.

"Eh, eh siapa tuh!" tanyanya lagi yang bukan cuma sukses bikin gue sadar dari lamunan nikmat gue, tapi juga sadar kalau temen kos gue ini juga lagi menikmati muka kiyutnya Irgi.

"Apa sih!" Ingat kalau keponya Devi kadang bisa jadi bencana, gue langsung matiin laptop langsung dari tombol power. Nggak bakalan gue kasih dia kesempatan buat bully gue.

"Ciyeee yang lagi inget-inget mantan! Uhuk!"

Shit! Sekarang ngerti kan kenapa dia jadi kampret dari segala kampret?

"Bawel lo, ah. Kebiasaan deh lo kalau masuk kamar orang nggak ketok pintu dulu. Mau ngapain?"

"Itu siapa? Beneran mantan lo ya? Kok gans sih."

Tarik napas, buang napas. "Devi sayang ... Devi mau apa? Mau minjem hairdryer? Sisir? Cebanan. Gue kasih free, minggir tapi!" omel gue sambil mendesak body kurusnya yang udah nemplok dan ikut-ikutan tengkurap di kasur gue.

"Ya ampun, kenapa sih suuzon terus sama gue. Whay? Whay?"

Ah, mulai deh lebaynya kumat nih anak. Gue kadang termotivasi kerja dan ngumpulin uang banyak buat beli apartemen tuh ya gini, biar nggak perlu lagi tinggal di kosan yang isinya enam belas cewek terutama sosok makhluk absurd yang pengin buru-buru gue pites kalau ketemu. "Lebay lo, ah!" dengus gue lagi dan sialnya, yang bersangkutan bukannya ngerasa nggak enak atau apa gitu, malah ketawa ngakak.

"Eh, gue beneran nanya, itu mantan? Apa masih calon gebetan. Gantegan yang ini daripada yang tempo hari nyamperin lo!"

"Yang mana?"

"Yang waktu nonton sama lo terus pulangnya bawain gue martabak. Itu ganteng juga, tapi gantengan yang tadi."

"Cepat banget lo kalau liat yang ganteng-ganteng. Bimo maksudnya? Ya elah itu mah...." Gue diam sebentar, nggak berani melanjutkan apalagi di depan Devi yang hobinya keceplosan di medsos. "... atasan gue itu mah!"

"Lah kalau yang tadi?"

"Yang tadi ... ya atasan gue juga!"

"Ebazeng, seriusan? Lah gue mau kerja di tempat lo aja deh kalau gitu."

Gue putar aja bola mata gue depan mukanya Devi yang sok imut. Emang benar kata orang, bibir tipis itu banyak omong, dan seenaknya yang pasti. Ya kali mau kerja cuma gara-gara lihat cowok bening doang.

Malas meladeni, gue bangun dan menyimpan laptop di meja. Devi yang ikutan bangun dan duduk nyender di punggung kasur cuma ngelihatin gue ambil minum sebelum akhirnya gue ikutan duduk di sebelahnya.

"Jadi ...," dia mulai buka suara lagi, "yang mantan lo yang mana?"

Gue menghela napas, meyakinkan diri gue sendiri. Seriusan nih gue buka mulut sama transmigran pluto ini? Gue lirik Devi sekilas yang menatap gue penuh harap. "Dua-duanya!"

"Mate gue! Serius lo?"

Gue menggangguk pelan.

"Terus yang bikin lo galon."

Heuh, gue benci kata itu. Siapa sih sebetulnya yang pertama nyiptain kata-kata galon alias gagal move on? Maksud gue, ayolaah ... nggak semua kenangan harus dilupain kan? Nggak semua orang-orang yang pernah datang di hidup kita dan akhirnya pergi nggak harus dianggap bagian dari sejarah yang mesti dikubur hidup-hidup, kan? Bukannya mereka juga bagian dari kita yang sampai kapan pun, suka nggak suka, ikut membentuk diri kita yang sekarang? Lantas, cuma karena kita meluangkan beberapa malam buat mengingat-igat lagi tentang mereka, itu artinya kita nggak bisa move on? Masih dibayang-bayangi masa lalu?

Kalau ada Dian sekarang, dia pasti bakal ngumpulin semua kata-kata motivasi gue ke dia, diketik rapi di komputer pake TNR 12pt, spasi satu koma lima terus di-print di kertas A4, dijilid rapi dan dilempar ke muka gue. Apa kata dunia kalau tahu, orang yang paling berkoar-koar soal ngelupain mantan justru orang yang masih susah lepas dari bayang-bayang mantan? Kalau waktu bisa diputer lagi, gue berharap gue bisa memperbaiki apa yang pernah gue lewatin. Ya gue tahu sih kalau itu nggak mungkin. Dan gue juga tahu kalau kesalahan itu bisa gue jadikan pelajaran sekarang, tapi ... tapi gini-gini gue kan cewek yang meski nggak mau kelihatan dari luar, tetep aja punya hati sensitif kayak pantat bayi.

"Wooi ... bengong! Yang bikin lo galon yang mana? Yang masih suka lo inget-inget? Yang masih suka——"

"Dua-duanya!"

"Pantai!"

Lalu, melayanglah bantal hello kitty warna pink ke muka gue.



[...]

Ternyata enak juga ya nulis pake gaya begini. Sekali ngadep lappy langsung jadi😂😂 coba cerita sebelah, udahlah lama duduk, ngetik cuma dapet ratusan. Pas dibaca gaje. Hapus hapus hapus...kwkwkwk.

Anyway, jangan banyak berharap sama cerita ini. Karena ini dibikin santai, just for fun, buat ngisi waktu sahur biar gak tidur lagi. Ini juga klise, ngalir aja sama kisahnya brigita tanpa mesti tebak-tebak gombal endingnya sama sapa. Tapi mau nebak juga boleh😙😙

Kiss kiss 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top