: Kalau Move On, Dilarang Baper :
Karena nggak semua bagian dari masa lalu itu harus dilupain
~ Miss Move On cari pembenaran ~
(*)
Rabu malam. Di langit nggak ada bintang sama sekali, gelap tapi mendung, dan hawanya juga dingin. Gue sampai berkali-kali mengusap lengan biar nggak terlalu berasa dinginnya. Angin malam berembus dan bikin anak-anak rambut gue yang bandel keluar ikatan jadi berantakan. Kalau bukan karena nyamuk yang nggak ada takut-takutnya ditabok, ini suasana di teras romantis banget sumpah.
"Bri...."
Gue menoleh dan mendapati Bimo lagi menatap gue. Matanya hitam——persis kayak langit malam ini——tapi nggak terlalu gede. Soalnya setengah gen Bimo itu chinese yang bikin matanya jadi agak sipit. Rambutnya yang ikal juga udah mulai panjang dan nusuk-nusuk kupingnya yang punya bekas tindikan. Kulitnya putih, malah lebih putih dari gue yang khas Jawa sawo mateng manis gitu deh.
"Lo dengerin gue nggak sih, Bri!" protes Bimo lagi ngelihat gue yang senyam-senyum doang.
"Denger kok. Jadi ... ehm, apa yah tadi."
"Tuh kan! Kebiasaan deh kalau udah ngelamun. Lo ada container lewat juga nggak bakal ngeh, Bri!"
"Duh, lo kalau bikin pengandaian yang masuk akal dong, Bim. Mana mungkin container masuk kompleks, masuk Lippo aja udah diuber sekuriti."
Bimo menghela napas, capek kayaknya ngomong sama gue. "Metafora, Bri. Saking lo tuh nggak bisa diganggu kalau udah bengong. Bagus nggak kesambet."
Garing banget, Bim dan gue nggak ketawa sama sekali. Tapi demi kesopanan, gue senyum kok.
"Jadi soal target bulan ini, kayaknya khusus buat tim kalian masih disamain kayak bulan lalu."
"Oh iya iya itu. Gue denger tadi. Mungkin percobaan juga buat Irgi, ya. Tapi yakin emang Irgi bisa gantiin Mbak Alma? Emang sih basic-nya tuh engineer tapi dia kan nggak punya pengalaman marketing sama sekali."
"Lo juga dulu nggak punya."
"Tapi gue PR, human relation gue punya dasar!"
"Tapi kalau nggak ngerti machinery sama sekali repot kan? Siapa dulu yang nangis-nangis waktu gue suruh pelajarin modul, manual book, kata——"
"Sssst!"——refleks gue tangkup bibir merah Bimo pakai tangan gue——"move on, Mas! Yang udah lewat nggak usah diinget-inget lagi. Nggak baik!"
Bimo ketawa, ngakak, kenceng sampai diteriakin sama Mbak Laily, tante-tante perawan tua yang selalu urung-uringan kalau ada anak kos terima tamu cowok. Apalagi kalau pacaran depan matanya, wuih ... bisa dibacain yasiin sepaket sama doa mayit.
"Lo sih, ah, berisik!"
Bimo cuma mengangguk-angguk lugu sambil menahan tawa. Sebelah tangannya ngaak-ngacak rambut gue yang jadi makin berantakan dan sebelah lagi.... Eh, gue baru sadar kalau tangan sebelahnya lagi modus megang tangan gue yang tadi nangkup mulutnya dia. Kikuk, gue tarik tangan gue dari genggaman tangan besar Bimo.
"Tapi kan ... nggak semua yang udah lewat harus dilupain kan, Bri!"
Gue nggak suka ah kalau suasananya udah mulai nggak asyik gini. Sebetulnya biasa aja sih dan Bimo juga suka bercanda gitu sama cewek-cewek di kantor, apalagi sama si Meridian Bebi yang emang ngefans berat sama dia. Cuma ... cuma ya, kalau dulu kita nggak punya history sih nggak apa-apa. Meski cuma sebentar, tetep aja faktanya gue sama Bimo pernah pacaran. Lah kalau gue baper dimodusin gitu gimana?
"Iyalah jelas. Utangnya Dian dari tahun lalu masih gue inget-inget. Nggak bisa move on gue gara-gara itu!" Dan Bimo ketawa lagi.
"Dasar! Lo tuh emang ya, kalau urusan duit jempolan banget. Kenapa nggak jadi accounting aja sih, enak kan tuh ngitungin duit mulu."
"Mana enaknya? Ngitung duit sih ngitung duit. Lah gue baper mulu ntar tiap sore kalau inget seharian ngitung duit punya orang. Baper tuh capek tahu, Bim."
"Hmm ... iya sih. Baper emang bikin capek. Gue juga kadang capek!"
"Huelaah, baper sama siapa lo. Cowok baperan tuh cocoknya di tempat ngegym atau nggak di Sency sono tuh. Body gede, kaus ketat, V-neck eh pantatnya longgar!"
Gue pikir, ya tadinya gue pikir, Bimo bakalan ketawa, ternyata enggak. Boro-boro ketawa, senyum aja enggak. Malah matanya yang gue bilang hitam pekat itu melebar——bukan melotot——dan menatap gue tajam seolah gue baru aja bikin dosa besar. Gue sampai mikir loh ini gue salah ngomong apa gimana. Apa jangan-jangan Bimo itu salah satu dari kaum bottom yang kesinggug sama omongan gue? Ya tampilan dia ada sih emang; body oke, putih, tapi kalau gay? Gue sampai refleks geleng-geleng buat ngebuang pikiran ngasal gue barusan.
"Aku sering baper, Bri! Gara-gara kamu!"
Gue nggak lihat ada bintang jatuh. Ya, jangankan bintang jatuh, bintang biasa aja nggak ada yang nongol. Tapi toh gue tetep berharap, berdoa dalam hati semoga barusan gue salah denger.
(*)
"Jadi, sekali lagi saya minta bantuan semuanya, ya. Jangan anggap saya leader, tapi anggap aja saya sama seperti kalian. Kita tim, kita sama-sama belajar, sama-sama kejar target. Saya belajar marketing, dan semoga ilmu engineering saya bisa bermanfaat buat tim ini."
Jam udah menunjuk angka sebelas lewat tiga puluh lima waktu Irgi selesai ngasih briefing——briefing apa sampai sejam gini——bareng tim marketing sparepart yang totalnya lima orang termasuk dia. Biasalah, speech singkat biar akrab sama tim sendiri, apalagi dia kan leader dan kinerjanya ngaruh banget sama kerja tim. Gue udah hampir sampai pintu, sebelum Irgi manggil dan bikin gue terpaksa masuk lagi ke ruang meeting. Cuma tinggal kita berdua karena yang lain udah keluar duluan.
"Aku ada mau visit ke GS Battery Karawang. Ada kenalan yang kerja di sana, cuma ...."
Irgi kelihatan nggak yakin mau ngomong apa, dan sebagai anak buah yang baik gue sabar nunggu sambil mandangin mukanya yang asli berubah banget dibanding pas SMA. Kalau dulu garis mukanya nggak jelas karena ketutup lemak, sekarang sebaliknya. Rahangnya tegas, terus ada jenggot-jenggot tipis gitu yang bikin dia jadi kelihatan macho. Body-nya nggak gede-gede banget macam binaragawan tapi teteplah kelihatan tuh otot lumayan keras. Ngangkat gue kecil itu mah. Eh, ini apa coba!
"Cuma apa?" potong gue akhirnya karena dia kelamaan mikir.
"Cuma ... aku belum tahu banyak kan soal produk di sini, belum tahu juga gimana jadi marketing biar mereka tertarik sama barang kita, those kinda things-lah."
"And?"
"Kamu temenin aku ketemu mereka ya. Kalau purchasingnya temenku sih nggak apa-apa, masalahnya dia cuma GA di sana. Dan hari ini dia mau ngenalin ke purchasing sama maintenance. Kamu udah ada schedule keluar hari ini?"
"Hmm ... keluar sih nggak ada cuma.... Gue mau ngerjain evaluasi punya Dharma. Ehm, minta temenin Bebi atau Wahyu aja, banyak senggang kayaknya," bohong gue. Sebenernya gue cuma cari alasan sih. Gue sih nggak sibuk-sibuk banget dan bisa aja nemenin dia ke Karawang, tapi nggak tahu kenapa perasaan gue kayak belum nyaman berduaan sama Irgi. Kan nggak lucu kalau tahu-tahu gue pingsan saking deg-degannya.
"Kamu ... sibuk atau nggak mau? Bukan karena aku yang ngajak, kan?"
Gue buang napas dalam. Ternyata Irgi beneran nggak berubah ya. Masih peka, sensitif dan pengertian banget. Kalau dulu sih gue seneng-senang aja sama sifatnya dia yang sweet gini. Tapi sekarang? Serius gue nggak nyaman. Gue takut kalau-kalau gue——
"Bi!"
"Ya! Yaudah gue temenin. Perginya abis maksi, kan? Gue selesein kerjaan gue dulu!"
Tanpa menunggu reaksi Irgi, gue kabur dari ruang meeting dan ninggalin dia sendirian, sementara mulut gue sibuk komat-kamit mengutuk organ-organ gue yang mendadak jadi lebay gara-gara ngebayangin bakal berdua sama Irgi sesiangan. Jantung gue nggak kira-kira berisiknya. Ini kalau diukur pake ECG kayaknya nggak tujuh puluh per menit lagi deh, tapi dua ratus sepuluh. Tekanan darah gue juga pasti naik jadi seratus empat puluh. Oke, ini alay abis. Tapi, Irgi beneran sukses bikin perasaan gue jadi nggak karuan.
Sialnya, gue masih di lorong dan belum sampai ke kubikel, tuh orang udah manggil lagi.
"Kenapa lagi?" tanya gue sok cuek. Aslinya, darah gue udah banjir di dalem, kena senggol dikit bisa mimisan nih gue. Duh, jadi inget Bebi yang pingsan di kantor dan pas diangkat Bimo ke pantry, dia malah mimisan. Buset, apa kabar dicium? Bisa tergelinjang-gelinjang gitu kayak tokoh cewek di CEO Kere yang gue baca di wattpad. Bah!
"Aku belum selesai tadi. Aku mau bilang kalau perginya sekarang aja."
"Nanggung maksi kali, Gi. Semangat sih semangat, jangan nyiksa anak buah dong. Lo nggak kasihan lihat gue kelaperan. Mana bulan ini gue mesti ngirit makan mie mulu."
Di depan gue, Irgi malah ketawa sambil ngacak-acak rambutnya yang klimis. Duh, mau dong mas diacak-acak juga. Eh ... eh, suara siapa sih itu.
"Aku mau ngajak kamu makan sekalian."
Santai, Bri, santai! Nggak usah lebay! Nggak usah baper! Makan siang doang! Wajar! Biasa aja! Ah, sialan banget emang nih otak gue. Di saat Irgi bener-bener kelihatan cool gini, pikiran gue malah blingsatan sendiri mikirin yang iya-iya.
"Lo yang traktir, kan!"
"Iya, Bi, iya. Ya udah kamu ambil tas dulu gih, aku tunggu di parkiran ya, Bi!" Irgi mengulas senyum manis ke gue dan nggak tahu kenapa gue malah bengong. Gue tahu ini malu-maluin banget, tapi ... entah gimana gue inget senyumnya waktu dia nembak gue dulu; sama persis kayak sekarang. Dan sialnya, gue kayak orang kesetrum——lagi——karena mendadak inget kalau Irgi sama sekali nggak berubah. Cara dia senyum, cara dia natap gue, cara dia ngomong, juga cara dia manggil nama gue. Ada nada perhatian yang nggak dibuat-buat. Semuanya natural.
"Gi!" panggil gue. Irgi yang udah hampir sampai di ujung lorong berhenti dan berbalik ke arah gue. Satu tangannya dimasukin ke kantong——gaya khasnya dari dulu——dan satu lagi di samping badannya yang sekarang junkies. Senyum manis itu masih awet di mukanya yang dihiasi kacamata, tapi sekarang nggak norak kayak dulu. "Panggil gue Bri aja. Kan nama gue Brigita!"
Irgi kayaknya terkekeh gitu. Gue nggak jelas dengernya, tapi bisa gue lihat gesturnya yang bikin gue malah makin deg-degan.
"Nggak mau, ah! Biarin aja gitu. Kayak dulu!"
"Tapi kan——"
Cepat, dia mengangkat telunjuknya, tanda supaya gue diam dan refleks gue pun diam. Irgi melempar senyum lagi sebelum akhirnya berbalik, ninggalin gue yang masih betah menatap punggungnya yang nemplokable itu.
"Aku suka manggil kamu Bi. Baby ... baby ... baby!"
Masih bisa gue denger suaranya yang rada berat itu, sebelum sosoknya benar-benar hilang ditelan tembok putih yang sekarang pasti lagi ngetawain gue karena terseret arus yang bikin otak gue terus-terusan munculin bayangan Irgi di masa lalu. Irgi yang masih jadi pacar gue.
Setelahnya, nggak ada lagi yang tersisa di kepala gue kecuali bayangan Dian yang nangisin Ega! Udah, cuma itu!
[...]
Nihlah buat yang nanya—emang ada, aku update siang-siang😆😆😆
Akhir-akhir ini lagi males banget baca buku tapi kalau lihat buku, bawaannya nafsu pengin ngeboyong. Abis lebaran, kayaknya ada yang mau ngasih nih. Dari Palembangkah? Apa dari Madura? 😙😙😙
Anyway, kalau ada yang suka baca buku dan mau kasih rekomendasi, komen dong. Lagi pengin naikin mood lagi. Kalau bisa yang tokohnya cewek dan pake pov 3.
Kiss Kiss 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top