: Hati oh Hati :

Kesempatan dalam kesempitan itu namanya oportunis

~ Miss Move On positive thinking ~



(*)




"Mau masuk ke dalem?"

Kalimat Irgi barusan sukses bikin gue sadar kalau udah kelamaan ngeliatin jam yang melambai-lambai dari etalase. Ya Tuhan, tuh jam kenapa minta diboyong banget, sih? Gue tatap sekilas muka Irgi yang ... eh, dia abis cuci muka ya? Kok kayak cling gitu. Gue curiga dia sekalian numpang mandi nih di toilet. Soalnya badannya juga seger, wangi. Nih dia pakai parfum apa sih sampai bikin hidung gue kayak herder gini?

"Nggak, ah!" tolak gue sambil berusaha menahan nafsu yang mulai nggak tahu diri. Nafsu pengin ngelus-elus tuh Esprit sama nafsu pengin ngendus Irgi.

"Why?"

"Nggak punya duit, ntar kalau gue nggak bisa jaga pandangan gimana? Kan dosa!" Eh, ini gue lagi nggak bercanda loh. Gue beneran takut nggak bisa nahan diri, sedangkan kondisi keuangan lagi kritis, lah Irginya malah ketawa. Kan kampret.

"Kamu ... beneran nggak berubah ya. Masih lucu kayak dulu."

Ini cerita judulnya apa sih? Move on kan? Kenapa orangnya pada galon semua coba?! Ini cowok juga rese sih. Kalau manis tuh mbok ya jangan kebangetan apa. Mana suaranya adem. Belum lagi jalan berduaan gini di mall, kan jadi ngingetin gue ke jaman dulu; jaman kita lagi lucu-lucunya, lagi mulai berani ngedate, pegangan tangan sambil malu-malu gitu.

"Lo juga nggak banyak berubah kok, Gi," bales gue sambil nyeruput macchiato yang tadi gue beli di Max Coffee.

"Masa sih nggak berubah? Yah, padahal aku bener-bener berusaha buat berubah loh. Aku sampai bela-belain ngegym tiap hari biar kurus. Aku inget kamu dulu suka komplain karena pipiku rada chubby."

Duh! Ini cowok kenapa jujur banget sih. Dia nggak tahu ya kalau perempuan itu makhluk lemah dan rapuh yang bisa dengan gampangnya meleleh sama gombalan-gombalan manis kayak gini. Ini kan antara gue jadi ngerasa bersalah——dikit——sama baper.

"Iya? Masa sih segitunya? Ngaco kali lo ah." Gue sih sok asyik aja. Like I said ya gengs, cewek itu jagonya memanipulasi perasaan.

"Beneran, lah! Aku masih inget loh semua yang kamu bilang ke aku. Dan aku beneran pengin kurus. Ya, jujur awalnya sih emang pengin buktiin ke kamu, eh lama-lama enak juga punya body kurusan."

"Jadi gampang nyari cewek, ya," ledek gue sementara Irgi cengar-cengir nggak jelas.

Duh, Mas kenapa sih giliran nggak diharepin malah peka, giliran diharepin peka malah nggak ngerasa. Ini kode loh, pertanyaan tersirat buat nanyain statusmu, Mas. Ah, payah nih si Irgi.

"Kalau kamu, Bi?"

"Gue? Gue kenapa?"

"Ehm, pasti banyak yang suka ya? Gue lihat di IG beberapa kali posting foto sama cowok. Lepas SMA, berapa kali ganti pacar?"

Yee ... malah dia yang nanya. "Yaelah, nggak sesering itu kali, Gi. Biasa aja."

"Kalau sekarang?"

"Hmm ... free!"

"Iya single gue tahu kok. Maksudnya ... lo nggak lagi deket sama siapaaa gituu."

"Ada! Nih sama lo lagi deketan. Ah, udah ah. Kalau sambil ngobrol jadi lama jalannya. Kalau kesorean ntar pulangnya macet."

Bukannya ngikutin gue yang mempercepat langkah, Irgi malah berhenti. Udah agak jauh gue baru ngeh kalau dia cuma berdiri di belakang gue. "Lah, kenapa?" tanya gue heran.

"Hmm ... sebenernya, tadi temen gue telpon. Dia bilang purchasingnya minta diundur aja ketemuannya sampai besok. Jadi ... kita bebas!"

Asli ya, ini gue nggak tahu lagi mau kesel apa gimana. Yang keluar di kepala gue tuh setumpuk file punya Dharma Polimetal yang mesti gue evaluasi——meskipun nggak urgent dan bisa ntar-ntaran——tapi gue tinggalin gara-gara nemenin dia yang katanya mau meeting, nggak tahunya batal? Dan kenapa feeling gue bilang kalau Irgi udah tahu dari tadi kalau planningnya dimundurin sampai besok?

"Terus?" komentar gue datar, sedatar muka gue yang nggak tahu mesti bereaksi kayak gimana lagi.

Di depan gue, sekitar empat langkah lebar kalau dikira-kira pakai kakinya Irgi yang jangkung, pria yang hari ini kelihatan manly abis pakai kemeja hitam panjang yang digulung sampai siku dan celana abu-abu monyet itu malah senyum-senyum. Jantung gue rasanya jumpalitan melihat lesung pipitnya yang ikut-ikutan nongol dan bikin senyumnya makin makin makin ... manis. Kalau tiap hari begini, perasaan gue yang pernah sakit bisa-bisa makin nggak sembuh-sembuh karena kadar gula di darah gue melonjak drastis. Bener kata dokter, hindari yang manis-manis.

Pelan, Irgi berjalan ke arah gue. Setiap langkahnya yang tenang bikin dada gue deg-degan. Dan sumpah ya, Loki bakalan jealous karena gue mesti menggeser posisinya sebagai pria paling seksi dan gue ganti sama Irgi.

"Kita ... nonton aja, yuk!" ajaknya begitu jarak kami udah dekat. Pas dia ngomong begitu, gue bisa mencium wangi mulutnya yang seger. Kayaknya dia abis kumur-kumur pakai mouth washer deh, soalnya aroma mint-nya kentara banget. Apalagi posisi kita deket blower dari salah satu store yang kebetulan dibuka pintunya. Beuuh ... wangi surga.

"Ta-tapi, Gi ... ini kan jam kerja!"

"Trust me, Bi. Santai aja."

Dan sebelum gue sempet menjawab, Irgi udah narik tangan gue, digandengnya kayak bapak-bapak yang takut anaknya ilang kalau dilepas. Begitu terus, sampai di depan bioskop dan sepanjang itu pula gue mesti kerja ekstra nenangin jantung gue yang malah salto bolak-balik,





(*)





"Itu yang anak pindahan bukan, sih?"

Mendengar pertanyaan Astri, gue yang lagi jalan ke kantin mau nggak mau ikutan menoleh ke lapangan. Siang hari itu panas, maklumlah istirahat kedua dan matahari emang lagi tinggi-tingginya. Tapi, beberapa anak cowok di sana seolah nggak peduli dan tetep aja cari keringat dengan main basket. Mata gue yang mencari tahu, nggak sengaja melihat sosok yang paling mencolok di antara anak cowok lainnya. Di tengah-tengah lapangan sana, seorang anak berambut tebal dengan kulit putih yang basah keringat lagi lari menerobos lawan dan langsung lompat tinggi. Nice layout dan sumpah di mata gue, itu keren abis.

"Yang mana? Yang barusan masukin bola itu?" Itu suara Mia, yang posisinya persis di samping gue.

"Iya, yang itu! Ganteng, ya?"

Gue nggak fokus lagi dengerin obrolan dua teman sekelas gue karena sibuk merhatiin cowok yang sekarang dengan gesitnya lari ke sana-sini. Hormon kewanitaan gue yang lagi dalam masa pertumbuhan langsung mengambil alih dan memengaruhi otak gue dengan sejuta rencana jahat. Embat aja, Bri! Gitu katanya.

Kalau bukan karena hampir nabrak siswa lain yang berlawanan arah, mungkin mata gue masih melotot ngelihatin tuh senior yang baru pindah dari Tangerang. Dengan sekali lihat, gue bisa tahu kalau tuh cowok berpotensi masuk Hot List dan sialnya, detik itu juga gue tahu kalau gue bakal jadi salah satu dari sekian banyak cewek yang histeris ngelihat dia lewat depan kelas.





(*)





"Gue tahu kalau gue udah punya cewek, tapi ... gue nggak bisa bohong kalau gue suka sama lo, Bri!"

Ini mimpi! Ya Gusti, ini mimpi kan, ya?

"Dan gue juga tahu kalau lo suka sama gue, kan?"

Nih cowok asli pedenya kebangetan. Tapi, sayangnya gue sadar sepenuh-penuhnya sadar kalau pedenya itu yang bikin gue naksir. Ada sesuatu yang nggak bisa gue jelasin setiap kali gue deket sama dia. Sesuatu yang bikin dada gue berisik——antara seneng campur takut. Sesuatu yang mirip kembang api, meledak-ledak gitu. Sesuatu yang nggak bisa gue dapetin saat gue sama cowok lain.

"Terus, maksudnya apa?"

"Kenapa kita nggak nikmatin perasaan kita aja, Bri. Kita juga masih muda kan? Kita nggak tahu nasib bakal bawa kita kemana."

Ah, terlalu naïf rasanya ngomongin nasib di usia gue yang baru menjelang tujuh belas. Masih banyak hal yang pengin gue raih. Masih banyak cita-cita yang pengin gue wujudin. Dan gue rasa, belum saatnya gue terlalu mikirin nasib.

"I like you. You like me. So... nggak ada yang salah karena nggak ada yang bisa milih hati kita mau suka sama siapa! Lo ngerti maksud gue kan, Bri?"

"Terus cewek lo gimana, Kak?"

"Viona kan di Tangerang. Nggak akan ada masalah. Yang jadi masalah, lo mau nggak sama gue? Gue rasa itu cukup fair."

Gue pernah denger, katanya cewek begitu dapet pacar sekali, next-nya lebih gampang dapet cowok lagi. Tahu deh itu mitos dari mana asalnya, yang jelas banyak temen-temen gue yang kemakan dan heboh break the egg dengan nerima siapa pun yang nembak. Yah, semacam 'asal laku aja dulu' buat naikin pasaran gitu. Apalagi kalau jadiannya sama kakak kelas. Biasanya lonjakan popularitas juga bakalan mereka dapet. Nah, masalahnya cowok yang nembak gue ini udah punya pacar. Sekalipun gue terima, gue juga pasti bakalan backstreet, kan? Tapi, kalau gue tolak ... cowok sekeren ini? Duh, ini gawat nih. Kayaknya malaikat sama setan di kepala gue bakalan perang kalau gini caranya.

"Bri, kamu nggak jawab?"

Yaelah ini suaranya kenapa mendadak jadi lembut gini? Mana segala pakai aku-kamu lagi. Kan gue jadi gampang luluh kalau kayak gini. Mana dia juga senyum-senyum kiyut gitu.

"Aku tahu, Bri, kalau kayak gini kesannya aku egois. Tapi selama kenal sama kamu, jalan bareng, aku have fun. Aku ngerasa nyaman dan itu nggak aku rasain sama Viona. Mungkin ini jadi kayak terburu-buru karena kita juga baru kenal dua bulan, tapi ... aku nggak bisa bohong, Bri. Aku mau kamu tahu perasaan aku ke kamu dan sisanya terserah kamu."

Gue tarik napas dalam-dalam.

"Bri, aku beneran suka sama kamu. Kamu ... kamu——"

"Aku juga suka, Kak!"

Terkutuklah setan-setan labil di kepala gue!

Di depan gue, cowok putih bermata sipit itu tersenyum. Tangannya bergerak, tanpa malu, megang tangan gue yang keringetan karena saking groginya. Matanya yang hitam pekat ngelihatin gue dengan cara yang bikin gue serasa jadi cewek paling kece sejagat raya. Bilang gue lebay, tapi kalau lo ngelihat kilat matanya yang tajam dan percaya diri, lo bakal ngerti yang gue rasain.

"Makasih ya, Bri."

Pelan, gue menundukkan kepala karena gue nggak mau dia ngelihat muka gue yang pasti udah merah sekarang, sementara mulut gue menggumam nggak kalah pelan, "Sama-sama."

Gue nggak tahu, Bimo denger atau nggak. Yang gue tahu, perasaan gue nggak karuan karena ngerasa terlalu penuh. Penuh sama rasa bersalah, juga rasa seneng karena ternyata rasa suka gue nggak bertepuk sebelah tangan.



[...]

Ini harusnya update kemarin tapi USB ketinggalan di kerjaan. jadi baru sekarang, deh 😆😆😆😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top