Bab 4
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
"Jadi, Bapak saksi dari pengantin laki-laki?" Pertanyaan yang sama kembali diucapkan oleh petugas catatan sipil ke arah Pak Roni, polisi keren yang kini duduk dengan dada membusung di sisi kiri Yusuf dan membuat jantung Wita berdebar semakin cepat karena stres.
Kini, kedua pengantin yang diapit kedua saksi sedang duduk berhadap-hadapan dengan sepasang petugas yang mengurus keabsahan pernikahan. Jarum menit pada jam dinding yang tergantung di depan Wita sepertinya sudah berputar tiga ratus enam puluh derajat untuk kesekian kalinya. Namun, perdebatan antara saksi pihak laki-laki dan sang petugas yang sepertinya sudah berumur empat puluh tahunan itu belum juga usai.
Pria berkumis, berseragam cokelat khas petugas pencatatan sipil dengan papan nama bertuliskan Purwanto yang terpampang di dada kirinya, seakan ingin menguji kesabaran lawan bicaranya dengan berbagai pertanyaan dan tidak berkesudahan.
"Anda tidak mempercayai kredibilitas saya sebagai saksi?" Pak Roni menaikkan alis kanan, meski nada suaranya yang datar, tidak menunjukkan tanda-tanda emosinya terpancing.
"Bukan begitu, Pak. Sa--"
Ucapan dari Pak Purwanto itu seketika terhenti ketika sang polisi menyodorkan layar telepon tepat di depan hidungnya. "Ini saat saya menjadi saksi kasus tabrak lari dua tahun yang lalu."
Jumlah garis terlipat pada kening Wita bertambah tiga, saat dia ikut melihat foto pria yang menjadi saksi pernikahannya sedang berdiri di depan gedung pengadilan Jakarta Selatan, menempelkan ibu jari dan telunjuk pada dagunya yang licin, dan tersenyum lebar.
"Bukan, Pak. Mak--"
"Ini saat saya menjadi saksi kasus tabrakan beruntun." Foto lain seketika terpampang pada layar, Orang yang sama, latar gedung yang sama, kacamata hitam yang sama, tetapi gayanya yang berbeda. Kini, sang polisi mengangkat jempol saat melakukan selfie.
"Pak, mak--"
"Kalau ini saat saya menjadi saksi tabrakan tunggal."
Wita tanpa sadar sedikit memajukan tubuh untuk mengintip foto sang polisi yang sedang ditunjukkan ke pihak petugas pencatatan sipil. Gadis itu cukup penasaran akan gaya apalagi yang akan dilihatnya.
Namun, tiba-tiba ekor matanya melihat seulas senyum tipis pada Yusuf. Berbeda dengan Wita yang fokus dengan perdebatan antara saksi dari pihak pria dengan petugas capil, sang mempelai laki-laki sepertinya lebih tertarik mendengarkan percakapan riang antara nenek Wita dengan rekan dari Pak Purwanto, seorang wanita berkisar dua puluh tahunan yang memiliki ekspresi ramah.
"... ini Wita peltama kali belenyang ...."
"... kalao inyi saat Wita juala tigya ...."
Telinga Wita seketika menajam ketika dia sepertinya mendengar namanya disebut berulang kali. Gadis itu mengikuti tatapan Yusuf yang sedang mengamati sesuatu di sisi meja paling ujung kanan dan emosinya seketika meletus di ubun-ubun.
"Nenek!" pekik Wita ketika dia melihat tumpukan album berisi foto-foto masa kecilnya, terbuka lebar di atas meja, sedangkan sang nenek sibuk mencabuti lembar demi lembarnya, khusus untuk ditunjukkan ke sang petugas yang hanya tersenyum kecut.
"Mbak! Kok, dibiarin, sih!" Wita membentak suster sang nenek yang malah ikut serta mengamati salah satu fotonya yang sedang memakai kostum kelinci ketika dia berumur tiga belas tahun. Gadis itu dengan kecepatan tinggi berusaha menutup semua album yang ada dan mengumpulkan semua foto yang tercecer di atas meja.
"... dasyal cucu kulang ajal ...," omel nenek Wita ketika gadis itu dengan kasar menarik selembar foto dari genggamannya.
Dengkus menahan tawa khas seseorang membuat Wita memutar kepalanya ke arah Yusuf. Tatapan marah gadis itu sukses membuat sang calon suami terdiam dan menunduk.
Sepertinya hawa ingin membunuh yang dipancarkan Wita juga dirasakan oleh sepasang pria yang sedari tadi berdebat. Pak Roni dengan gerakan sangat hati-hati, menyembunyikan gawainya ke dalam kantong celananya, sedangkan Pak Purwanto menarik kerah seragamnya seakan kepanasan di ruang bersuhu dingin itu.
"Pak! Apa bisa lebih cepat?! Saya masih harus ke pengadilan! Ada kasus pembunuhan yang harus saya tangani! Masa setengah jam hanya untuk memeriksa keabsahan saksi?!" Suara Wita yang sedikit bergetar karena menahan marah, membuat kedua petugas bertukar tatap ketika Wita mengempaskan bokongnya ke atas kursi lipat merah miliknya dan memasang wajah cemberut.
Pak Purwanto sepertinya menyerah untuk mengikuti instingnya yang sebetulnya tidak keliru sama sekali. Pria itu mengangguk samar sebelum dia berkata dengan suara cukup lantang. "Para saksi silakan tanda tangan."
Saksi dari pihak Yusuf langsung menyambar pulpen yang berada di atas meja kayu dan menorehkan tanda tangannya, sedangkan nenek Wita dengan kecepatan seperti seekor siput, kini mengaduk-aduk isi tas rajut warna-warni, hasil karyanya sendiri, sambil mengoceh pelan. "... di manya kacamata ...."
Wita mengamati dalam diam kesulitan sang nenek. Wanita tua itu menolak bantuan dari susternya, mungkin takut uangnya hilang. Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya dia berkata dengan nada halus, seakan semua kemarahannya telah menguap begitu saja. "Sini, Nek. Biar Wita yang cariin."
Senyum sang nenek merekah. Dia menyerahkan tas tersebut ke cucunya yang langsung meneliti secara saksama isinya. Wanita tua itu pun mengambil kesempatan tersebut untuk berceloteh ke Yusuf yang kebetulan sedang melihat ke arah mereka, menceritakan isi buku harian Wita yang sempat dirinya baca dan membuat gadis itu kembali memekik kesal.
*****
Waktu telah menunjukkan hampir jam dua siang ketika kendaraan sedan mewah berlogo BMW, keluar dari tol Jakarta Bogor. Dengkuran keras dari kursi belakang penumpang yang dilatari musik lembut dari radio sejak tadi masuk ke pendengaran Wita. Namun, gadis itu sepertinya tidak peduli. Dia terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Bau alkohol tercium pekat dari pria bertubuh tambun di hadapan Wita. Bocah berumur sepuluh tahun itu meraung kesakitan kala punggungnya kembali merasakan sayatan panas dari cemeti yang hanya dipakai untuk mencambuk seekor kuda.
Rumah bertingkat dua yang berlokasi di perumahan asri itu, lagi-lagi menjadi saksi bisu atas masa lalu Wita. Tidak ada yang menolong ..., bahkan para tetangga seakan mendadak tuli dan memalingkan wajah kala pekik memilukan dari bibirnya kembali terdengar dari sana.
"Anak Sundal! Di mana uang yang ada di dalam dompet?! Pasti kamu curi!"
"Eng-enggak, Pa! Wi-Wita enggak ta--" Bantahan bocah itu terpotong oleh teriakannya sendiri.
Sakit!
Punggungnya terasa sangat perih.
Kenapa Papa tidak percaya? Dia bahkan tidak pernah menyentuh dompet itu!
"Dasar, Sundal! Pembohong seperti mamamu!"
Lagi dan lagi, laki-laki berumur hampir lima puluh tahun yang dipanggilnya "Papa" terus menorehkan luka pada kulit bocah mungil itu.
Panas!
Punggungnya seperti terbakar!
Kenapa Papa marah ke Wita? Apa karena atasannya memarahinya? Atau, karena dia kembali melihat Mama dengan paman itu?
Akan tetapi, Wita terpaksa berhenti menerka, sebab cambukan lain membuat akal sehat bocah itu seakan tidak bisa lagi bekerja dan dia hanya dapat berteriak, memohon ampun atas kesalahan yang dia tidak tahu.
"Papa! Jangan! Berhenti, Pa!" Jeritan panik dari Kak Ayu terdengar di antara raungan kesakitan Wita. Meski pandangan bocah itu kabur oleh air mata yang tumpah, tetapi dia dapat melihat kakaknya yang masih memakai seragam SMP itu mencoba menahan tangan ayah mereka.
"Kamu juga sama! Sundal seperti mama kamu!"
Pria itu tanpa ragu-ragu menendang remaja yang menghalanginya hingga punggung Kak Ayu menabrak dinding ruang tamu. Namun, berbeda dengan Wita yang hanya bisa menangis dan pasrah ..., terlihat kelebat kebencian pada mata kakaknya.
Kak Ayu mendadak menjerit sangat keras dan berlari untuk mendorong ayah mereka, yang hendak kembali mencambuk Wita. Bocah yang hanya bisa membungkuk di atas lantai tanpa melakukan apa pun kecuali menonton .... Si Bego Wita yang tidak berguna sama sekali ....
"Wita, langsung antarkan Nenek ke Rukun Senior Living, 'kan?"
Panggilan tidak lazim dari Yusuf membuat kesadaran Wita kembali kepada masa saat ini. Dia berhenti mengamati rintik hujan yang mulai membasahi jalanan padat kendaraan di luar jendela dan memutar kepala untuk mendelik galak ke arah supirnya yang mendadak kurang ajar.
Yusuf seketika terlihat kikuk. Dia berdeham beberapa kali sebelum melanjutkan ucapannya dengan tergagap. "Mak- maksudnya ....."
"Wtya, jangan galyak-galyak ke suami ..., enggyak bayik ...."
Teguran dari nenek Wita yang sepertinya baru saja terbangun, membuat Wita menyadari kesalahannya. Gadis itu baru teringat akan status palsunya dan langsung mengedipkan mata dan menghapus ekspresi jutek dari wajahnya.
"Oh, iya, langsung pulang, ya, Nek. Sudah lewat makan siang, Nenek juga enggak bisa makan sembarang di luar, 'kan?"
Biasanya Yusuf akan langsung menjawab "Iya, Mbak". Namun, setelah mendapatkan tatapan sinis dari sang istri yang merangkap atasannya, kali ini pria itu memutuskan untuk tidak membalas dan melajukan kendaraan untuk masuk ke sebuah kompleks perumahan dengan spanduk besar bertuliskan "Rukun Senior Living" di depannya.
Kendaraan berhenti sejenak untuk diperiksa oleh petugas keamanan. Udara sejuk dan bersih seketika memenuhi mobil ketika Wita memutuskan untuk membuka jendela miliknya. Gadis itu menoleh ke balik bahu, lalu bertanya, "Nek, betah tinggal di sini, 'kan?"
Deretan gusi yang sebagian besarnya tidak lagi dihuni oleh gigi langsung ditunjukkan oleh nenek Wita. Mata wanita tua itu berbinar riang.
"Si Oma senang banget, kok, Bu," timpal sang suster yang berkisar dua puluh tahun itu sebelum nenek Wita menjawab. "Kemarin baru aja latihan angklung untuk pertunjukkan tahunan."
"Nenyek punya temyan balu ...." Nenek Wita melanjutkan ucapan perawatan pribadinya. Dia terkekeh genit sambil memajukan tubuh ke arah cucunya. "... cakyep ...."
Seulas senyum tidak dapat lagi ditahan Wita saat gadis itu mengeluh dalam hati. Dasar Nenek, senang buat Wita malu. Untung Wita sayang sama Nenek.
"Nanti kenalin ke Wita, ya, pas Wita main ke sini bulan depan," ucap Wita kala mobil berhenti tepat di depan sebuah vila beratap biru tanpa tingkat dengan nomor tiga puluh dua di dindingnya. Gadis itu membuka pintunya sendiri, sedangkan Yusuf dengan cekatan langsung menuju bagasi untuk mengeluarkan kursi roda listrik lipat, sebelum membantu nenek Wita keluar dari mobil.
Rindang dan bersih.
Bibir Wita pun melengkung gembira saat menatapi tempat asri itu. Nenek pasti bisa sehat dan panjang umur di sini.
"Nenek, langsung istirahat, ya." Wita memeluk sejenak neneknya yang sudah duduk nyaman di kursi roda dengan sang suster siap di belakangnya.
Nenek Wita pun menepuk pelan punggung tangan cucunya. Dia lagi-lagi tersenyum semringah dan berkata dengan suara sangat lantang. "Jangyan galyak-galyak ke syuamyi ..., biyar cepyat hamil .... Tadyi Nenek sudyah kasyih vitamyin bagyus untyuk Yusuf .... "
Tubuh Wita sontak menegang dan matanya refleks melihat ke arah Yusuf yang berada di dekat mereka. Pria yang sedang memegang sebuah keresek kecil putih itu tersenyum kikuk sebelum menunduk untuk mengamati pantulan cahaya matahari pada ujung sepatu hitamnya.
Wajah Wita seketika berubah menjadi masam. Nenek resek! Kasih selimut rajut aja kenapa? Dasar resek! Resek! Resek!
"Bu, Oma masuk dulu, ya ...."
Wita mengangguk. Dia membiarkan sang suster mendorong kursi roda neneknya dan menunggu hingga keduanya masuk ke dalam vila. Setelah beberapa menit berlalu, gadis itu berjalan menuju mobil dan berkata ketus ketika melewati supirnya yang masuk menunduk.
"Buang plastik itu."
"I-iya, Mbak," jawab Yusuf gugup. Pria itu segera mencari tempat sampah terdekat sebelum berlari kecil untuk menyusul majikannya yang sudah berdiri di depan kendaraan sambil bersedekap dengan ekspresi ingin memakan hidup-hidup seseorang.
7 Oktober 2023
Wulan Benitobonita / Luna S. Winterheart
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top