Si Penyelamat
"Wahai cermin di dinding. Siapa wanita paling cantik di dunia ini?" tanya sang ratu sekembalinya dari aksi jahatnya.
"Kau, Ratuku. Tidak ada lagi wanita yang menyaingi kecantikanmu sekarang," ucapku dalam kegetiran. Masih terbayang di pikiranku dengan jasad Snow White yang terbujur kaku di depan pondok mungilnya.
Ratuku tersenyum puas. Senang dengan hasil kerja kerasnya tadi. Kini ia telah mendapatkan apa yang paling diinginkannya.
Hingga suatu hari. Orang-orang berkumpul di depan istana Ratuku. Mereka semua adalah rakyat yang sudah muak menderita dan ingin memperjuangkan haknya. Banyak prajurit yang menghalau serbuan masyarakat tersebut. Namun, beberapa menit kemudian para penjaga itu membelot dan menyerang balik ratu mereka.
Ratuku kehabisan tenaga membuat dinding pelindung dan mengutuk beberapa orang menjadi mayat berjalan dari dalam kamarnya. Ia membunuh belasan orang dalam waktu yang singkat. Tapi, ribuan orang kembali datang dan menambah banyak pasukan yang tak terhitung lagi jumlahnya tersebut.
Ratuku kewalahan, ia menyerah. Wajah cantiknya dipenuhi peluh dan ketakutan akan kematian. Aku sadar, inilah akhir dari Ratuku. Akhirnya, apa yang paling kutakutkan telah terjadi. Wanitaku yang paling kusayang, mendapatkan ganjaran atas dosanya.
Sang ratu terlihat begitu lemah. Aku ingin menyelamatkannya, tapi aku tidak bisa. Aku ada di dalam cermin. Aku tidak mungkin keluar dari tempatku berada.
Semakin lama, pintu itu semakin melesak masuk hampir jatuh. Aku tahu, puluhan prajurit pasti sedang mencoba membukanya dengan paksa. Dan aku pun semakin takut. Takut, jika Ratuku akan tersakiti. Meski dia adalah wanita terkejam yang pernah ada, ia tetap pemilikku. Dan aku, tetaplah sebuah benda yang memiliki perasaan kuat kepadanya.
"Akhirnya, aku mendapatkan balasannya juga," ucap sang ratu penyihir putus asa. Ia berjalan mendekatiku lalu menempelkan kedua telapak tangannya di atas permukaan cermin, seolah hal itu mampu menghapus segala ketakutannya.
"Wahai cermin, apakah ini adalah balasan dari kekejamanku?"
"Ya, Ratuku." Air mata mulai menggenangi pelupuk mata sang ratu. Ia pasti sangat tertekan karena hidupnya di dunia tinggal sebentar lagi.
"Tapi aku tidak menyesal. Karena aku, punya seorang teman yang setia dan selalu jujur sepertimu. Aku, aku tidak ... menyesal." Sang ratu penyihir menangis, menyandarkan pipi di permukaan kaca.
Lagi, aku hanya bisa menyentuhnya dari balik sisi kaca. Kenapa aku tidak bisa menyentuhnya langsung. Kenapa? Padahal kami sudah sangat dekat. Aku menggerakkan tanganku, mengikuti telapak tangannya lalu garis lekuk pipinya yang basah. Hanya kehangatan inilah yang membuatku tahu, kalau aku sudah sangat dekat dengannya.
Aku mengangkat kedua tanganku, melingkarkannya melewati kepala Ratuku. Memeluknya dan membenamkannya ke dalam jubah coklat gelapku.
Tunggu! Aku sedang memeluknya sekarang. Tapi bagaimana bisa?
Aku melihat diriku lagi. Aku tidak berada di dalam kurungan kaca. Aku sedang berada di dalam sebuah ruangan, dengan Ratuku berada di dalam pelukanku. Aku ... aku bisa menyentuhnya sekarang. Aku memeluknya.
"Cermin, kau!" kaget sang ratu tapi akhirnya ia tersenyum senang dan semakin memelukku erat. Begitu pula dengan diriku. Sudah lama aku mendambakan rasanya memeluk orang yang paling kukagumi. Yang paling kusayangi. Pemilikku sendiri.
Kami berdua tahu, jika hal ini sudah sangat terlambat. Meski begitu, kami berdua mencoba menghabiskan waktu bersama selama mungkin. Menyelami perasaan masing-masing sedalam-dalamnya. Dan kami merasakan senang sekaligus takut di saat bersamaan. Hingga secercah senyum mengembang di wajah kami berdua, saat kedua mata kami menitikkan air mata.
"Aku akan menggantikan posisimu." Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya lekat-lekat. "Ratuku, masuklah ke dalam cermin. Bila keadaan sudah aman, segera keluar dan cari tempat yang aman untuk bersembunyi. Kau bisa, 'kan?"
"Tidak! Aku tidak bisa! Ini dosaku, kenapa harus kau yang menerima akibatnya? Lagi pula, aku tidak akan pernah bisa hidup tanpamu. Kau satu-satunya temanku."
"Begitu juga diriku, Ratuku." Tiba-tiba Ratuku terdiam mendengarnya. Kenapa? Apa kau tidak menyangka jika selama ini aku memiliki perasaan kepadamu? "Kau satu-satunya manusia yang paling kusayangi. Mungkin ini yang para manusia itu katakan, aku telah mencintaimu Ratuku. Aku, si Cermin mencintai pemilikku sendiri."
"Cermin ...." Sang ratu hening sebentar sambil meletakkan tangannya di pipiku. Kugenggam telapak tangannya tersebut dan meresapi kehangatannya. Dapat kurasakan air mataku terus keluar membasahi telapak tangan putihnya. Telapak tangan yang dari dulu selalu kudamba untuk disentuh.
Tiba-tiba sang ratu penyihir mendekatkan dirinya ke hadapanku, menatapku sedekat mungkin. Kemudian, selang satu detik berikutnya. Aku merasakan sesuatu yang hangat dan lembab menyentuh bibirku. Ratuku, dia menciumku.
Beberapa detik lamanya, kami terdiam dalam posisi itu. Ciuman hangat yang entah kenapa, terasa sangat menyakitkan. Membuat jiwaku terkoyak-koyak. Jika saja waktu bisa berhenti. Aku ingin terus seperti ini bersamanya, untuk selama-lamanya.
Selesei berciuman. Aku menyerupakan diriku dengan sang ratu. Gaun, rambut, wajah serta kulit semua serupa dengan miliknya. Aku memantulkan bayangan Ratuku di luar sangkar kaca.
"Berjanjilah padaku," pintaku sambil menggenggam kedua telapak tangannya. "Untuk hidup lebih baik setelah ini. Tersenyumlah seperti dulu lagi. Karena aku paling menyukai senyummu."
"Aku berjanji, Cermin." Wanita itu terisak. Ada keraguan dalam bola matanya.
Ratuku berjalan mendekati cermin. Beberapa langkah lagi sampai, tiba-tiba ia menoleh lagi ke arahku. Terlihat ragu untuk maju lebih jauh.
"Aku mencintaimu Cermin. Kau selalu akan menjadi kesayanganku." Sang ratu tersenyum di balik tangisannya. Lalu melangkah menyelami cerminku.
Pergilah Ratuku. Aku mengembangkan senyum kepada Ratuku, saat diriku telah berada di depan pintu yang sebentar lagi akan terbuka. Jalani hidup dengan lebih baik. Aku memalingkan wajah, tidak kuat melihat tangis Ratuku terus menerus. Biarlah kutanggung akibat dari dosamu. Aku teringat saat pertama kali dibersihkan olehnya, oleh seorang gadis cantik yang baik hati. Karena aku .... Senyum yang selalu dikembangkannya itu, senyum itulah yang membuatku memiliki perasaan ini. Mencintaimu.
Pintu terbuka. sang ratu telah lenyap masuk ke dalam cermin.
"TANGKAP IBLIS ITU!!" perintah seorang prajurit. Ia menunjukku dan tanpa menunggu lagi, beberapa pria langsung menerjang ke arahku sambil mengacungkan senjata dan melayangkan tinju.
Aku hanya diam dan pasrah saat mereka semua memukuliku sampai terjatuh. Merantai kedua tanganku, lalu menyeretku seperti hewan keluar dari istana. Semakin lama, aku semakin jauh dengan menara itu. Tempat di mana Ratuku bersembunyi di dalam rumah kacaku.
Tanpa ada sidang atau pun pengadilan, aku dibawa ke sebuah aula istana yang sangat luas. Istana dari seorang pangeran yang telah menyelamatkan Snow White.
Snow White? Aku tergelak kaget mendapati gadis itu berdiri di atas sana bersama seorang pemuda tampan. Ia selamat rupanya. Syukurlah. Setidaknya, Ratuku tidak akan merasa bersalah karena telah membunuh anak tirinya.
Hukuman mati langsung dijatuhkan kepadaku tanpa sedikit pun pembelaan. Ratuku, orang-orang ini ternyata sangat membecimu. Tapi mereka tidak menginginkan kematian yang cepat. Mereka ingin menyiksaku terlebih dahulu. Ya Tuhan, apa yang telah Ratuku lakukan sampai mereka setega ini?
Di tengah aula istana, disaksikan ribuan rakyat yang marah. Aku dirantai seperti ternak yang sebentar lagi dijagal. Tanganku, kakiku, dan leherku tak luput dari cengkeraman kalung besi itu. Di mana setiap rantainya dipegangi oleh seorang prajurit.
Lalu, seorang pria maju, membawa nampan besi di mana di atasnya terdapat dua buah sepatu besi yang membara merah menyala. Sepatu itu telah dibakar sebelumnya. Aku meronta, tak ingin dipaksakan memakai sepatu terkutuk itu. Tapi apa daya, seorang prajurit menamparku dan membuat tubuhku lemas akibat kesakitan. Kemudian, sepatu itu dipasangkan pada telapak kakiku.
Cessss!
"Aarrrgghh!" Aku menggeram kesakitan. Kucoba untuk menggigiti bibir bawahku agar tak berteriak.
Mencoba menahan sakit dari kedua kakiku yang terbakar melepuh. Kulit kakiku serasa meleleh menyatu dengan sisi bagian dalam sepatu besi. Aku bahkan sempat tidak mampu berdiri di atasnya. Tapi para prajurit terus memaksaku bangkit di tengah aula. Disaksikan sang pangeran dan Putri Snow White di atas balkon istana. Dan ketika kericuhan para rakyat semakin memuncak. Sebuah lantunan musik yang indah berbunyi. Aku dipaksa menari dengan sepatu yang menyakitkan itu.
Terpaksa, aku mengikuti perintah mereka. Kulangkahkan kakiku ke kanan dan ke kiri. Mengikuti ritme lagu dan meresapi rasa sakit dari kedua kakiku yang menjalar hampir ke seluruh badan. Perlahan aku pun mulai menari diiringi musik setan dan sorakan rakyat yang bahagia. Berusaha untuk tenang dan tidak terlihat rapuh di depan musuh Ratuku.
"Aku, mencintaimu Cermin."
Kata-kata Ratuku menjadi penyemangat dalam melaksanakan hukuman menyakitkan ini. Meski sakit mendera seluruh tubuhku—dan dapat kurasakan darah mengalir dari dalam sepatuku—tapi kuyakinkan hal itu tidaklah lebih sakit jika aku harus kehilangan Ratuku.
Aku menari terus. Terus dan terus. Seolah tidak peduli pada makian dan cacian yang para rakyat lontarkan. Aku justru senang, karena Ratuku tidak perlu merasakan penderitaan ini.
BUK!
Sebuah batu menghantam kepalaku. Aku terhuyung-huyung dan terjatuh di atas lantai. Kepalaku sakit luar biasa. Pandanganku memburam dan napasku seolah berada di ujung tenggorokan. Dapat kurasakan darah mengucur dari kepalaku. Aku ... berdarah. Dan sekali lagi, aku tersenyum, Ratuku tidak perlu merasakan sakitnya luka ini.
BUK! BUK! BUK!
Puluhan batu dilontarkan bersamaan ke arahku. Aku hanya dapat menerimanya dengan pasrah. Semua tubuhku memar dan berdarah-darah. Aku tidak dapat melihat dengan jelas, tubuhku ambruk di tempat--tidak mampu digerakkan. Rasa sakit menjalari seluruh badan, sangat sakit hingga rasanya setiap gerakan yang kubuat hanya akan menambah penderitaanku. Sakit! Aku merintih dalam hati. Ya Tuhan, cabut nyawaku sekarang! Aku berdoa sambil berlinang air mata.
" Kau selalu akan menjadi kesayanganku."
Tidakkah kau tahu, betapa senangnya aku saat kau mengatakan hal itu padaku? Meski kau mengatakannya di saat-saat terakhir kebersamaan kita. Aku tidak menyesal, aku bangga menjadi bendamu. Aku mungkin benda paling beruntung yang pernah ada di dunia ini. Karena aku sekarang tahu. Jika selama ini, perasaanku tidaklah sia-sia.
"Cermin," tangis seseorang di antara kerumunan warga yang marah. Suara itu? Panggilan itu? Aku membuka mataku selebar mungkin. Dan cahaya mulai masuk ke dalam retinaku yang basah oleh darah. Ternyata aku jatuh di dekat kerumunan rakyat yang dihalau beberapa prajurit. Dan di depanku, ada seorang wanita berjubah gelap yang terus menatapku.
Ratuku! Aku terpekik kaget saat itu juga. Bagaimana bisa ia ada di sini?
"Cer ... min," lirih Ratuku lagi. Ia terus menangis sesenggukan di tempatnya berada.
"Berdiri!" Seorang prajurit menarik rantai di leherku. Lalu beberapa prajurit lainnya mengangkat tubuh lemahku menjauh dari Ratuku.
"Cermin! Tidak!" tangis Ratuku semakin menjadi. Ia menutup mulutnya sendiri agar tidak meneriakkan panggilanku di depan para warga yang sedang marah. Tangan kanannya terjulur seolah ingin meraih diriku. Tangan itu, ingin sekali aku genggam untuk terakhir kalinya. Tapi aku tahu, aku tidak bisa lagi sekarang. Tidak bisa lagi merasakan kehangatan sentuhanmu yang menenteramkan itu. Tidak bisa lagi ... tidak bisa....
"Ter ... se ... nyum .. lah," untukku Ratuku, pintaku lemah dengan suara parau yang hampir hilang. Entah ia mendengarnya atau tidak.
Lagi, aku berdiri di tengah aula istana. Dipaksa menari dan dilempari batu lagi. Dapat kurasakan, beberapa bagian tulangku remuk dan hancur karena ulah masyarakat marah tersebut. Tidak hentinya darah keluar dari hidung, mulut serta mataku.
Meski tubuhku sudah tidak berdaya, gaunku robek di beberapa bagian, dan luka-luka besar menganga di beberapa sisi tubuhku. Amarah rakyat itu tetap tidak hilang, mereka justru semakin murka jika tahu aku masih hidup setelah dilempari batu sebanyak itu.
Batu-batu yang mereka lemparkan itu mengenai, perut, punggung, kepala, tangan dan kedua kakiku. Bahkan lengan kiriku hancur dan tak dapat dipakai lagi. Mata kananku buta tak dapat melihat. Kedua kakiku perih menahan sakit dari sepatu besi yang sudah tidak lagi panas. Punggungku remuk dan beberapa tulang rusukku patah menusuk organ di dalamnya. Napasku semakin pendek, dan setiap kali menghirup udara itu pulalah, aku merasakan sakit yang luar biasa dari dalam dadaku.
BUK!
Sebuah batu menghantam tepat di bagian belakang kepalaku. Aku terdorong ke depan lalu terjatuh dengan begitu cepatnya. Tubuhku sudah tak mampu berdiri lagi. Aku di ambang batas.
Pelan-pelan. Suara cacian dan makian itu semakin lama semakin pudar. Aku melihat sekelilingku dengan mata kiriku yang masih sedikit sehat. Ratuku, ia berdiri di ujung sana sedang memperhatikanku. Bersyukurlah sekarang, karena kau tidak perlu merasakan penderitaan ini. Karena aku telah menggantikan tempatmu. Dan kau tahu, aku tidak merasa menyesal sedikit pun. Karena aku senang, kau tidak perlu menderita seperti diriku sekarang.
Aku menatap Ratuku lagi. Ia sedang mengangkat kepalanya di balik tudung jubah yang dikenakannya. Menghapus seluruh air matanya. Lalu lekukan itu pun muncul di bibirnya. Dengan kedua mata bersinar bagai bintang, ia tersenyum kepadaku. Senyum tulus yang hangat. Senyum yang sejak dulu selalu kurindukan. Senyum indah yang membuatku jatuh cinta kepadanya.
Aku mengembangkan senyumku juga. Maaf, jika senyumku tidak sebagus milikmu. Tapi hanya ini yang kupunya sebagai tanda perpisahan kita. Perlahan-lahan, seluruh tubuhku tidak lagi merasakan sakit. Semua mati rasa. Aku tidak takut apa-apa lagi sekarang, aku justru merasa damai dan tenang. Pelan-pelan, aku memejamkan mataku seolah aku akan segera tidur seperti biasa. Dan akhirnya, semua menjadi gelap gulita. Hanya senyum Ratuku yang masih membekas di dalam ingatanku. Ingatan yang akan kubawa untuk selama-lamanya.
Selamat tinggal, Ratuku.
-MIRROR MIRROR ON THE WALL-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top