Si Cermin
Pelan-pelan aku mulai membuka mataku. Sudah berapa lama aku tertidur? Aku tidak tahu, tapi rasanya sudah puluhan tahun sejak aku mulai melihat seperti ini lagi. Dari balik dinding kaca yang membelengguku, kulihat sesosok gadis yang sangat cantik. Bahkan kecantikannya semakin bertambah ketika ia tersenyum saat melihatku.
"Ambillah cerminku ini. Aku tahu cermin ini sangat usang dan kotor. Tapi paling tidak, hanya ini satu-satunya harta bendaku yang bisa kuberikan padamu."
"Tidak apa-apa Nek. Nenek simpan saja cermin ini," ucap gadis cantik itu lembut. Rambut hitamnya bergelung indah di balik punggungnya. Siapa dia? Manusia macam apakah dia? Kenapa jiwaku bergetar seperti ini?
"Jangan seperti itu, Nak. Kau sudah membantu Nenek membayar sewa rumah reyot Nenek. Nenek tidak enak jika tidak bisa membalas jasamu. Jadi, Nenek mohon. Ambillah cermin ini." Wanita tua itu semakin memaksa. Tapi aku tidak keberatan, sudah lama sekali aku tidak pernah dibersihkan atau pun dirawat olehnya. Aku ingin segera berganti kepemilikan, ingin segera memantulkan jiwa baru. Aku ingin memantulkan jiwa dari gadis cantik itu.
"Baiklah. Terima kasih banyak Nek." Gadis itu berdiri di depanku. Jari-jari gemulainya menyentuh setiap sisi cerminku. Dapat kurasakan hangatnya sentuhan itu mengalir ke seluruh jiwaku. Rasanya seperti dilahirkan kembali.
Sayang, jika saja permukaan cermin ini tidak kotor. Aku mungkin sudah memantulkan jiwa sucinya sekarang. Jiwa yang baik dan begitu hangat seperti senyumannya.
Akhirnya, aku pun dibawa oleh gadis cantik itu ke rumah. Dibersihkan dan digantung di dalam kamarnya yang sederhana. Lalu untuk pertama kalinya. Aku pun dapat memantulkan jiwa hangatnya yang sejak awal pertemuan, sudah menggetarkan jiwa milikku.
****
Gadis itu berdiri di depanku pagi ini. Wajahnya semakin cantik bila setiap hari kulihat. Apalagi aku tahu, kalau ia juga berhati baik. Aku memang benda mati, tapi aku bisa melihat melewati cermin-cermin lainnya. Mataku adalah mata sesama saudara cerminku.
Kadang aku melihatnya menolong seorang anak kecil yang kehilangan ibunya. Membantu kakek tua yang kelelahan berjalan mencari alamat cucunya, atau pun cuma sekadar meringankan pekerjaan tukang roti di sebelah rumahnya.
Gadis cantik itu memang tinggal sendiri. Aku tidak tahu di mana orang tuanya. Apakah mereka sudah tiada? Entahlah, hanya gadis itu saja yang tahu.
"Cermin. Menurutmu siapa gadis paling cantik di desa ini?" tanya gadis itu tiba-tiba padaku. Aku kaget, lalu mendadak ia berubah murung dan menatap ke arah lain. Seolah menyembunyikan wajahnya dari hadapanku. Ada apa? Kenapa kau bertanya begitu? Sudah sangat jelas bukan? Kau adalah gadis tercantik yang pernah kulihat seumur hidupku.
"Aku gila, bicara sendiri pada cermin. Tapi, pemuda itu...." Gadis itu terdiam lalu terduduk di atas ranjangnya. Aku melihat semburat berwarna merah merona indah di pipinya. Ia sedang jatuh cinta, dan entah kenapa, mengetahui hal ini tiba-tiba aku merasakan sakit.
Aku benda mati! Aku mengingatkan diriku lagi. Tidak pantas bagiku merasakan perasaan ini pada tuanku. Ia hanyalah pemilikku, dan aku adalah bendanya. Perasaa ini, perasaan kagum ini. Ternyata telah berkembang menjadi perasaan lain. Aku takut, takut jika perasaan ini semakin tidak terkendali.
Hari lainnya. Aku melihat hal lain yang entah kenapa semakin membuatku sakit. Gadis cantik itu, manusia yang paling kukagumi seumur hidupku. Sedang bersama dengan seorang pemuda tampan.
Mereka berdua jalan-jalan sambil bergandengan tangan di tengah jalan desa. Sesekali tersenyum dan bercanda ria, seolah menunjukkan kalau mereka bahagia dengan hubungan mereka sekarang. Sebagai jiwa benda mati, aku hanya bisa diam dan berharap yang terbaik untuk tuanku. Paling tidak, melihat senyum gadis cantik itu saja sudah membuatku senang. Mungkin itulah yang terbaik bagiku
Beberapa bulan kemudian. Gadis cantik itu mendatangi kamarnya dengan gegabah. Ia mencari-cari gaun terindah yang pernah dimiliknya. Lalu duduk di depanku sambil menyisir rambut panjang hitamnya, dan merias wajahnya yang sudah cantik alami itu.
"Akhirnya, ia mengajakku bertunangan. Ah senangnya!" Gadis itu kegirangan di tempatnya. Ia bahkan sampai menghentak-hentakkan kaki berusaha menahan diri untuk tidak meloncat atau pun bersorak bahagia.
Aku hanya bisa turut bersuka cita untuknya. Aku senang jika dia senang. Karena bagiku, yang terpenting adala, senyum manis tulus itu tidak boleh sampai hilang dari wajahnya.
"Bagaimana, aku sudah cantikkan?"
"Ya, kau sudah sangat cantik. Mungkin yang tercantik di desa ini," jawabku bahagia.
"Hah?! Siapa? Siapa itu yang bicara?" Gadis itu tiba-tiba menoleh ke sekelilingnya. Takut dan panik, ia lalu berdiri mendekati jendela dan pintu. Setelah yakin tidak ada siapa pun di sana. Ia pun kembali ke hadapanku.
Apakah itu aku? Apa suaraku baru saja didengar olehnya? Tapi, bagaimana bisa? Aku, 'kan jiwa benda mati.
"Cermin? Kau bisa bicara?" tanya gadis cantik itu agak ragu dan sedikit takut.
Apakah harus kujawab? Apa tadi itu cuma kebetulan? Ah sudahlah! Jika ia bisa mendengarku, maka ia beruntung. Jika tidak, ya sudah. Berarti tadi itu hanya suara lewat yang tidak ada artinya.
"Ya, Gadisku," jawabku sesopan mungkin.
"Kau bisa bicara!" gadis itu terpekik kaget. Aku juga kaget, bagaimana mungkin bisa? Lalu aku pun menyadari sesuatu. Tubuhku yang masih berupa tubuh gadis itu—karena aku sedang memantulkan dirinya—berubah perlahan-lahan. Gaun merah mudaku menggelap menjadi jubah cokelat gelap, dan wajah gadis itu mengilang sembunyi di balik tudungnya. Inilah wujud asliku sebenarnya, sesosok gelap yang bersembunyi di balik jubah cokelatnya.
Dan di balik dinding kaca ini, aku melihat ia terperangah takjub dengan perubahan sosokku yang tiba-tiba. Kenapa? Apa ini karena perasaanku yang sudah terlalu kuat padanya? Atau justru karena rasa sakitku yang semakin tidak tertahankan padanya?
"Cermin ajaib! Pasti milik seorang penyihir dulu," tuduh gadis itu masih agak takut padaku.
"Tidak, Gadisku! Aku hanyalah milikmu seorang."
"Cermin aneh. Apa aku kembalikan saja pada nenek itu," gumamnya sedikit merinding.
TIDAK! Kumohon, jangan lakukan itu. Aku ingin tetap bersamamu. Jangan biarkan rasa takutmu membuatku harus kembali ke rumah gubuk reyot itu. Di mana aku tidak pernah dibersihkan atau pun diperhatikan seperti dirimu.
"Tapi...." Gadis itu mendadak tersenyum. Ia menempelkan telapak tangannya di hadapanku. Tepat di sisi lain dinding kaca yang mengurungku.
Aku pun pelan-pelan mengangkat tanganku mengikutinya, berusaha bergerak sepelan mungkin agar tidak membuatnya takut. Lalu menempelkan telapak tanganku, tepat di balik telapak tangannya. Aku dan dia telah sangat dekat, tapi sayang. Dinding kaca ini harus memisahkan kami berdua. Kenapa? Kenapa aku harus dilahirkan di dalam kurungan kaca ini?
"Aku tetap menyayangimu dan akan menjagamu. Asal, kau mau menjawab semua pertanyaanku. Setuju?"
Senyumku mengembang dibalik tudung jubahku. Tidak kusangka ia menyayangiku. Aku merasa sangat senang dan bersyukur kepada Tuhan karena telah mempertemukanku padanya.
"Tentu, Gadisku."
-MIRROR MIRROR ON THE WALL-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top