II. Graventown
"It's like learning to ride a unicorn. You never forget." - Eoin Colfer, Artemis Fowl
Victoria memeluk dirinya sendiri ketika mengikuti Vixon berjalan di antara pohon pinus dan salju. Kakinya membeku, jari-jarinya membeku, bibirnya biru dan giginya menggeletuk kedinginan. "Vixon ...," Victoria memanggil Vixon yang lebih dahulu berjalan di depan keduanya. "Berapa lama lagi kita tiba di tempatmu?"
Badan pria setengah kuda itu berbalik ketika melihatnya dan keningnya berkerut dalam melihat kondisi Victoria dan Tommy yang kedinginan. "Aku tidak tahu kalau manusia selemah ini?" Pria itu mengeluarkan sebuah kain tebal dari tas kulit yang disampirkan di bahunya lalu melemparkan kain tebal itu kepada Tommy dan Victoria.
Tommy meraih kain tebal itu lalu menyelimuti tubuhnya dan Victoria yang membeku kedinginan. "Apa kau tidak membutuhkan kain ini?"
"Tidak." Vixon kembali berjalan menyusuri hutan dan salju.
"Tidakkah tubuhmu kedinginan?" Tommy bertanya kembali. Matanya menatap takjub ke arah manusia setengah kuda itu, tubuh kekar Vixon tersambung dengan tubuh setengah kudanya yang berwarna kecokelatan. Rambut Vixon juga cukup panjang dan berwarna cokelat dibiarkan begitu saja. Sebuah busur, anak panah, dan tas besar yang ia bawa tersampir di pundaknya.
"Apakah kau pernah melihat kuda yang mengenakan pakaian?" Tommy menggelengkan kepalanya. "Nah, sekarang kau sudah mengerti."
"Jadi kau lebih seperti kuda daripada manusia?" Tommy tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. "Apa kau makan tanaman atau makan hewan juga?"
"Aku akan memakanmu bila kau tidak kunjung diam." Jawaban Vixon membuat Tommy bungkam dan Victoria menyikut rusuknya kuat.
"Diamlah," bisik Victoria gusar. "Bisa saja dia meninggalkan kita di sini."
"Aku hanya penasaran," Tommy menggerutu pelan.
"Kita perlu bertemu dengan penyihir itu, Tommy. Dia yang tahu jalan menuju Lupine Pack." Victoria menarik Tommy mendekat kepadanya lalu berbisik lagi. "Jangan melakukan hal bodoh yang bisa membuatnya marah."
Vixon tiba-tiba berhenti berjalan lalu menatap keduanya dengan tatapan datar. "Aku masih bisa mendengar kalian. Mungkin kalian bisa memelankan suara kalian."
"Oh, shit!" Tommy mengumpat dengan mata terbelalak lebar, tidak menyangka centaur itu bisa mendengarnya.
"TOMMY!" Victoria menyikut rusuknya membuat Tommy mengumpat lagi, kali ini karena rasa sakit. "Maafkan aku." Victoria tidak bisa menyembunyikan raut merah di pipinya karena malu dan rasa dingin.
"Kita tiba." Setelah nyaris tiga puluh menit berjalan, akhirnya mereka tiba di depan sebuah kabin kecil di tengah hutan.
"Ini rumahmu?" Victoria tidak sabar untuk segera menghangatkan dirinya, tetapi ia tidak menyangka rumah centaur itu lebih seperti sebuah kabin kecil yang terbuat dari kayu di tengah hutan.
"Masuklah." Centaur itu membuka pintu rumahnya lebih lebar dan membiarkan dua anak manusia itu masuk.
Victoria dan Tommy tidak menyangka bila kabin kecil itu terlihat jauh lebih luas daripada yang terlihat dari luar. Bahkan tubuh centaur yang cukup besar itu bisa muat dan menyisakan sedikit ruang untuk keduanya bergerak. Jerami ditumpuk di sisi ruangan sementara sebuah dapur kecil terletak di bagian belakang kabin itu, ada api kecil yang menyala dan memberikan kehangatan di sekitar dapur itu, membuat Victoria dan Tommy bergerak mendekat ke arah dapur itu.
Sebuah ketel berisi air panas berbunyi nyaring ketika mereka mendekat, membuat keduanya terlonjak kaget. Tommy menatap Vixon takut-takut ketika pria setengah kuda itu mendengus kasar dan mengangkat ketel panas itu dengan tangannya dan segera meletakkannya di meja kayu. Pria itu mendesis ketika meletakkan ketelnya, tetapi ia segera bergerak mengambil dua cangkir terbuat dari besi dan menaruh daun teh ke dalamnya dan menuangkan air panas yang berada di dalam ketel.
"Ini." Vixon menyerahkan dua cangkir itu kepada dua anak manusia yang masih menatapnya dengan wajah terkejut heran.
"T-terima kasih," ucap Victoria cepat. Gadis itu menerima gelas tehnya lalu segera menyesapnya cepat. Kehangatan tidak hanya menjalar di tangannya saja, tetapi seluruh tubuhnya sekarang.
Tommy menatapnya ragu lalu kemudian ikut menyesap cairan itu sedikit demi sedikit.
"Kalian bisa istirahat di sini." Vixon menawarkan kasurnya yang berupa setumpuk jerami kepada dua anak manusia itu untuk beristirahat.
Victoria berjalan lunglai menuju kasur itu lalu berbaring. Tubuhnya tiba-tiba terasa sangat lelah, matanya berusaha menahan kantuk, tetapi akhirnya ia malah tertidur.
"Vicky," Tommy berbisik kepada kakaknya, menggoyangkannya agar terbangun. Biasanya Victoria tidak akan mudah tertidur seperti saat ini. "Vicky."
"Kau tidak ingin meminum tehnya lagi, Tommy?" Vixon bertanya kepada Tommy dengan gelas teh milik Tommy yang berada di tangannya.
"T-tidak." Tommy berjalan mundur hingga kakinya tersandung Victoria yang tengah tertidur nyenyak di atas jerami. Gadis itu bergumam protes, tetapi masih tetap tertidur lelap.
"Tenanglah, Tommy. Aku tidak akan menyakiti kakakmu ataupun kamu," Vixon mengatakannya dengan nada perlahan dan terlihat meyakinkan. Pria setengah kuda itu terlihat sedikit menyesal ketika ia mengeluarkan serulingnya lalu memainkan sebuah lagu yang entah kenapa membuat Tommy yang sedikit ngantuk menjadi sangat mengantuk.
"Aku tahu kau tidak ada bedanya dengan Mr. Tumnus ...." Tommy berusaha untuk tetap terjaga, tetapi kemudian matanya menutup dan jatuh tertidur. Masuk ke dalam mimpi di mana ia terjebak di dalam Narnia dan seekor centaur yang ternyata tidak sebaik Mr. Tumnus.
***
"Vicky! Vicky!" Tommy menggoyangkan bahunya hingga Victoria terbangun. Rambut pirang ikalnya terlihat berantakan, mata birunya mengerjap beberapa kali karena kebingungan.
"Apa yang terjadi?" Victoria menatap ke segala penjuru, tetapi ia menyadari mereka berada di dalam kereta kayu yang membawa mereka entah ke mana. "Ini di mana?"
"Bukan bagian yang menyenangkan yang jelas. Mr. Tumnus sialan itu meracuni minumanmu dan menjebakku dengan permainan serulingnya." Tommy bersedekap dan duduk bersila di dalam kereta kayu itu dengan wajah cemberut.
Kereta kayu yang membawa mereka terus berjalan, ada empat jendela kecil dengan jeruji yang juga terbuat dari kayu. Embusan angin dingin musim dingin membuat Victoria menggigil kedinginan, tanpa ia sadari ia menarik selimut tebal yang menyelimutinya dan Tommy sedari tadi.
"Ini di mana?" Victoria mengintip dari jendela kayu dan melihat Vixon yang menarik kereta yang mereka naiki. "Vixon!"
"Kau sudah bangun?" Vixon berbalik, wajahnya terlihat sedikit merasa bersalah. "Aku tidak pernah bertemu dua manusia sebelumnya."
"Apa yang ingin kau lakukan kepada kami, sialan?!" Tommy menggertakkan mulutnya marah.
"Tommy." Victoria hendak menegur Tommy kembali, tetapi ia menyadari tata krama dan bahasa pada saat-saat seperti ini tidaklah ada gunanya. Ia terdiam sesaat lalu ikut berteriak dari jendela ventilasi kecil, "Apa yang ingin kau lakukan kepada kami, brengsek?!" Victoria ikut memaki bersama Tommy.
"Dua anak manusia yang seharusnya berada di Inkarnate. Harga kalian pasti mahal sekali bila kujual." Vixon tersenyum kecil.
Victoria dan Tommy memaki Vixon tiada henti, tetapi centaur itu tidak mengindahkan mereka dan terus berjalan hingga mereka berada di tengah-tengah kota kecil.
Rumah-rumah berderet di kanan dan kiri mereka, begitu juga stan-stan penjual di tempat yang tidak ubahnya sebuah pasar, ada butik, toko roti, dan bahkan sebuah toko buku. Orang-orang berseliweran di kanan kiri mereka
Victoria dan Tommy diam termangu melihat pemandangan itu. Orang-orang, tetapi bukan benar-benar seorang manusia. Mereka terlihat jauh berbeda dari keduanya.
"Selamat datang di Graventown." Vixon menjelaskan kepada keduanya ketika dua anak manusia itu tidak lagi memaki seperti sebelumnya dan diam dengan mata terbelalak lebar.
"Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan." Victoria nyaris saja memukul adiknya kembali bila ia tidak segera diam dan membungkam mulutnya.
"Apa ini? Lord of The Rings? Narnia? Apa semua orang ini aktor? Ini benar-benar tidak lucu." Victoria menggelengkan kepalanya tidak terima. Mereka berada di Graventown! Kota yang ia yakin tidak berada di peta manapun di dunia.
"Aku rasa ini nyata, Vicky," ucap Tommy dengan nada pelan. "Kita harus segera menerima kenyataan ini! Cermin sialan itu membawa kita ke tempat ini!"
Keduanya terdiam, terlalu terpaku dengan kenyataan baru yang ditamparkan di wajah mereka. Di era digital yang dipenuhi oleh internet, teknologi, robot, dan ponsel, mereka tidak menyangka akan terjebak di tempat yang tidak ada bedanya dengan era medieval. Tidak ada gedung pencakar langit, mobil-mobil yang berlalu lalang, apalagi internet, robot, dan ponsel.
Kereta kayu yang mereka naiki terus berjalan hingga melewati gang-gang sepi. Cahaya matahari yang tadinya terang benderang perlahan meredup ketika mereka berada di antara dua kedai minuman dengan bangunan yang cukup tinggi.
"Oh, Tuhan ... dia benar-benar akan menjual kita!" Victoria berkata pelan ketika Vixon berbicara dengan salah satu penjaga kedai.
Keduanya berbicara dengan nada pelan hingga tidak terdengar oleh Victoria dan Tommy yang berada di dalam kereta. Kedai minuman itu masih sepi, tetapi Victoria yakin kalau ada tempat rahasia di mana mereka biasa memperjual belikan makhluk langka atau dalam hal ini manusia.
"Apa yang harus kita lakukan, Vicky?" Tommy bergerak mendekat ke arahnya.
"Jangan menjauh dariku. Kita tidak boleh meminum atau menerima apa pun lagi dari orang-orang itu!" Victoria menggenggam tangan adiknya erat.
"Bukankah kau yang meminum teh aneh itu duluan?"
Victoria memelototkan matanya ke arah Tommy, membuat bocah lelaki itu terdiam dan mengatupkan mulutnya. "Diamlah." Victoria mencari-cari cela di antara kereta kayu itu sesaat lalu menarik napas panjang. "Baiklah, begini ... bila Vixon membuka pintu kereta ini kita harus segera menyerangnya dan kabur!"
Keduanya menanti hingga Vixon kembali ke kereta kayu itu, tetapi pria setengah kuda itu tidak kunjung kembali. Alih-alih Vixon, makhluk lain yang menyerupai monster berbulu dengan kepala kerbau yang mengenakan pakaian serupa manusia biasa, monster itu mengangkat kereta kayu mereka dengan mudah dan membawa keduanya melewati kedai minuman itu.
"Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuhan. Oh, Tuh ...." Victoria membekap mulut Tommy lalu melihat ke segala penjuru arah. Di sebelah kedai minuman itu ada sebuah pintu khusus yang sepertinya menuju bagian lain yang orang lain tidak bisa lihat dari luar.
Kerbau itu membawa mereka melewati pintu belakang dengan mudah lalu membuka pintu kereta kayu mereka. Victoria menghambur keluar lalu segera menyerang monster kerbau itu secara membabi buta.
"Oh, manusia sialan." Kerbau itu menahan lengan Victoria dan membuat gadis itu tidak bisa berkutik.
"Lepaskan kakakku! Lepaskan!" Tommy memukul-mukul badan makhluk setengah kerbau itu, tetapi kerbau itu tidak melenguh kesakitan atau berteriak kepada Tommy.
Kerbau itu membalik badannya dan menatap Tommy dengan matanya yang berkilat merah karena marah. "Pergi Tommy! Pergi!" Victoria berteriak kepada Tommy dan menyuruhnya segera pergi.
"Tidak secepat itu manusia." Kerbau itu memiliki nada suara yang berat dan aneh.
"OH, TUHAN. OH, TUHAN. OH, TUHAN. OH, TUHAN."
"TOMMY!" Victoria berteriak setengah jengkel setengah takut ketika kerbau itu menarik badannya masuk ke dalam kurungan sementara Tommy yang awalnya terlalu terpaku ketakutan berusaha berlari secepat mungkin, tetapi monster itu jauh lebih cepat dan menariknya masuk ke dalam kurungan yang berbeda.
"Sebaiknya kalian diam sebelum aku menjadikan kalian sebagai santapan malam."
Keduanya memutuskan bungkam. Kerbau itu mendengus dengan wajah setengah puas setengah jengkel, ia lalu pergi meninggalkan keduanya di dalam sebuah gudang berisi tong-tong terbuat dari kayu berisi minuman keras, setelah memastikan kurungan mereka terkunci dengan baik.
Victoria mengeluarkan tangannya dari kurungan dan berusaha meraih tangan Tommy. "Pegang tanganku, Tommy."
"Vicky." Tommy mengeluarkan tangannya dan mengenggam erat tangan Victoria. "Jangan tinggalkan aku."
"Tentu saja tidak, Tommy. Don't be silly," ucap Victoria dengan nada tercekat. "Kita akan segera keluar dari tempat ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top