[S2] Chapter 9 : Jantung yang Berdebar Sakit

Hari menjelang malam. Sejak insiden sore tadi, Raja dan para panglima tempur mulai mengadakan rapat untuk mempersiapkan strategi perang. Sebagai seorang putri, aku dilarang untuk mengikuti rapat itu. Para panglima bodoh itu menganggapku tidak mampu.

Tcih. Menyebalkan.

Kini aku berada di kamarku bersama Hana. Menyusun puzzle bodoh bergambar seorang putri bergaun emas.

"Apa asiknya?" gumamku entah untuk yang sudah keberapa kali.

"Ayolah, Yuki. Ini tidak terlalu buruk," ujar Hana sembari meletakan potongan puzzle di papan puzzle.

"Tentu saja ini buruk! Aku ingin ikut berperang! Tapi apa kau dengar apa yang dikatakan tiga panglima tua itu?" cerocosku.

Hana menggeleng menatapku.

"Mereka bilang aku tidak terkendali. Aku tidak mampu!" aduku sembari meninju bantal keras-keras.

"Hmm baiklah, aku tahu apa yang akan menghiburmu!" seru Hana seketika. Matanya berbinar-binar.

"Apa?" tanyaku.

"Besok kita bertemu Natsu, yuk!" jawabnya.

Heu? Oh, sial. Hanya mendengar namanya saja, jantungku sudah berdetak dengan cepat.

"Te--tentu saja. Aku masih punya urusan dengan Varghna," jawabku.

"Varghna atau Natsu?" tanya Hana.

"Nat--ehh? Kau mempermainkanku, ya???" jawabku yang langsung sadar akan pertanyaan Hana barusan.

"Hehehe.. kejar aku kalau bisa, Yuki! Wleee!" ucap Hana yang langsung menghilang dengan mantra sihir entah kemana.

Sekali lagi aku meninju bantalku keras-keras. Lalu aku tertunduk dalam dan bergumam, "Aku akan menemukanmu, Hana Revalium!"

Sepanjang lorong, aku membekukan benda-benda kecil yang ada di sampingku. Lalu setelah sukses membeku, benda-benda itu terjatuh ke lantai dan pecah.

Pelan-pelan aku memanggil nama Hana sambil menyeringai ala seorang pembunuh berantai. Ketika tiba di ujung lorong, aku mendapati sebuah pintu besar berukirkan huruf-huruf rune.

Ini tempat para penyihir agung.

"Tidak mungkin..., tidak mungkin..." Terdengar jelas olehku suara seorang wanita dari dalam. Kurasa ia hampir saja menangis. Tapi yang jelas, itu bukanlah suara Hana yang sedang ketakutan.

Kemudian aku pun memutuskan untuk menguping.

"Kenapa gelap? Kenapa masa depanmu begitu gelap?" Terdengar suara yang begitu menusuk ke dalam hatiku.

Aku mematung. Suara itu adalah suara milik Paulina-sensei.

Di dalam ruangan, seorang penyihir bermanik emas tengah memegangi kepalanya dengan erat. Matanya membelalak lebar dan satu persatu tetes bulir bening jatuh ke pipinya.

Di hadapannya, terdapat sebuah cermin kecil yang mengambang di udara. Cermin itu adalah bentuk dari kekuatan sang penyihir untuk melihat masa lalu maupun masa depan. Dan, kini masa depan seseorang yang sangat berharga baginya sedang terpantul disana.

"Apa yang selanjutnya terjadi? Kenapa aku tidak boleh tahu?" tanyanya parau.

Aku masih mematung di tempatku. Penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Namun jika aku langsung masuk ke dalam ruangan maka..., ah! Persetan dengan kesopanan! Saat ini guru wanita itu sedang membutuhkan pelukan dari seseorang.

GREP. Kupeluk Paulina-sensei dari arah depan. Membuat cermin ajaibnya mengabur lalu menghilang.

Paulina-sensei membelalakan matanya terkejut. Tanpa bisa ia kendalikan, air matanya pun mengalir semakin deras keluar. Lalu pada akhirnya, ia mengusir seluruh rasa gengsinya dan mulai menangis keras di pelukanku.

"Menangislah, sensei," bisikku lembut.

Paulina-sensei memandangiku sebentar lalu ia pun membalas pelukanku. Kedua tangannya mencengkram jubahku dengan erat, seakan seluruh rasa sakitnya berkumpul dan menjadi satu disana.

"Hiks...hiks.., Yu--Yu--Yuki," gumamnya sesenggukan.

"Aku tidak tahu apa masalahmu tapi kau bisa menceritakannya kepadaku,"  ujarku.

"Tidak.., hiks,..aku tidak sanggup," ucapnya parau.

Hana yang baru datang pun mematung di ambang pintu. Kecanggungan menyerangnya. Saat ini ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

"Yuki..," gumam Paulina-sensei.

"Hn?" jawabku.

"Jangan pergi ke Desa Batware lagi," ucapnya mengakhiri acara pelukan penuh air mata itu.

Kenapa, dia bisa tahu?

Natsu duduk di atas batu besar di bawah pohon. Aku memandanginya dalam diam. Pikiranku masih melayang kepada Paulina-sensei. Hufft.., pada akhirnya ia tetap tidak mau menceritakan masalahnya kepadaku.

"Yah, karena kita bertiga sudah disini, bisakah kita mulai menemui Varghna?" ujar Hana.

"Tentu saja. Tapi ermm.., Yuki, apakah sudah terjadi sesuatu?" ucap Natsu yang langsung mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Eh? Tidak ada. Hanya saja sebentar lagi terjadi perang," jawabku.

"Tidak ada yang lain?" tanyanya lagi.

"Tidak," jawabku.

Natsu menghela nafas panjang lalu ia turun dari atas batu yang sedari tadi ia duduki. Kemudian, ia mulai berjalan mendekatiku dan meletakan telapak tangannya di puncak kepalaku.

"A--ah?" gumamku kaku.

Natsu tersenyum lalu berkata, "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku ada disini."

DEG. Natsu sialan! Tidak tahukah ia kalau kata-kata itu menyihirku?? Tidak. Bukan menyihirku, tapi lebih tepatnya menyihir hatiku.

Aku langsung menepis tangan Natsu. Membuatnya terkejut.

"Sudahlah, ayo kita temui Varghna dan meminta bantuannya!" ucapku sambil memimpin berjalan di depan.

TUK!

Hana berlari mengejarku lalu menepuk bahuku. Otomatis, aku menoleh ke arahnya.

"Yuki, apa kau menyukai Natsu?" bisiknya pelan.

"Haa!? Tentu saja tidak, dasar bodoh!"  bisikku pelan.

Hana terdiam sambil menatapku untuk beberapa saat. Kemudian ia tiba-tiba saja tertawa kecil. Mengerikan.

"Yappari, kalau begitu akan kukatan satu rahasia!" bisiknya.

"Apa?" tanyaku penasaran.

"Aku baru saja jatuh cinta kepada Natsu," bisik Hana dengan suara yang sangat pelan.

DEG. A--are?

"Woi!! Kalian membicarakan apa, sih? Kenapa aku tidak diajak?" protes Natsu yang berjalan menyusul di belakang.

Langkah kami berhenti. Lalu Hana berbalik ke arah Natsu dan berkata, "Rahasia!"

Note : Wahh Yuki ada saingannya, nih! :v

Sengaja ditambahin bumbu NTR biar agak greget. Buat yang belum tau apa itu NTR, silahkan cari di google sadjah :v

Jadi kamu tim YuNa atau tim HaTsu?? :v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top