[S2] Chapter 7 : Takdir Dimulai

"Oei, Varghna!" Natsu seketika teringat kembali dengan tujuan awal kami mendatangi Desa Batware.

Hmm, dari ekspresinya sih, sepertinya dia sudah melupakan ucapan Hana yang, emm.. tergolong sensitif barusan. Tentang apakah aku dan Natsu memiliki hubungan yang lebih dari teman atau tidak.

Dan entah kenapa hanya dengan melihat reaksinya tersebut, aku malah merasa sedikit kecewa.

Varghna yang sedari tadi nampak sibuk berdiskusi dengan beberapa vampir berjubah hitam, kini tatapannya langsung beralih ke arah kami. Ia tersenyum sekilas lalu mengatakan kepada para vampir berjubah hitam itu untuk menunggunya sebentar.

Ia pun berjalan menghampiri kami. Dan bersamaan dengan setiap langkah kakinya yang mendekat, aku dapat melihat aura-aura hitam yang sebelumnya pernah kujumpai. Aku tidak terlalu mengerti, tapi entah bagaimana caranya aura-aura hitam tersebut dapat bersatu dengan bayangan Varghna.

Aku menenggak salivaku perlahan. Berusaha sebaik mungkin untuk terlihat berani di hadapan Varghna. Entahlah, tapi aku memiliki firasat buruk jika ia tahu bahwa aku bisa melihat aura-aura itu. Namun tidak peduli seberani apapun aku, pada akhirnya kedua tanganku kini sukses memeluk lengan Natsu.

Tiba-tiba Hana menyikut pelan perutku. Membuatku merasa agak kegelian. Oh, aku lupa bahwa hanya aku lah yang dapat melihat aura hitam itu.

"Apa!?" desisku kasar.

Hana tidak menjawab pertanyaanku. Sekarang yang ia lakukan hanya lah memasang tatapan jahilnya kepadaku. Ke--kenapa, sih? Memangnya kalau aku memeluk lengan Natsu itu salah, ya?

Lagipula aku hanya takut.

Ketika aku berbalik ke depan kembali, sosok Varghna yang tinggi besar itu telah ada di hadapanku. Tersenyum.

"Ada apa, Natsucchi?" tanyanya.

"Kau lupa, ya? Aku ada urusan denganmu dan jangan panggil aku dengan nama itu!" jawab Natsu dengan nada kesal.

Bravo! Aku benar-benar mengapresiasi keberanian Natsu untuk berbicara dengan nada yang menyebalkan kepada Varghna.

"Oh, soal jimat cin--" tebak Varghna yang langsung saja disanggah oleh Natsu.

"Bukan itu, bodoh!" seru Natsu geram.

"Eh Eh?? Jimat cinta, kah? Anda tadi mau bilang begitu, kan?" Hana ikut-ikutan menggoda Natsu. Dan, secara tidak langsung, aku juga ikutan menjadi korban disini.

"Kau diam saja, dasar elf penguntit!" cibirku dan Natsu bersamaan.

"Hee?? Sedihnya..," gumam Hana sambil memasang ekspresi pura-pura menangis.

Varghna tertawa sebentar lalu ia menyilangkan kedua lengannya di depan dada sembari menggeleng.

"Maafkan aku, Natsucchi. Para petinggi ras vampir itu memintaku untuk memperkuat portal dimensi desa dengan dunia luar hari ini," terang Varghna.

"Hee? Tapi kenapa?" tanya Natsu kecewa.

"Mereka mengira kekuatan sihir portal dimensi melemah dan hal itu menyebabkan si elf itu bisa memasuki portal sesukanya. Padahal pada kenyataannya, si elf itu datang bersama Natsu meskipun ia menguntit di belakang, kan?" jawab Varghna sambil sesekali menunjuk ke arah Hana.

"Jadi kau tidak membocorkan rahasia bahwa aku ada disini?" Seketika kata-kata itu keluar secara otomatis dari bibirku.

"Tentu saja tidak. Mereka sama sekali tidak tahu," jawab Varghna.

"Kalau begitu demi Yuki, aku akan menunggumu sampai selesai," ucap Natsu tetap pada pendiriannya.

"Hufft, para petinggi itu akan mengawasiku selama seharian ini. Jadi tentu saja aku harus melakukan pekerjaanku dengan benar, kan? Dan jika sudah begitu akan memakan waktu selama dua hari penuh untuk memperkuat sihir di setiap inci perbatasan luar,"

"Kau mengerti, Natsucchi?" Varghna tersenyum miring di hadapan wajah Natsu. Kemudian ia kembali berbalik pergi ke arah para vampir berjubah yang katanya merupakan para petinggi.

Huh, sudah jelas-jelas mereka membenciku, kan?

Di depan gerbang istana, kulihat ibu Hana--Nina-sensei sedang berdiri menunggu kepulangan kami. Wajahnya yang semula pucat kini nampaknya sedikit menghangat begitu melihat keberadaan kami.

Hana serta merta turun dari punggung Goldie dan langsung berlari memeluk ibunya. Uhh, aksinya barusan sungguh berbahaya. Dasar pecinta alam! Umur berapa, sih dia itu? Katanya, sih lebih tua dariku... tapi entah kenapa aku langsung menolaknya dengan keras begitu mama memberitahuku.

"Putri Yuki," ujar Nina-sensei.

"Hn?" jawabku.

"Yang Mulia Raja dan Ratu menunggu Anda di ruang singgasana," jawab Nina-sensei kemudian ia berjalan mendahuluiku bersama Hana.

Huh, tumben sekali. Ada apa?

Papa dan Mama alias Raja dan Ratu Ebetopia duduk tegak di kursi kebesaran mereka. Kini aku sedang berlutut di hadapan mereka. Menunggu mereka menjelaskan situasi yang sedang terjadi sekarang ini, di ruangan ini.

Aku mendelik ke arah Pangeran Ferdinand yang kini tengah duduk di kursi tamu. Di sampingnya, duduk kedua orang tuanya-- Raja dan Ratu Negeri Troxe. Baiklah, aku mempunyai firasat buruk akan hal ini.

"Yuki Delirium, kami yang berada di ruangan ini memerlukan kesaksianmu," ujar Papa tegas.

"Ke-kesaksian apa, wahai Yang Mulia?" tanyaku.

"Penyihir agung Paulina..," Papa menjeda kalimatnya sembari melirik ke arah Paulina-sensei yang kini berdiri berjajar dengan ketiga penyihir agung lainnya.

Setelah mendapat anggukan dari Paulina-sensei, Papa pun melanjutkan, "...mengaku melihat kau berciuman dengan Pangeran Muda Ferdinand melalui kekuatan sihir waktunya."

DEG. Seketika seluruh urat sarafku menegang. Mataku terbelalak menatap Papa dan Mama.

"Kita semua, ras manusia tahu bahwa berciuman dengan lawan jenis memiliki arti sakral yang berkaitan dengan mengikat ikatan pernikahan yang setelahnya tidak bisa diganggu-gugat. Jadi, apa kau benar-benar melakukannya, wahai putriku?" tanya Papaku tegas. Tidak dapat kutemukan nada main-main di dalam nada suaranya.

"A-aku...," jawabku terbata.

Sial, sial, sial. Aku benar-benar kesal. Tapi aku sama sekali tidak berdaya di situasi ini. Rasanya mataku mulai memanas, aku... tidak punya pilihan.

"...melakukannya," lanjutku pasrah.

Ditengah situasi menengangkan itu, diam-diam Pangeran Ferdinand tersenyum penuh kemenangan. Ia benar-benar merasa puas akan usahanya tersebut.

"Tak lama lagi, kau akan menjadi milikku satu-satunya, Yuki. Rambutmu, tubuhmu, dan tatapan indahmu itu sebentar lagi akan menjadi punyaku," gumamnya pelan sembari tersenyum licik.

Namun tidak ada satu pun yang dapat menyadari gelagat aneh Pangeran Ferdinand tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top