[S2] Chapter 22 : Perih
Kloning Yuki mulai mengayunkan pedangnya ke arahku. Berbeda seperti kloning lainnya, kloning Yuki yang sedang kuhadapi ini memiliki aura dan energi sihir yang jauh lebih pekat.
Aku terus menghindari serangan yang dia berikan. Sejauh ini belum ada kesempatan bagiku untuk menyerang balik. Aku tidak tahu akan sampai kapan aku bertahan di posisi ini tapi yang jelas, jika aku terus menghindar maka staminaku akan habis sebelum aku benar-benar dapat menyerangnya.
"Hahaha, teruslah menari dan hibur aku!" serunya dengan nada yang dipenuhi euforia. Oke, sekarang dia mirip seperti seorang psikopat gila.
Kloning Yuki terus menggerakan pedangnya ke arahku. Memaksaku untuk terus bergerak ke sana dan kemari. Tanpa sadar, napasku pun mulai tersenggal-senggal dibuatnya.
"Seru, ya?" sindirku kesal.
"Tentu saja!" balasnya enteng. Bibirnya menyeringai lebar. "Tidak ada yang lebih seru daripada membuat orang lain merasa repot apalagi jika aku bisa menyakitimu."
"Huh, kejam!" cibirku. Sepertinya kali ini giliranku untuk menyerang sudah tiba!
E-eh?
Tapi ketika aku hendak melompat untuk menyerangnya, kakiku tidak mau bergerak dari tempatnya. Refleks, kutolehkan kepalaku ke arah bawah dan kudapati kedua kakiku telah dilahap oleh lapisan kristal es.
Sialan, dia curang!
"Kenapa? Kau pasti sekarang sedang mengataiku 'curang', kan?" ucapnya sombong. "Kau tahu? Tidak ada kata itu di dalam sebuah kamus pertarungan. Selama lawanmu bisa terpojok, segala cara merupakan jalan yang halal."
"Tcih!" decihku sebal. Jika aku tidak bisa membebaskan kakiku dari lapisan kristal es keparat ini, maka habislah sudah.
"Kau sudah tahu apa artinya, kan?" tanyanya sembari mengacungkan pedang sihirnya tinggi-tinggi ke udara. Manik birunya menyala-nyala menatapku.
"Kau akan pergi ke neraka, kan?" balasku sembari menyeringai penuh kemenangan. Melihat reaksiku, tentu saja si kloning Yuki langsung mengerutkan dahinya.
BRAK!!
Sebuah tendangan sukses menghantam punggung sang kloning. Setelahnya ia jatuh terguling ke tanah lalu berakhir menabrak dinding es.
"Aku senang kau datang, Matthew!" ujarku kepada sosok yang sudah melakukan aksi penyelamatan mulia terhadapku barusan.
"Ah, aku selalu tahu di mana kau berada!" ujarnya bangga. Matthew memukul-mukul lapisan kristal es yang melahap kakiku dengan ujung gagang baja pedangnya hingga kakiku benar-benar terbebas dari sana.
"Aku belum mati, dasar bodoh!!" Tiba-tiba si kloning Yuki kembali bangkit berdiri. "Yang tadi itu ..., dasar pengecut!"
Kemudian, si kloning Yuki langsung menghantam Matthew dengan dorongan pedangnya. Tubuh Matthew pun sukses menabrak dinding es dengan keras. Samar, dapat kudengar suara retakan dari punggung Matthew akibat hal tersebut.
"Matthew!" seruku terkejut.
"Aku baik-baik saja, Natsu!" ujarnya dengan suara gemetar. Matthew terbaring di tanah tanpa bisa bergerak lagi. Kurasa retakan di punggungnya menciptakan rasa sakit yang tidak biasa bagi Matthew.
"Sekarang giliranmu!" seru si kloning Yuki. Dia buru-buru melesat ke arahku. Dan bodohnya, perhatianku yang masih terpusat kepada Matthew tidak menyadari hal itu dengan cepat.
"Natsu ...," gumam Matthew lemah.
❄
Raja Iru dan seorang ksatria ras vampir sibuk membersihkan pedang mereka dari cairan lengket berwarna hitam. Di belakang mereka, terbaring jasad-jasad dari kloning Yuki yang sudah tidak bergerak lagi.
Napas sang Raja memburu tak karuan. Saat ini emosinya sedang tidak stabil. Bagaimana tidak? Baginya menghabisi satu nyawa kloning Yuki rasanya hampir mirip seperti mengambil nyawa anaknya sendiri.
"Kuda kita sudah lari. Kita harus berjalan setelah ini, Yang Mulia," ujar si ksatria vampir.
"Kau benar. Kalau begitu, ayo pergi!" ujar sang Raja.
"Tapi sepertinya keadaanmu sedang tidak baik-baik saja, Yang Mulia. Kenapa kau tidak beristirahat dulu? Aku akan menjagamu," ujar si ksatria vampir hati-hati.
"Negeriku sedang tidak baik-baik saja dan itu lebih penting daripada keadaanku. Aku percaya ini akan segera berakhir," ujar sang Raja dengan nada datar. Terlihat jelas sekali, bahwa sosok Raja muda itu tengah memaksakan dirinya.
"Kalau begitu ayo kita berjalan pelan saja," gumam si ksatria vampir.
"Entah kenapa perasaanku tidak enak," gumam Raja Iru dengan suara pelan yang hampir tidak terdengar oleh lawan bicaranya.
"Um?" gumam si ksatria vampir menanggapi.
"Apa ... ada yang gugur, ya?" gumam sang Raja lagi.
❄
Kurasakan seluruh tubuhku memanas dan entah kenapa perasaanku bertambah sakit. Aku buru-buru berdiri di depan Noel, berusaha menceritakan apa yang sedang kurasakan.
"Ada apa, Yuki?" tanya Noel.
"Ah, aku merasa panas!" jawabku. "Dan, entah kenapa hatiku rasanya sakit."
"Hatimu sakit?" ulang Noel heran.
Aku langsung mengangguk cepat. Sejenak, ketika mataku berkedip, tiba-tiba Noel sudah menghilang. Aku tersadar di sebuah tempat yang dikelilingi oleh dinding-dinding es yang tinggi.
"Aku di mana?" gumamku pelan. Rasanya kepalaku terus berkedut tanpa henti. Pandanganku buram, rasanya sulit sekali untuk dikontrol.
Samar, kulihat sosok Natsu di depanku. Kini, ia tengah berdiri menatapku tapi karena pandanganku masih buram, jadi aku tidak tahu ekspresi apa yang saat ini sedang Natsu keluarkan.
"Natsu? Itu kamu?" tanyaku dengan suara lemah. "Aku tidak terlalu bisa melihatmu karena saat ini tubuhku rasanya aneh sekali."
"Uhuk! I-iya ini aku, Y-Y-Yu-ki ...," jawabnya dengan suara gemetar.
"Ah, syukurlah!" gumamku bahagia. Perlahan, pandanganku pun kembali jelas seperti semula. Lalu kutatap Natsu yang masih berada di depanku.
DEG! DEG!
T-tidak! B-b-bukan! Natsu memang berdiri di depanku tapi tepat di perutnya kulihat sebuah pedang es tertancap. Cairan merah kental merembes keluar dari pakaian Natsu lalu mengucur deras keluar seakan tidak akan pernah kering.
"N-Natsu ...? K-k-kena-kenapa?" tanyaku gemetaran.
DEG!! Beberapa detik kemudian, kusadari bahwa pedang es yang tertancap di perut Natsu adalah pedang yang sekarang tengah kugenggam.
Tidak! Tidak mungkin! Ini pasti hanya ilusi! Aku tidak percaya!!
"Yuki, uhuk!! Kau sudah sadar ...," ujar Natsu dengan suara gemetar. Mulutnya memuntahkan banyak sekali cairan berwarna merah. "Aku senang, lho. Akhirnya kamu sadar."
"Berhenti bicara, dasar kau iblis!! Kau bukan Natsu!!" seruku nanar.
"I-ini a-a-aku, lho," ujarnya. Kali ini suaranya terdengar parau. Kemudian setelah mengatakan itu, tubuhnya langsung ambruk ke tanah.
Rasa sakit semakin menggerogoti hatiku dengan buasnya. Aku berteriak kencang sejadi-jadinya sembari buru-buru mendekap tubuh Natsu yang sudah terjatuh di tanah. Kusentuh wajah pucatnya perlahan dengan tangan kiriku yang tidak henti bergetar.
"Bohong! Ini bohong!! Natsu, katakan yang kulihat ini bohong!!" seruku.
Mendengar kalimatku barusan, bibir Natsu langsung tersenyum. Manik heterochromia miliknya kini hanya mampu menatapku dengan sayu.
"Untunglah ... aku tidak berhasil membunuhmu. A-aku tidak tahu ... kalau kau yang asli ...," ujar Natsu pelan.
Rasa sakit dan sesak seketika bergumul di dalam dada lalu meletup menjadi sebuah tangisan keras yang keluar dari mulutku. Kudekap tubuh Natsu erat, berharap tiba-tiba saja aku akan terbangun di kamarku lalu sadar semua yang terjadi ini hanyalah sebuah mimpi.
Tapi seberapa keras pun usahaku, ketika aku membuka mata, aku akan tetap berada di tempat ini.
"Jangan pergi, Natsu!! Kumohon, jangan pergi!!" seruku frustasi.
❄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top