"Terimakasih banyak karena Anda telah membantu kami untuk menangkap mereka, Tuan Putri!" Seorang polisi dengan kumis tebal di wajahnya memberikan tanda hormat kepadaku setelah aku menyerahkan tiga preman kelas teri kepadanya.
"Ah iya, itu bukan masalah buatku," balasku enteng.
"Kalau begitu saya permisi dulu," ujar si polisi sembari membawa masuk tiga preman tersebut ke dalam sadonya.
Aku tersenyum puas memandangi kepergian mereka. Rasanya aku begitu hidup. Bagaimana aku memberi pelajaran kepada tiga preman itu dan bagaimana aku menyerahkan mereka kepada pihak berwajib, rasanya begitu menyenangkan.
Apa yang dirasakan papa dan mama waktu itu, ya? Apa rasanya seperti ini?
"Kau salah menduga kalau kau berpikir mereka bahagia saat itu." Tiba-tiba Paulina-sensei muncul entah darimana.
"Paulina-sensei, kau datang darimana? Apa kau melihat semuanya?" tanyaku terkejut. Lalu setelah ini aku berharap ia akan memberikan pujian yang banyak untukku.
"Ya, aku melihat semuanya. Dan kuharap kau berhenti," jawabnya sambil menatap datar ke arahku.
"A-apa-apaan? Bukankah seharusnya kau memujiku?" protesku geram.
"Sudah kukatakan aku melihat semuanya. Dan itu buruk. Aku tidak suka kalau kau berlatih diam-diam di hutan lagi," balasnya.
"Hee? Kenapa sekarang malah nyambung kesitu? Dan bagaimana kau tahu aku sering berlatih diam-diam ke hutan?" tanyaku beruntun sembari berkacak pinggang.
"Kau tidak mengikutiku, kan?"
Paulina-sensei nampak menghembuskan nafas berat. Manik emasnya nampak ingin mengungkapkan sesuatu namun entah kenapa dirinya mati-matian untuk menahannya. Tidak seperti Paulina-sensei yang biasanya.
"Sudahlah. Cepat pulang ke istana! Yang Mulia Raja mencarimu!" perintah Paulina-sensei seenaknya.
Yah, sejauh ini hanya dia yang tidak mempedulikan statusku sebagai seorang putri. Ketika ditanya kenapa dia memperlakukanku seperti murid biasa, dia akan menjawab dengan tenang bahwa dia lebih hebat dariku dan dia bisa membunuhku.
Respon papa dan mama? Mereka hanya acuh tak acuh. Sepertinya mereka sadar akan sikapku yang tergolong liar jika disejajarkan dengan para putri kerajaan dari negeri lain. Jadi mereka berdua sepenuhnya menyerahkan pendidikanku di bawah akademi dan empat penyihir agung.
❄
Aku berjalan ke ruangan kerja milik papa. Lalu tanpa mengetuk terlebih dahulu, aku langsung saja membuka pintunya. Kulihat papa sedang berusaha mati-matian menahan kantuk di meja kerjanya. Sedangkan tangan kanannya terus-terusan memegang pena bulu sambil menuliskan kalimat-kalimat yang bisa membuat kepalaku pusing.
"Papa?" tanyaku.
"..." Papa tidak merespon. Sepertinya ia terlalu sibuk bertarung melawan rasa kantuknya.
Aku memutar bola mataku malas. Jika sudah seperti ini, aku terpaksa harus mengatakan kata-kata pamungkas andalanku.
"Papa, mama bilang dia ingin punya anak lagi, lho!!" seruku tepat di telinganya.
"A-A-APA!?" teriak papa heboh. Dan sangking hebohnya, tanpa sadar pena bulu kesayangannya terlempar keluar jendela.
"A-apa yang kau katakan itu benar, Yuki-chan?" tanyanya setengah berbisik. Wajahnya kini berubah menjadi semerah apel.
"U-so," balasku berbisik di telinganya.
"Arggh! Lagi-lagi papa termakan tipuanmu. Sial," gumam papa sembari berusaha menyembunyikan wajah merah apelnya dengan kedua tangan.
"Tunggu dulu, ada yang lebih penting dan aku harus membicarakan ini denganmu," ujar papa. Seketika ekspresinya berubah menjadi serius.
"He? Memang ada apa, sih?" tanyaku.
"Tunjukan kemampuan berpedangmu dan bertarunglah melawan Ferdinand -kun hari ini," ujarnya.
Aku menyeringai lebar. Menunjukkan deretan gigiku yang sudah gatal ingin mencabik-cabik pria lemah itu sesegera mungkin.
"Jadi dia datang berkunjung hari ini?" tanyaku meremehkan.
Papa mengangguk tenang. Lalu ia berkata, "Ayo kita pergi ke arena latihan!"
❄
Pangeran Ferdinand, seorang putra mahkota dari negeri jauh, Troxe. Konon katanya ia memiliki ketampanan di atas rata-rata, membuat setiap kaum hawa yang melihatnya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi meski begitu, di mataku Pangeran Ferdinand hanyalah seorang pria lemah.
Sebulan sekali, ia selalu datang mengunjungi istana. Entah apa tujuan sebenarnya ia melakukan kunjungan tersebut. Tapi sejauh ini, ia hanya datang untuk berduel pedang denganku.
"Salam, Yang Mulia Putri Yuki," sapanya sembari membungkuk.
"Hm. Salam juga untukmu," sapaku balik.
"Kenapa kau tidak datang bersama Yang Mulia Raja?" tanya Ferdinand. Kepalanya celingukan.
"Ketika perjalanan menuju kemari, tiba-tiba dia teringat ada keperluan lain. Jadi aku duluan datang kemari," jelasku datar.
Kenapa juga dia banyak tanya? Menyebalkan.
"Yang Mulia..," lirih Ferdinand. Bibirnya agak menyeringai. Dan, entah mengapa itu membuatku agak takut.
Ferdinand berjalan mendekatiku. Tanpa menaruh curiga apa-apa, aku pun hanya menatapnya dengan malas.
"Kau mau apa?" tanyaku.
Ferdinand tidak membalas kata-kataku. Lalu tanpa bisa kucegah, ia langsung menarik tengkuk leherku dan mendaratkan ciumannya di bibirku.
Sial, aku benar-benar lengah.
❄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top