Aku duduk meringkuk sendirian dalam kehampaan yang tak terbatas. Hatiku terasa sakit dan nafasku terasa sesak. Aku tidak tahu ini sudah hari keberapa tapi yang jelas waktu di dimensi kosong ini berjalan begitu saja seakan tak akan pernah berakhir.
"Yuki, apa kau baik-baik saja?"
Aku buru-buru menangadah begitu kudengar adanya eksistensi selain diriku disini. Lalu aku langsung berdiri dan segera memeluk sosoknya dengan penuh rasa haru. Aku sangat tidak menyangka bahwa kami akan dipertemukan kembali di tempat seperti ini.
"Noel, aku senang kau ada disini!" seruku bahagia. Kurasakan kedua lengan Noel balas memelukku dengan erat. Nafas hangatnya menderu menyentuh helaian-helaian rambut yang ada di puncak kepalaku.
"Kurasa itu artinya dirimu yang ini baik-baik saja," ujarnya. Noel tersenyum lembut.
DEG.
Aku mengernyitkan dahiku begitu mendengar ucapan janggal Noel. Buru-buru aku melepaskan pelukanku darinya dan menatapnya lekat-lekat. Ada banyak pertanyaan yang berseliweran di dalam benakku.
"Apa maksudmu dengan 'diriku yang ini'?" tanyaku.
"Iblis Pride telah mengambil alih tubuhmu." Noel menjawab pertanyaanku dengan nada dingin. Sama sekali tak kulihat ekspresi di wajahnya yang pucat.
"Pride? Maksudmu iblis dosa yang ada di legenda itu?" tanyaku beruntun. Aku berpikir sejenak, mencoba menyusun rangkaian puzzle demi puzzle yang kini mulai terkumpul.
"Jadi Varghna, tidak, maksudku iblis itu adalah iblis Pride?"
"Iya, kau benar. Iblis itu tidak memiliki raga. Jadi untuk tetap bertahan hidup di dunia ini dia harus mencuri raga orang lain," ujar Noel menjelaskan. "Dan, dia telah mengambil ragaku."
DEG!
Aku sudah tahu itu. Tapi ketika aku mendengarnya sendiri dari mulut Noel, entah kenapa hatiku rasanya seperti diiris-iris. Aku muak. Ingin sekali kuakhiri penderitaan ini sekarang juga. Tapi apa daya, semuanya sudah terlambat.
Sejak awal aku telah diperalat oleh iblis itu.
"Gomen ne, Yuki." Noel menunduk dalam. Enggan memperlihatkan wajahnya lagi kepadaku.
"N--Noel.. harusnya aku..," gumamku terbata. Pikiranku kacau bahkan untuk berbicara saja rasanya susah sekali. Kemudian setelah beberapa saat berlalu, kupaksakan diriku untuk bicara.
"Daijoubu da yo! Daijoubu."
Noel sedikit menengadah. Ia melirikku sedikit sambil memasang mimik wajah yang sulit diartikan. Aku tidak tahu sekarang ini Noel sedang merasa gelisah atau sedih.
"Sekarang kita hanya berdua saja di dimensi ini. Bukankah itu artinya kita bisa mengulang cerita kita dari awal lagi, Noel?" ungkapku miris. Aku merentangkan lenganku lebar-lebar di depan Noel, seakan aku baru saja mengungkapkan sesuatu yang brilian.
"Yuki..," gumam Noel. Ia kembali menunduk.
"Mulai sekarang aku bukanlah seorang putri lagi. Dan kau juga bukan seorang pelayan lagi!" ungkapku lagi. "Kita hanyalah dua manusia yang bisa terus hidup bersama selamanya. Aku tidak peduli akan jadi apa ke depannya asalkan aku bersamamu!"
"Y--Yuki..aku..," gumam Noel. Sepertinya ia hendak mengatakan sesuatu. Akan tetapi aku tak akan membiarkannya melanjutkan kalimatnya tersebut.
Logikaku tahu apa yang selanjutnya akan Noel ucapkan.
"Noel, aku membalas perasaanmu kepadaku!" ucapku lantang.
Hening. Noel tidak bergeming. Perlahan kuturunkan kedua lenganku ke tempatnya semula. Nafasku memburu tak karuan bersamaan dengan pikiran dan hatiku yang mulai menceracau tidak jelas.
Rasa bersalah perlahan merembes masuk ke dalam relung hatiku. Terus masuk bagaikan air hujan yang menggenang masuk dari atas atap rumah yang reyot. Aku menggigit bibir bawahku. Berusaha menahan emosiku yang terus-terusan memerintah mulutku itu menceracau.
GREP. Tanpa kusadari Noel telah bergerak memelukku kembali. Pelukan hangatnya terasa lebih erat dari yang tadi.
"Terimakasih. Aku senang sekali," ucapnya dengan suara parau.
"Jadi?" gumamku, menanti jawabannya.
"Tapi maaf..,"
E--?
"Aku sudah tidak bisa lagi bersamamu."
Sudah kuduga. Semua prasangkaku benar. Noel yang selama ini telah menemaniku sudah tidak ada lagi. Bayangan Noel dalam pikiranku perlahan tertiup oleh angin lalu berubah menjadi butiran pasir yang berkilau.
Noel sudah pergi. Yang sekarang sedang bersamaku adalah jiwanya.
"Lagipula yang kau katakan barusan tidak tulus dari hatimu, kan?" tebak Noel. "Ucapanmu barusan hanyalah semacam kata-kata yang selalu diucapkan oleh orang putus asa."
"I..itu..," gumamku kaku. Lalu pada akhirnya aku tidak melanjutkan. Lidahku seketika kelu. Enggan membalas tebakan Noel.
Atau mungkin saja, lidahku sama sekali tidak kelu. Itu mungkin hanya tebakan Noel saja yang memang benar dan aku tidak berani membantahnya. Sudah terlalu banyak aku menyakiti Noel dan kali ini aku tak mau melakukannya lagi.
"Yuki," panggil Noel.
"Apa?" balasku.
"Aku tahu bahwa kau mencintai Natsu." Noel tersenyum lembut sambil meregangkan pelukannya.
"Natsu, ya?" gumamku tersadar. Kedua mataku seketika membelalak lebar.
"Aku akan menemanimu disini sampai dia membangunkanmu." Noel mengakhiri kalimatnya sampai disitu. Kemudian ia benar-benar melepaskanku dari dekapannya.
Noel duduk di lantai. Tangannya menepuk-nepuk lantai sebelahnya seakan menyuruhku untuk duduk di atas lantai yang ia tepuk.
Aku mengangguk lalu ikut duduk. Bersama, berdua dengan Noel, menunggu seorang vampir yang kucintai.
Natsu Rhitmero.
❄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top