[S2] Chapter 14 : Pahlawan
Untuk sesaat Ferdinand menunjukkan raut wajah yang ketakutan begitu melihat sihir elemen milikku. Namun mengingat bahwa ia berada di pihak penantang, maka ia buru-buru merubah air mukanya menjadi seperti sedia kala--arogan dan menyebalkan.
"Tcih! Sihir murahan seperti itu tidak mungkin bisa menjatuhkanku!" serunya percaya diri. "Telepotaruko!"
Eh? Mantra apa itu?
"Itu mantra telepati. Sepertinya Ferdinand berusaha mengumpulkan bala bantuan ke tempat ini." Seketika Natsu menjawab pertanyaan yang baru saja kupikirkan.
"Hei, tidak sopan!" protesku. Lagi-lagi aku baru ingat kalau sosok vampir di sebelahku ini bisa membaca pikiranku. Huh, benar-benar merepotkan.
"Maaf saja, ya! Kalau aku ini merepotkan," celetuk Natsu.
"Ehh??? Lagi-lagi kamu membacanya lagi!?" Aku langsung memekik tidak terima.
Suasana sekitar terasa semakin ribut. Tiba-tiba saja muncul gerbang lingkaran sihir di langit. Gerbang-gerbang sihir itu mengeluarkan para ksatria dari pihak Kerajaan Troxe. Dari baju zirah yang mereka kenakan, kutahu bahwa Ferdinand baru saja memanggil para ksatria terbaiknya.
Aku menyeringai tipis. Ada sedikit kepuasan di hatiku. Jika Ferdinand memanggil para ksatria terbaiknya setelah ia melihat sihirku, itu berarti sosok pangeran dari Troxe tersebut menganggap aku sebagai lawan yang kuat. Hehe, ini menarik.
"Yuki." Natsu seketika membuyarkan pikiranku.
"Apa?" tanyaku datar.
"Kau tahu? Alasan kenapa aku bisa membaca pikiran ibuku adalah.." Natsu menjeda kalimatnya. Dari raut wajahnya sepertinya ia ragu untuk mengatakan lanjutannya.
Sementara itu, di depan sana Ferdinand tengah terkikik geli sambil menatap rendah pasukan kami yang kini kalah jumlah. Kami hanya berempat sedangkan pasukan yang menjadi lawan kami ada sepuluh orang.
"Lanjutkan saja apa yang mau kau katakan, Natsu!" ucapku. "Aku takut setelah ini kita tidak akan punya kesempatan untuk saling bicara lagi."
"Alasan kenapa aku bisa membaca pikiran ibuku karena aku menyayangi ibuku," ucapnya. "Dan, sejauh ini selain bisa membaca pikiran ibuku, aku hanya bisa membaca pikiranmu."
DEG.
"Ha? Maksudnya?" Aku terpekik kaget.
"SERANGG!!!" Ferdinand menyerukan kata pertama di peperangan itu. Secara jumlah, kami memang kalah. Tapi tidak ada yang bisa kami lakukan selain berusaha.
Para ksatria lawan diberi perintah utama untuk menghabisi aku dan Papa terlebih dahulu. Karenanya banyak dari mereka yang mencoba untuk menghunuskan pedangnya ke arahku dan Papa. Tapi sejauh ini, belum ada yang berhasil melukaiku. Entah kenapa, tubuhku rasanya ringan sekali. Aku bisa bebas berlompatan dan menghindar kesana-kemari.
BUG! Aku menendang wajah salah satu ksatria lawan. Kulihat beberapa giginya tanggal dan berserakan di tanah. Dan, setelah kuamati lagi di waktu yang sedikit tersebut, ternyata semua giginya yang tanggal itu diselimuti oleh kristal es.
Aneh, padahal aku tidak ingat pernah mengeluarkan sihir ketika melawannya.
"Bocah keterlaluan! Awas saja, ya! Saat kami menang nanti, kau akan kami jadikan mainan!" ujar salah satu ksatria yang menjadi lawanku.
Kuamati mereka satu-persatu. Oh, rupanya jumlah mereka yang menghampiriku ada empat orang.
"Coba saja kalau--" Ucapanku terputus.
Natsu langsung melesat entah dari arah mana dan menghabisi semua ksatria yang barusan berniat menjadikanku mainan mereka.
Eh? Jantungku kembali berdetak kencang. Apakah ini efek adrenalin yang semakin meningkat?
"Bodoh!" bentak Natsu.
"Ha? Apa salahku!?" protesku. "Aku baru saja mau membekukan mereka!"
"Jangan biarkan mereka melecehkanmu begitu! Meskipun hanya dengan kata-kata sekalipun!" bentaknya lagi. "Pokoknya aku tidak terima, tahu!"
"Are? Kan, yang dilecehkan mereka itu aku. Terus kenapa kamu yang sewot?" tanyaku bingung. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Natsu.
"Huft!" Wajah Natsu memerah. Aku tidak tahu alasannya kenapa tapi mungkin saja karena panas atau gara-gara dia saking marahnya denganku.
"Hiiatttt!" Terdengar seruan Ferdinand di belakangku.
Kulihat kedua bola mata Natsu membelalak lebar. Ia terdiam di tempatnya. Otomatis, aku pun langsung berbalik ke belakang dan mendapati Ferdinand tengah bersiap untuk menebasku dengan pedangnya.
SHING!
"Papa!" teriakku.
Di waktu yang sangat mendesak tersebut, pedang Ferdinand tidak mengenaiku. Melainkan mengenai Papa yang secara tiba-tiba muncul di hadapan Ferdinand. Pedang Ferdinand berhasil mengiris bahu kanan Papa.
"Yu--Yuki, kau tidak apa-apa?" tanya Papa. Raut wajahnya menunjukkan bahwa luka yang didapatkannya bukan termasuk luka ringan. Darah pun saling berlomba-lomba keluar dari lukanya.
"Tua bangka sial!" umpat Ferdinand geram.
"Kau lah yang sial!!" balasku nanar. "Hoshhh.." Lagi-lagi nafas dinginku keluar. Pertanda bahwa tubuhku sedang bersiap untuk mengeluarkan sihirnya secara besar-besaran.
"Sini kalau berani! Majulah!" tantang Ferdinand.
Aku menyuruh Goldie yang sedang kutumpangi untuk berlari menyerang kuda silver milik Ferdiand. Alhasil, kami berdua pun terlibat adu pedang sihir. Pedang Ferdinand mengeluarkan percikan-percikan berwarna lavender yang sewaktu-waktu terasa menyetrum lenganku. Sedangkan pedangku sendiri, suhunya terus menurun.
PRANGG!!
Pedang Ferdinand terlempar jauh dari tempatnya. Aku menyeringai sambil mengacungkan pedangku ke hadapan wajahnya.
"Kau kalah," ujarku bangga.
"Tsk!" gumam Ferdinand. Tangan kanannya menggenggam ujung pedangku dengan kuat. Mengakibatkan tangannya tersebut mengalami luka yang cukup dalam.
"Kau gila, ya?" tanyaku kesal. "Apa semua laki-laki itu gengsian untuk mengakui bahwa ia lebih payah dari wanita?"
"Diam kau! Setelah ini kau akan menjadi istriku!" balasnya.
"Aku tidak akan menjadi istri siapa-siapa," ujarku dengan suara yang dipenuhi penekanan disetiap katanya.
Seketika, hawa diantara kami pun menurun drastis. Menyadari hal tersebut, Ferdinand pun mulai menunjukkan gelagat panik. Akan tetapi tangannya tidak juga mau melepas ujung pedangku. Alhasil, tangannya pun perlahan memutih dan ditumbuhi oleh bunga-bunga es.
"A--apa!?" pekiknya kaget. Ia buru-buru melepaskan pegangannya pada pedangku.
"Kau sudah kalah," ujarku.
Kini di sekeliling kami, muncul para prajurit dari Kerajaan Delirium. Wajah mereka nampak berseri-seri, pertanda mereka baru saja memenangkan pertempuran di daerahnya masing-masing. Menyadari itu, aku pun menyeringai semakin lebar. Kurasa inilah saatnya. Saat-saat dimana aku akan menjadi pahlawan.
SET!! Tiba-tiba seekor naga terbang rendah dengan kecepatan tinggi lalu menyambar tubuh Ferdinand. Aku menganga dibuatnya. Aku ingat sekarang, naga itu adalah naga yang belum lama ini menyambar tubuh Noel.
"Untuk saat ini, Kerajaan Troxe menyatakan bahwa kami menyerah!" seru Ferdinand dari kejauhan. "Nikmatilah saat-saat berharga kalian, wahai sampah!"
Aku terdiam mematung memandangi kepergian Ferdinand. Sementara itu orang-orang tengah sibuk bersorak sorai atas kemenangan ini. Bukannya aku tidak senang. Tapi entah kenapa seketika pikiranku langsung tertuju kepada Noel juga prajurit lainnya yang gugur.
Mereka mati karena keinginan egoisku. Kenapa? Kenapa mereka mau mati dengan cara seperti itu?
Dan.., kenapa aku baru kepikiran? Selama ini aku kemana saja?
PUK!
"Kamu tidak seperti itu, Yuki." Suara Natsu menyadarkanku.
"Eh? Rupanya kamu," gumamku. Setelahnya aku kembali terdiam. Menikmati sorak sorai dari para prajurit yang lain. Mereka semua mengelu-elukan nama Papaku. Bukan namaku. Apa aku belum cukup berjasa?
Sebenarnya arti dari seorang pahlawan itu apa?
"Apa kamu tidak kepikiran soal ucapanku yang sebelumnya?" tanya Natsu.
"Ucapanmu yang mana?" tanyaku balik.
Wajah Natsu kembali memerah. Matanya agak terbelalak, seperti tidak menyangka akan sesuatu.
"Um, sudahlah! Lupakan saja!" ujarnya cepat lalu segera berbalik menghampiri para prajurit yang lain.
Apa maksudnya yang tentang bagaimana ia bisa membaca pikiran ibunya dan aku?
❄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top