[S2] Chapter 10 : Liontin Kaca
Kami bertiga berhenti di bawah pohon beringin besar yang menandai pintu masuk desa. Kemudian Natsu menggigit sedikit ujung ibu jarinya hingga berdarah dan mengoleskan darahnya diantara mataku.
"Ini untuk melindungimu," gumamnya sambil tersenyum.
Aku mengangguk.
"Nah, selanjutnya Hana. Kemarilah!" ujar Natsu sambil melambaikan tangannya ke arah Hana yang sedari tadi hanya memperhatikan.
Hana mengangguk namun pikirannya masih tidak dapat memahami apa yang dilakukan oleh Natsu. Ia berjalan dengan tergesa menghampiri Natsu dan karena sikapnya yang ceroboh itulah, ujung kakinya pun tersandung akar pohon. Lalu...
BRUK!
A--aku tidak dapat mempercayai ini. Kini Hana sukses mendarat di atas badan Natsu yang terlentang. Wajah mereka sangat dekat. Kurasa hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Dan entah kenapa untuk beberapa saat mereka terdiam dalam posisi seperti itu. Bukannya malah langsung bangkit berdiri dan saling meminta maaf.
Bersamaan dengan terjadinya pemandangan itu, perasaan sakit yang aneh mulai menjalar di dalam diriku. Dan rasa sakit itu semakin terasa begitu aku menyadari bahwa wajah mereka berdua sama-sama merona.
"Ekhem!" Aku berdehem pelan. Berusaha menyadarkan mereka berdua.
"Ah! Maafkan aku Natsu," ucap Hana tersentak kaget. Kemudian ia langsung bangkit dari atas badan Natsu.
"Tidak apa-apa. Lagipula aku tidak keberatan kalau seorang gadis cantik jatuh di atas badanku," balas Natsu sambil menggaruk kepalanya yang kutahu tidak gatal.
Wajah Hana langsung merona merah kembali begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Natsu.
Uh, apa-apaan dengan suasana ini?
"Jangan terlalu dengarkan dia, Hana. Dia itu tukang gombal," ucapku spontan.
Are? Kenapa aku mengatakannya?
"Hee? Kau jahat sekali mengataiku begitu," cibir Natsu sambil pura-pura menangis.
❄
Setelah selesai dengan segala urusan tentang menyamarkan bau darah kami, maka kami pun langsung memasuki kawasan desa.
"Portal yang dibicarakan Varghna kemarin...," Aku menjeda kalimatku, membuat Hana dan Natsu menoleh. "Kenapa tidak berpengaruh padaku dan Hana? Bukankah kami penyusup?"
"Itu karena kalian masuk bersamaku. Sederhana, kan?" balas Natsu.
"Wah, Natsu! Kau penyelamat kami!" seru Hana girang. Dan tanpa bisa kucegah, tiba-tiba ia memeluk lengan Natsu.
DEG DEG. Uhh, rasa sakit aneh itu muncul lagi. Dan disetiap kemunculannya kenapa aku selalu mengingat ucapan Hana tentang perasaannya terhadap Natsu?
Padahal, kan.., bukan urusanku.
Aku menoleh ke arah mereka. Diperlakukan seperti itu oleh Hana, kulihat Natsu malah santai-santai saja. Dia tidak terlihat marah ataupun merasa risih. Ia membiarkan Hana memeluk lengannya sesuka hati.
"Yuki?" tanya Natsu. Sepertinya ia sadar bahwa sedari tadi aku memperhatikannya. Gawat.
"A--ada apa?" balasku sembari mengalihkan wajahku darinya. Kenapa aku merasa kesal, ya?
"Mungkin belum terlambat mengatakan ini..," Natsu menjeda kalimatnya. "Tapi entah kenapa aku bisa mendengar isi kepalamu."
"Hah?" ujarku kaget.
"Sebenarnya apa yang menggagumu? Aku tidak mengerti," gumamnya dengan wajah khawatir.
"Kau bohong soal membaca pikiranku, kan? Kau hanya mendramatisir," sanggahku.
Natsu menggeleng lalu berkata, "Aku tidak bohong. Ini aneh, aku bisa mendengar apapun yang kau risaukan di dalam pikiranmu. Sama halnya seperti aku bisa mendengar pikiran milik ibuku."
"Ibumu? Lalu kemana dia sekarang?" ulang Hana.
"Dia sudah tiada. Dan sebelum dia benar-benar pergi, aku selalu dihantui oleh pendengaranku terhadap isi kepalanya," ucap Natsu agak tertunduk. Cahaya matanya meredup.
Ini tidak bagus.
Aku menghela nafas. Kucubit pipi Natsu sambil mengalirkan kekuatan es ke ujung jariku. Melihat itu, refleks Hana pun melepaskan pelukannya dari Natsu. Ia tertegun.
"Aw, dingin!" seru Natsu.
"Hehe! Seharusnya aku tidak perlu bicara terlalu banyak kalau kau bisa membaca pikiranku, kan?" ujarku.
Natsu tertegun menatapku.
Aku juga khawatir padamu, tahu! Jadi jangan tunjukan ekspresi seperti itu lagi!
Sepertinya Natsu membaca pikiranku yang barusan. Terbukti, ia langsung tersenyum lalu berkata, "Terimakasih."
❄
Berbeda dengan kejadian ketika aku pertama kali datang ke rumah Varghna, kali ini aku tidak melihat bayangan-bayangan hitam dimanapun. Aku menoleh kesana kemari namun yang kudapati hanyalah ruangan yang didominasi oleh perabotan kayu mahoni yang antik.
Varghna menghidangkan teh panas dengan uap yang mengepul di hadapan kami. Ya, sekarang kami sedang duduk di dalam ruang tamu miliknya.
"Jadi kalian ingin meminta bantuanku untuk perang?" tebak Varghna sebelum pada akhirnya ia menyesap teh yang ia buat untuk dirinya sendiri.
"Tepat sekali!" Hana berseru.
"Kenapa kau bisa tahu?" tanyaku serius.
Varghna terkekeh pelan lalu menjawab, "Yah, sebagai seorang ahli sihir, tidak mungkin aku tidak tahu tentang kabar terbaru di kerajaan."
"Sou ka. Kalau begitu, kumohon bantulah kerajaan kami, Varghna-san! Kau tahu sendiri kan, kekuatan persenjataan kerajaan kami masih kalah dengan Kerajaan Troxe," jelasku.
Kulihat Varghna menyeringai kecil. Dan, saat itulah aku melihat aura-aura hitam mulai bermunculan dari bayangannya di permukaan lantai. Sebisa mungkin aku tidak berusaha melihatnya. Sial, aku takut sekali.
GREP. Lagi-lagi Natsu menggenggam tanganku dengan lembut, kurasakan hangat disana.
Oh iya, Natsu bisa membaca pikiranku.
Hana yang melihat itu, hanya melirik sekilas lalu sepertinya ia berpura-pura untuk tidak peduli. Atau mungkin ia berpura-pura bahwa ia tidak pernah melihat apapun.
"Kalau begitu, akan kuberikan kau jimat yang bisa memperkuat kekuatanmu sekaligus membawa kekuatan untuk kerajaanmu," ujar Varghna.
Aku mengangguk, pertanda mengiyakan.
"Yeḫat’ī’āti dīyabīlosi le’izīhichi sēti ḫayilēni āsayi." Varghna mengucapkan sebaris mantra yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Dan entah untuk alasan apa, Hana langsung membelalakan matanya lebar. Wajahnya berubah pucat. Hmm, sepertinya aku bisa menanyainya nanti.
Setelahnya telapak tangan kanan Varghna bersinar terang. Kemudian sinar itu berkumpul dan membentuk sebuah liontin kaca.
"Indahnya," gumamku.
Varghna tersenyum lalu ia mengalungkan liontin itu di leherku.
"Itu akan sangat membantu," ujarnya.
"Terimakasih banyak! Kalau begitu kami akan segera kembali ke istana!" seruku sambil membungkuk di hadapannya.
"Tidak usah sungkan, Yang Mulia," ucapnya.
Kemudian kami bertiga pun langsung bangkit dari kursi dan berpamitan kepada Varghna. Ketika kupikir sudah tidak ada pembicaraan yang harus dibahas lagi, Varghna kembali membuka suaranya begitu aku memegang kenop pintu. Membuat langkah kami terhenti.
"Yang Mulia, apakah kau percaya dengan keberadaan iblis?" tanyanya.
Aku menoleh. "Iblis?"
Varghna tersenyum hangat. Ia masih duduk di kursinya sembari memegang secangkir teh.
"Ermm, entahlah. Aku belum pernah melihat salah satu dari mereka," jawabku.
Varghna menghela nafas.
"Kalau begitu jalanilah harimu. Dan beritahu aku kalau kau sudah bertemu salah satunya," ucapnya.
Hah? Apaan, sih?
❄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top