[S2] Chapter 1 : Salju yang Mengeras

Bising-bising itu terdengar lagi. Setiap aku melangkah, setiap aku berjalan, dan setiap hembusan nafas yang kukeluarkan, suara bising-bising itu selalu terdengar. Aku bosan dan merasa teramat kesal karenanya.

Orang-orang itu sepertinya tidak pernah diajarkan apa itu yang dinamakan dengan nama 'sopan santun'. Aku menghentikan langkahku. Kemudian dalam satu tarikan nafas kasar, aku berbalik. Semua orang pun memperhatikan dengan tatapan kaget.

"Apa sih, yang kalian bicarakan sampai seseru itu?" sinisku.

"T-tidak ada, Tuan Putri," balas semua orang hampir bersamaan. Dengan tangan gemetar, mereka memaksakan tubuh mereka untuk membungkuk hormat ke arahku.

"Ohh.., bukankah tadi kalian sedang membicarakan aku?" tuduhku yang pastinya langsung membuat mereka semua ketakutan setengah mati.

Kemudian salah satu dari mereka-seorang pemuda beriris abu berjalan beberapa langkah mendekatiku. Membuatku mengambil ancang-ancang untuk menghajarnya bila diperlukan.

"Maafkan atas kelancangan saya, Tuan Putri. Tapi saya hanya ingin meluruskan kesalah pahaman ini," terangnya. Kulihat tangan kanannya mengepal dan menempel di dadanya. Sedangkan badannya kini sedang membungkuk empat puluh lima derajat ke arahku.

"Ck! Tidak perlu. Apapun yang kau jelaskan kepadaku, tak akan merubah fakta bahwa kalian hanyalah sekumpulan ras yang tidak tahu terimakasih," ujarku sembari mengacungkan telunjuk ke depan wajah si pemuda.

Setelah puas mengatakan hal itu, aku pun segera berbalik dan berjalan meninggalkan kawasan desa dengan langkah angkuh. Yahh, aku akui bahwa aku adalah seseorang yang cukup angkuh. Bukannya apa-apa, hanya saja menurutku sikap angkuh itu diperlukan jika kau adalah seorang keturunan bangsawan. Ditambah kedua orang tuaku, Raja Iru dan Ratu Ana merupakan pahlawan negeri yang sangat berjasa.

Aku menguap lebar. Lagi-lagi tidak ada kejadian yang membuatku terhibur di desa. Suasana Ebetopia dari hari ke hari semakin damai. Tak ada kejahatan sama sekali. Padahal aku sangat ingin mencoba panah baruku untuk objek hina, semacam pencuri maupun penjahat.

Apa jadinya, ya? Jika aku hidup di masa kelam Ebetopia? Apakah aku akan bertarung bersama orang tuaku dan menjadi pahlawan yang disegani seluruh negeri?

"Dasar kurang ajar!!"...

BUG!

"A-ampuni aku,"...

"Makhluk sepertimu itu tidak pantas untuk dikasihani, tahu!"...

BUG! BUG!

Aku menghentikan langkah. Lalu mengintip ke balik tembok. Tepatnya ke arah sebuah gang kumuh yang gelap. Disana kulihat tiga orang pemuda tengah asik memukuli seorang pemuda lainnya di sudut gang. Mataku berbinar. Seluruh inderaku mengatakan bahwa ini adalah mukjizat yang diberikan Tuhan untukku. Saatnya beraksi.

Aku mengambil busurku lalu mulai menarik sebuah anak panah. Kuarahkan tepat ke arah mereka.

SET!

Anak panahku melesat bagaikan seekor burung phoenix di angkasa. Terus melesat hingga melewati pandangan mereka dan pada akhirnya itu tertancap di dinding.

"A-anak panah?" gumam salah satu dari mereka terperangah.

Aksi pukul mereka pun terhenti. Ketiga pemuda itu terdiam beku dengan kedua lutut mereka yang bergetar takut. Sedangkan si pemuda yang tadi dipukuli segera melarikan diri melompati tembok di belakangnya.

"Untuk ukuran pria lemah, dia hebat juga bisa melompati dinding itu," ucapku dengan nada sinis.

Mendengar suaraku, otomatis pandangan mereka langsung beralih menatapku. Sadar bahwa aku adalah seorang gadis, kini ekspresi takut mereka menghilang digantikan dengan tatapan geram.

"He-hei! Apa kau yang melempar anak panah sialan itu!?" geram seorang pemuda berbadan kekar.

"Ermm.., kalau iya, lalu kau mau apa?" tanyaku dengan nada mempermainkan.

"Berani-beraninya kau melakukan hal lancang seperti itu kepada kami, penguasa Distrik Xilos!" ujarnya lagi sembari memamerkan otot di lengannya. Kemudian dua teman lainnya tertawa terbahak.

"Ohh," balasku.

"K-k-kurang ajar! Gadis ini sama sekali tidak takut dengan gelar kita, Gerald!" seru seorang pemuda dengan topi lusuh.

"Jika kalian adalah penguasa Distrik Xilos, distrik terbesar di wilayah ras manusia, kalau begitu aku adalah penguasa seluruh distrik!" ungkapku angkuh.

"Ha? Yang benar saja!? Seorang gadis bertubuh mungil sepertimu adalah penguasa seluruh distrik??" ledek si pemuda kekar sembari berkacak pinggang. Lalu disusul oleh tawa merendahkan dari kedua temannya.

Tcih. Aku paling benci direndahkan. Apalagi direndahkan oleh orang-orang dari kalangan kaum jelata yang bisanya hanya mengemis seperti mereka!

"Kumohon jangan menangis di pengadilan," ucapku dengan nada tenang.

Kemudian dalam beberapa detik setelahnya, bongkahan es raksasa menyembur tepat di bawah kaki mereka bertiga. Membuat tubuh mereka terperangkap beku ke dalam bongkahan es tersebut.

Aku berjalan mendekat sembari menampilkan seringaian andalanku. Sedangkan mereka bertiga kini tengah memandangiku dengan wajah pucat.

"Kau.., jangan-jangan...," ucap seorang pemuda berbadan kurus.

"Sekarang kalian diam saja. Jangan menangis apalagi berteriak seperti seorang wanita lemah. Tunjukkan kalau diri kalian itu kuat!" ujarku sembari mengeluarkan kristal-kristal es tajam di telapak tangan.

"Apa maksudmu?" tanya si pemuda dengan topi lusuh.

"Karena jika kalian menangis, seluruh dunia tidak akan mengakuiku sebagai wanita tangguh hanya karena mereka menganggap bahwa lawanku hanyalah bayi-bayi nakal," jawabku menyeringai lebar.

"Sialan! Persetan dengan itu! Jelaskan siapa dirimu!" seru si pemuda kekar nanar. Sedangkan kedua temannya yang sepertinya sudah tahu betul siapa aku hanya menunduk dengan wajah pucat.

"Salam kenal, aku adalah Yuki Delirium..," ucapku sembari membungkuk hormat.

Sedangkan si pemuda kekar kini menatapku dengan takut.

"..., aku adalah penguasamu."

Dan kutahu hidup mereka bertiga sebagai preman kelas teri diakhiri dengan mudah oleh satu seringaian indah milikku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top