Untuk beberapa saat aku membiarkan laki - laki aneh ini menangis di bahuku. Lalu ia bangkit kembali sembari menghapus air matanya.
"Aku senang melihatmu lagi, Ana. Ngomong-ngomong sudah berapa hari kau menyegelku?" tanyanya.
"Ana? Segel?" tanyaku balik.
"Lho? Saat perang itu, kau menyegelku. Masa lupa?" tanyanya lagi sembari berkacak pinggang.
"Aku rasa kau salah orang. Aku bukan Ana yang menyegelmu, tahu!" bantahku kesal.
"Tapi kau ini memang Ana, kok! Rambutmu...pakaianmu...bola matamu..." ujar si laki-laki yakin.
"Huffft...kalau bukan ya, bukan. Namaku Koizumi Alyn." bantahku cepat.
"Bukan ya? Lalu kemana perginya Ana?" tanyanya bingung.
"Aku tidak tahu siapa itu Ana, tapi aku akan membantumu mencarinya." jawabku merasa iba. Sekarang laki-laki itu mirip seekor anjing yang kehilangan tuannya.
"Benarkah? Terima kasih banyak, Alyn!!!" serunya girang.
"Oh iya, siapa namamu?" tanyaku penasaran.
"Iru. Iru Delirium. Raja putih dari negeri indah ini, Ebetopia." jelasnya.
Raja putih katanya? Orang ini gila. Aku rasa aku harus menemukan rumah sakit jiwa di sekitar sini.
👑
Kami berdua berjalan menyusuri hutan semalaman. Sekarang entah kenapa rasa takutku sudah menghilang. Ocehan Iru terus saja berputar-putar di otakku. Ia tak henti-hentinya bicara.
Ia bicara banyak hal kepadaku. Dan kupikir, itu cukup menarik. Mulai dari tentang negerinya, istananya, teman-temannya, dan juga peristiwa perang besar mengalahkan Kerajaan Grangar.
"Lalu apa yang terjadi setelah dia menyegelmu paksa?" tanyaku setelah mendengar kisah perang besar di negerinya itu.
"Aku tidak tahu." jawab Iru pelan.
"Ha?" mulutku sukses menganga lebar. Rupanya selama tersegel dalam cermin itu, Iru benar - benar tidak sadarkan diri. Mungkin akibat luka perang waktu itu.
"Empat penyihir pelindung kerajaanku, gugur saat bertempur. Sedangkan penyihir kelima, Ana, aku tidak tahu." cerita Iru.
"Yah, lebih baik kita harus cepat sampai ke pemukiman jika ingin tahu cerita setelahnya." hiburku sambil menepuk punggungnya pelan.
Iru tersenyum lembut menatapku. Membuat perasaanku menjadi tidak karuan. Aku canggung sekali.
"Kamu memang mirip dengannya." gumam Iru lalu berjalan mendahuluiku.
Sekarang kami berdiri tepat di hadapan tembok rumah seseorang. Tentu saja tidak seperti tembok rumah pada umumnya, tembok rumah itu terbuat dari susunan batu - batu besar yang telah dirapihkan. Mirip sekali dengan bangunan abad pertengahan.
Aku menatap langit. Rupanya pagi hari telah datang. Samar-samar kudengar suara ayam berkokok dari kejauhan. Benar-benar mirip seperti di dalam dongeng yang pernah kubaca.
"Alyn, ayo!" ajak Iru lalu menarik lenganku memasuki pemukiman.
Pasar.
Disini ramai sekali dengan pedagang dan juga pembeli. Beberapa kereta kuda terparkir di pinggir - pinggir trotoar.
"Aku ingat sekarang, pasar milik kerajaan Delirium memang berada di sebelah hutan!" sorak Iru girang. Kemudian ia berlari ke salah satu kios pedagang buah.
"Permisi, tuan!" ujarku canggung sekaligus malu dengan tingkah Iru yang kekanak-kanakan.
"Ada apa?" tanya si pedagang buah datar.
"Ehmm..itu...kami mencari seseorang yang bernama Ana." jawabku tak yakin.
"Ana, katamu?" ulang si pedagang nampak terkejut.
"Ya! Namanya Ana Fredella" lanjut Iru antusias.
"Kepala kalian habis terbentur sesuatu, ya?" ledek si pedagang sambil geleng-geleng.
"Apa maksudmu, tuan?" tanyaku.
"Penyihir Agung Ana Fredella beserta keempat penyihir agung lainnya sudah tewas dalam perang besar 800 tahun yang lalu." jelas si pedagang yang tentu saja membuat jantungku dan Iru hampir copot.
"Delapan ratus...tahun yang lalu...?" ulang Iru tak menyangka.
"Iya, begitulah. Sekarang kerajaan Delirium sudah tidak ada lagi, sungguh disayangkan." tutur si pedagang.
"Iru, kau baik - baik saja?" tanyaku memastikan. Sedangkan yang ditanya hanya diam mematung. Tangannya mengepal kuat di depan dadanya.
👑
Kami berdua berjalan menelusuri kota. Sepanjang jalan bangunan - bangunan yang ada nampak suram tak berwarna. Orang-orangnyapun nampak bernasib sama seperti banunannya, suram. Poster dan bendera kerajaan nampak menghiasi setiap sudut kota suram itu.
"Tak kusangka, Ebetopia-ku yang indah jadi seperti ini." ujar Iru sedih.
"Bersabarlah, Iru" ujarku menenangkan.
"Bagaimana aku bisa tenang!? Sekarang seluruh Ebetopia diambil alih oleh Kerajaan Drangar!! Kau tahu, kerajaan kegelapan dengan raja jahat mereka!" bentak Iru nanar.
"Tapi hal itu bukan salahku, kan?" protesku yang merasa tidak pantas dibentak.
Iru mundur beberapa langkah sembari memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Ia sadar, kini ia telah bertindak bodoh dan kekanak - kanakan. Orang sepertinya tidak pantas memimpin sebuah kerajaan.
Lagipula saat perang besar itu terjadi, umur Iru baru menginjak 18 tahun. Ia terpaksa menjadi raja karena orang tuanya telah lebih dulu meninggalkannya. Sungguh ironi.
"Alyn, sekarang aku harus apa?" tanya Iru lemas.
"Etto..." gumamku bingung. Saat ini aku tidak tahu harus memberinya saran apa.
"Hei kalian berdua!" terdengar suara seorang pria paruh baya.
Kami segera menoleh ke asal suara itu. Dan terlihatlah seorang polisi ala abad pertengahan tengah menunggangi seekor kuda. Wajahnya nampak sangar di mataku. Ngeri, pokoknya.
"Sudah jam berapa ini? Kalian harus sekolah!" bentaknya.
Aku dan Iru hanya mengangkat alis sambil saling melihat satu sama lain. Lalu kembali beralih ke si polisi sangar.
"Kalian tahu kan, apa balasan bagi remaja yang tidak disekolahkan?" tanyanya garang.
Kami berdua menggeleng.
"P-E-N-G-G-A-L"
👑
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top